Sabtu, 21 Oktober 2017

Pribumi

Pribumi
M Subhan SD ;   Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 19 Oktober 2017



                                                           
Istilah pribumi bersinonim dengan bumiputra, anak negeri, anak jajahan. Orang Belanda menyebutnya inlander, sebuah ejekan terhadap penduduk asli. Mulanya konsep demografis-hukum, yakni penggolongan penduduk dengan implikasi hukumnya. Pemerintah Belanda membagi dua golongan penduduk di Indonesia (Hindia Belanda). Pada 1848, seperti tercantum dalam Pasal 109 Regering Reglement (RR) dan juga pasal-pasal 6-10 Algemene Bepalingen van Wetgeving 1846, dua golongan itu adalah: 1) orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, 2) orang-orang bumiputra beserta orang-orang yang dipersamakan dengan mereka.

Konsep ini memang diskriminatif. Belanda membagi penggolongan itu didasarkan perbedaan asal keturunan dan kebangsaan. Bukan atas kesetaraan di muka hukum. Tetapi, justru itulah yang menjadi landasan penerapan hukum kolonial terhadap kelompok-kelompok penduduk itu. Nah, akibatnya justru timbul perbedaan besar di antara kedua golongan itu mengenai kedudukan hukumnya (rechtstoestand) (BP Paulus, 1979).

Perkembangan selanjutnya makin parah karena pembagian golongan masyarakat itu dibedakan lagi menjadi tiga golongan, seperti tercantum dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)-pengganti RR-pada 1920. Ketiga golongan itu adalah: 1) orang-orang Eropa, 2) bumiputra, 3) orang-orang Timur Asing seperti China, Arab, India. Orang-orang Afrika atau Asia yang beragama Kristen tidak lagi masuk golongan Eropa. Mereka yang datang ke Indonesia setelah 1 Januari 1920 digolongkan Timur Asing. Paling malang nasibnya adalah golongan pribumi karena hak-haknya banyak dibatasi dan dicekik dengan pajak tanah. Padahal, tanah air ini milik mereka.

Walaupun konsep awalnya diskriminatif, justru dibalikkan menjadi kekuatan baru sebagai identitas bangsa oleh anak-anak negeri Indonesia. Pribumi menjadi konsep politik perlawanan. Dengan begitu, justru memudahkan “anak-anak negeri” membangun basis identitas. Dengan konsep pribumi, anak-anak negeri justru makin memahami Tanah Air, mengerti hak dan tanggung jawab terhadap negeri ini. Bahkan, tahun 1913 dibentuk Komite Bumiputera. Tokohnya antara lain Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Persis seabad silam, di surat kabar Neratja, 16 Oktober 1917, Abdoel Moeis menulis, “Selama bumiputra tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah sejati, maka perasaan cinta pada tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputra itu. Sebab suatu bangsa yang tidak punya perasaan itu tidak akan maju, malah mundur, jika ia kurang-kurang teguh berdiri pada batu tapakannya. Selama bumiputra tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputra haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan ini saja sesuatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya.”

Diskriminasi terhadap pribumi membuat EFE Douwes Dekker (1913) marah, “…hukuman lebih berat dan hak-hak yang lebih sedikit bagi penduduk pribumi, lebih banyak hak dan kesenangan bagi kaum penjajah, itulah sistem yang mereka adakan sekarang… kaum pribumi akan merupakan laskar yang dahsyat dalam revolusi yang akan datang itu, kaum pribumilah yang pertama-tama paling berhak atas tanah ini, atas kebahagiaan yang akan mereka coba meraihnya….”

Namun, karena mulanya diskriminatif, istilah pribumi dan nonpribumi sering dipertentangkan jadi “alat” politik atau ekonomi seperti zaman Orde Baru. Maka, reformasi menghentikan istilah “pribumi” lewat Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Diskriminasi ras dan etnis juga dihapus melalui UU No 40/2008. Jadi, kalau Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato soal pribumi seusai dilantik, Senin (16/10), mungkin memang ia bicara soal masa penjajahan. Namun, mengawali kerja untuk lima tahun ke depan di ibu kota Jakarta, rasanya kejauhan ya. Barangkali yang dibutuhkan pasca-Pilkada DKI yang sengit adalah pikiran dan suasana persaudaraan, bukan perbedaan-perbedaan, apalagi diskriminasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar