Pribumi
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Oktober
2017
Istilah pribumi bersinonim
dengan bumiputra, anak negeri, anak jajahan. Orang Belanda menyebutnya
inlander, sebuah ejekan terhadap penduduk asli. Mulanya konsep
demografis-hukum, yakni penggolongan penduduk dengan implikasi hukumnya.
Pemerintah Belanda membagi dua golongan penduduk di Indonesia (Hindia
Belanda). Pada 1848, seperti tercantum dalam Pasal 109 Regering Reglement
(RR) dan juga pasal-pasal 6-10 Algemene Bepalingen van Wetgeving 1846, dua
golongan itu adalah: 1) orang-orang Eropa dan orang-orang yang dipersamakan
dengan mereka, 2) orang-orang bumiputra beserta orang-orang yang dipersamakan
dengan mereka.
Konsep ini memang
diskriminatif. Belanda membagi penggolongan itu didasarkan perbedaan asal
keturunan dan kebangsaan. Bukan atas kesetaraan di muka hukum. Tetapi, justru
itulah yang menjadi landasan penerapan hukum kolonial terhadap
kelompok-kelompok penduduk itu. Nah, akibatnya justru timbul perbedaan besar
di antara kedua golongan itu mengenai kedudukan hukumnya (rechtstoestand) (BP
Paulus, 1979).
Perkembangan selanjutnya makin
parah karena pembagian golongan masyarakat itu dibedakan lagi menjadi tiga
golongan, seperti tercantum dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling
(IS)-pengganti RR-pada 1920. Ketiga golongan itu adalah: 1) orang-orang
Eropa, 2) bumiputra, 3) orang-orang Timur Asing seperti China, Arab, India.
Orang-orang Afrika atau Asia yang beragama Kristen tidak lagi masuk golongan
Eropa. Mereka yang datang ke Indonesia setelah 1 Januari 1920 digolongkan
Timur Asing. Paling malang nasibnya adalah golongan pribumi karena hak-haknya
banyak dibatasi dan dicekik dengan pajak tanah. Padahal, tanah air ini milik
mereka.
Walaupun konsep awalnya
diskriminatif, justru dibalikkan menjadi kekuatan baru sebagai identitas
bangsa oleh anak-anak negeri Indonesia. Pribumi menjadi konsep politik
perlawanan. Dengan begitu, justru memudahkan “anak-anak negeri” membangun
basis identitas. Dengan konsep pribumi, anak-anak negeri justru makin
memahami Tanah Air, mengerti hak dan tanggung jawab terhadap negeri ini.
Bahkan, tahun 1913 dibentuk Komite Bumiputera. Tokohnya antara lain Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Persis seabad silam, di surat
kabar Neratja, 16 Oktober 1917, Abdoel Moeis menulis, “Selama bumiputra tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah
sejati, maka perasaan cinta pada tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan
dalam kalbu bumiputra itu. Sebab suatu bangsa yang tidak punya perasaan itu
tidak akan maju, malah mundur, jika ia kurang-kurang teguh berdiri pada batu
tapakannya. Selama bumiputra tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka
lebih dahulu ia harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala
pergerakan bumiputra haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena
dengan alasan ini saja sesuatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya,
mengangkat derajat bangsanya.”
Diskriminasi terhadap pribumi
membuat EFE Douwes Dekker (1913) marah, “…hukuman
lebih berat dan hak-hak yang lebih sedikit bagi penduduk pribumi, lebih
banyak hak dan kesenangan bagi kaum penjajah, itulah sistem yang mereka
adakan sekarang… kaum pribumi akan merupakan laskar yang dahsyat dalam
revolusi yang akan datang itu, kaum pribumilah yang pertama-tama paling
berhak atas tanah ini, atas kebahagiaan yang akan mereka coba meraihnya….”
Namun, karena mulanya
diskriminatif, istilah pribumi dan nonpribumi sering dipertentangkan jadi
“alat” politik atau ekonomi seperti zaman Orde Baru. Maka, reformasi
menghentikan istilah “pribumi” lewat Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998.
Diskriminasi ras dan etnis juga dihapus melalui UU No 40/2008. Jadi, kalau
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpidato soal pribumi seusai dilantik,
Senin (16/10), mungkin memang ia bicara soal masa penjajahan. Namun,
mengawali kerja untuk lima tahun ke depan di ibu kota Jakarta, rasanya
kejauhan ya. Barangkali yang dibutuhkan pasca-Pilkada DKI yang sengit adalah
pikiran dan suasana persaudaraan, bukan perbedaan-perbedaan, apalagi
diskriminasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar