Senin, 16 Oktober 2017

Mencari Cara Efektif Mencegah Korupsi

Mencari Cara Efektif Mencegah Korupsi
Adi Andojo Soetjipto ;   Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
                                                      KOMPAS, 16 Oktober 2017



                                                           
Terus terang saya tidak setuju dengan ungkapan yang mengatakan hukum pidana kita hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Kenyataannya ada menteri, anggota DPR, ketua serta hakim anggota Mahkamah Konstitusi, dirjen, gubernur, bupati yang ditangkap dan dihukum.

Kebetulan saja pada waktu bersamaan ada peristiwa yang terjadi mengenai nenek-nenek miskin yang dituduh mencuri sandal bekas ditangkap dan dihukum masuk penjara.

Peristiwa itu kemudian menjadi rujukan rasa keadilan dalam melihat hukuman para pelaku korupsi. Kenyataannya, meski pemerintah telah berusaha agar para pelaku korupsi tidak makin merajalela—antara lain dengan mempermalukan para koruptor: mengumumkan namanya, membuat rompi tahanan oranye mencolok dan ekspose televisi—para koruptor itu masih cengengesan, bangga dirinya masuk televisi.

Maka harus dicari cara yang efektif untuk membuat mereka jera. Mungkin di antara para pembaca yang budiman dapat menemukan metode mujarab.

Kalau bagi pelaku pemerkosaan pernah ada pemikiran dihukum kebiri, bagaimana kalau bagi para koruptor diberikan hukuman serupa: dipotong sebelah daun telinganya?

Di Jalan Revolusi dulu, ada aparat keamanan yang mengganggu istri orang. Saat ketahuan oleh sang suami, aparat itu dihukum dengan dipotong sebelah daun telinganya (istilahnya ”diperung”). Akibatnya seumur hidup di belakang namanya ada tambahan julukan ”pingji” alias kuping siji.

Hal ini pasti dapat mencegah orang berperilaku koruptif. Untuk menciptakan hukuman macam ini pasti harus dibuat terlebih dahulu undang-undangnya. Hal ini tentu akan memakan waktu lama dan melibatkan seluruh para pihak.

Saya yang usul pemikiran ini merasa gamang juga. Bisa-bisa saya dianggap tidak punya rasa perikemanusiaan. Tetapi, apa boleh buat. Mau bagaimana lagi?

Kalau dipikir secara mendalam, yang sebenarnya tidak punya rasa perikemanusiaan, menyakiti rasa keadilan, dan menyengsarakan rakyat adalah para koruptor. Di Indonesia, korupsi sudah dianggap sebagai penyakit yang susah diberantas.

Dalam peristiwa praperadilan—yang menjadi senjata untuk memenangkan kasus Ketua DPR Setya Novanto—kita jadi bertanya-tanya besar, apakah hakimnya salah membuat putusan atau peraturannya yang keliru?

Yang jelas, akibat dari putusan itu adalah para koruptor tidak jera dan kembali mendapatkan angin segar. Pintu kesempatan yang telah terbuka lebar kini semakin besar lagi.

Kalau memang hakimnya yang salah, dia harus segera dipecat. Tetapi, kalau peraturannya yang keliru, maka harus segera diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar