Jumat, 27 Oktober 2017

Puncak Patologi Parlemen

Puncak Patologi Parlemen
Mochtar Pabottingi ;   Profesor Riset LIPI 2000-2010
                                                      KOMPAS, 27 Oktober 2017



                                                           
Pansus Hak Angket atas Komisi Pemberantasan Korupsi di DPR telah membuat kita terhela memasuki preseden sangat buruk dalam sejarah perilaku politik kita. Kita mengangkat masalah ini bukan karena hak angket ini pasti akan berdampak terhadap kemunduran (set back) KPK, melainkan karena ia telah menyebarkan aneka motif dan perilaku tak patut dalam bernegara. Ia lebih banyak mempertontonkan aib DPR daripada hal-hal buruk di KPK.

Kita patut prihatin karena pameran hal-hal tak patut di media massa praktis dilakukan tiap hari selama bulan-bulan terakhir oleh para legislator yang menurut kaidah universal semestinya menjadi standard bearer dalam perilaku politik.

Dalam kaidah Aristoteles, legislator, sebagai pemangku-peneladan etos kebajikan dan kenegarawanan, mestilah trengginas bijaksana. Di sini politik berarti ajang aktualisasi kebajikan dan kenegarawanan agar juga menjadi bagian integral dalam etos masyarakat dan negara.

Berada pada titik terjauh dari kebalikan rangkaian sifat ideal politik, sulit bagi kita untuk tak menyatakan bahwa sebagian legislator, dengan kediaman atau komplisitas dari mayoritas rekan-rekannya, telah membawa DPR menapaki puncak patologi politiknya. Pansus ini mengonggok aneka negativitas. Ditandai sekaligus oleh, pertama, miopia, amnesia, napas pendek, sifat eskapis, tiadanya kejujuran dan ketulusan, dan kekacauan dalam nalar politik; pansus gamblang melanggar rasionalitas atau logika historis politik.

Kedua, pansus, dalam upayanya menggerogoti KPK, sedari awal melanggar rasionalitas politik (yang bertumpang tindih dengan rasionalitas hukum), yaitu secara vulgar dan berulang kali menghalalkan cara. Ketiga, lantaran menyalahgunakan hak angket secara tiada alang kepalang, pansus sangat berpotensi menggerus bobot dan kredibilitas peluang bagi penerapan hak angket DPR yang benar-benar kredibel di masa depan, yang tentu akan kian memerosotkan kualitas demokrasi.

KPK dibentuk atas dasar UU dan tiap perundangan adalah produk dialektika politik atau siklus sebab-akibat suatu gejala politik. Kita tahu negara kita mewarisi kebiasaan laku korupsi masif dan kronis terutama di sepanjang 32 tahun Orde Baru. Penjelasan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, praktik korupsi bukan hanya kian meluas ke ”seluruh aspek kehidupan masyarakat”, melainkan juga kian meningkat jumlah dan sifat ”sistematis”-nya sehingga telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Dalam penjelasan itu terbaca jelas kondisi darurat.

Maka benar dan terpujilah respons pemerintah pada 2002 kala bergerak untuk mengatasi kondisi darurat tersebut dengan memastikan dilakukannya suatu ”metode penegakan hukum secara luar biasa” lewat ”suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen dan bebas dari kekuasaan mana pun….”

Miopik

Untuk mengatasi keluarbiasaan sifat dan laku korupsi yang sudah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat itulah, maka juga ”diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa” dan yang ”pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan”. Kita perlu menekankan dua kata kunci penanda sifat KPK, yaitu kata ”luar biasa” dan kata ”berkesinambungan”, sebab atas kedua raison d’etre lembaga KPK itulah para eksponen pansus secara miopik dan amnesiak tiada henti menutup mata atau mengalihkannya dari kesadaran publik. Di situlah pansus, sepanjang beberapa bulan terakhir, terus memperagakan miopia, amnesia, napas pendek, sifat eskapis, dan sekaligus kekeliruan pemahaman politiknya.

Dipahami luas bahwa di Tanah Air kejahatan luar biasa korupsi ini sama sekali tak berkurang dan justru kian meningkat kendati KPK telah bekerja optimal selama belasan tahun sejak pembentukannya. Atas kenyataan itu, pansus dan unsur-unsur DPR lainnya cenderung implisit menyimpulkan bahwa KPK mubazir atau tak becus dan beberapa dari mereka sudah menganjurkan pembubarannya secara eksplisit, bahkan jauh sebelum adanya pansus.

Tiga kenyataan penting sebagai pangkal dari kian maraknya laku korupsi sengaja didiamkan di sini. Pertama adalah praktik sistem kepartaian, pemilu, dan perwakilan kita. Kedua, adanya kecenderungan persekongkolan ketiga cabang pemerintahan kita dengan dukungan kalangan partai politik dan pengusaha yang terpukul oleh kiprah KPK. Ketiga, stimulus buruk pakem kriminalisasi oleh lembaga peradilan lain atas para pimpinan KPK manakala figur atau kepentingannya tersasar KPK. Begitu pula adanya celah-celah dalam sistem dan praktik peradilan kita serta minimnya efek jera pada vonis atas para koruptor kakap.

Namun, di atas semua itu adalah penafian atas kebenaran logika historis dari pembentukan KPK. Jika pada 2002 kita telah sepakat menerima kebenaran logika historisnya, yaitu untuk menghadapi suatu kejahatan luar biasa yang kian meluas ke ”seluruh aspek kehidupan masyarakat” dan juga mengakui bahwa kini intensitas dan prevalensi kejahatan luar biasa itu kembali mengalami eskalasi, maka respons waras semestinya adalah kian memperteguh lagi sifat luar biasa, independensi, dan kesinambungan KPK, dengan antara lain menghempang setiap faktor atau intervensi negatif, dari dalam maupun luar, yang menghambat optimalisasi kinerja KPK.

Merekomendasikan, apalagi memaksakan, kebijakan sebaliknya, yaitu untuk justru mempereteli kewenangan KPK atau mengoreksinya secara tak patut, bahkan membubarkannya, tak bisa tidak berarti penjejalan onggokan negativitas yang sudah kita sebutkan di atas: miopia, amnesia, napas pendek, sifat eskapis, tiadanya kejujuran dan ketulusan, serta kekacauan dalam pemahaman politik. Praktis semua negativitas ini bersumber dari tiadanya fairness untuk menerima raison d’etre historis dari keberadaan KPK. Ini pengkhianatan terhadap imperatif reformasi.

Hak angket DPR adalah provisi politik di dalam prinsip checks and balances yang tak terpisahkan dari kiat the separation powers pada demokrasi. Prinsip saling kontrol meniscayakan agar seluruh proses yang berlaku dalam kerja pansus harus pula memenuhi prinsip keabsahan substantif dan keabsahan prosedural agar pada akhirnya bisa membuahkan legitimasi politik. Semua tuntutan politik ini cenderung diabaikan oleh pertumpuan pansus semata pada aspek legal-formal minimalistik atau yang dipaksakan. Di sini tertampik anjuran Habermas tentang the ideal speech situation.

Melanggar keabsahan substantif

Pansus melanggar tuntutan keabsahan substantif paling tidak dalam tiga hitungan. Pertama, KPK tidak selevel dengan DPR. Dalam rasionalitas demokrasi, prinsip checks and balances mestinya dilakukan lintas lembaga negara yang kekuasaan dan otoritasnya selevel, sebab di luar diktum kesetaraan itu, ia tak lagi bersifat checks and balances, tetapi sudah menjadi intervensi atau arbitrary coercion. Maka benarlah pandangan bahwa jika benar DPR hendak membina KPK, ia cukup diundang rapat reguler dan baik-baik ke Komisi III DPR.

Kedua, ia merecoki kinerja dan mencampuri operasional suatu lembaga negara subsider ekstra khusus di bidang penegakan hukum yang UU-nya memang mengamanatkan mandat dan independensi luar biasa lantaran kondisi memaksa. Ketiga, ia hendak menangani urusan pelaksanaan clean governance, padahal sedari awal reformasi, DPR sendiri sudah luas diyakini sebagai episentrum korupsi. Dengan kata lain, pansus angket tak punya hak moral untuk ikut-ikutan mengurus pemberantasan korupsi.

Kita juga sudah sama tahu bagaimana pansus ini berkali-kali melanggar tuntutan keabsahan prosedural. Usulan pelolosan pansus diterima di Rapat Paripurna DPR secara rampok. Ia dipimpin oleh Agun Gunandjar Sudarsa yang juga diincar KPK dalam kasus korupsi KTP-el. Ia bekerja tanpa bekal materi sasaran dan alasan penyelidikan di awal sehingga dalam kinerjanya melebar lasak ke mana-mana secara reaktif-dangkal dan improvisatoris. Ia pun sengaja memanfaatkan aneka masukan dari sumber-sumber atau lembaga-lembaga yang tak kredibel atau tak berada pada posisi kredibel untuk menilai atau membenahi KPK. Paling repulsif, pansus bahkan sengaja dan formal mewawancarai para narapidana korupsi kakap yang hukumannya sudah in kracht—suatu laku nista-liar tanpa preseden yang sungguh tak semestinya terjadi di negara beradab mana pun.

Di balik semua kinerja pansus bertakhtalah motif buruk dan kepalsuan yang telanjang. Seperti diketahui, amat sulit menghindari kesan bahwa pansus adalah manifestasi kekalapan di kalangan DPR, terutama ketuanya, yang memang termasuk incaran utama, dalam kasus dugaan korupsi dana KTP-el. Kepalsuan telanjang dipentaskan hampir tiap hari di pelbagai media, yaitu tiap kali para eksponen pansus menyatakan bahwa mereka semata-mata hendak memperkuat KPK.

Juga kala mereka mencari masukan dari lembaga-lembaga yang de facto menolak keniscayaan logika historis dan tuntutan sifat luar biasa dari eksistensi KPK. Jika pansus tulus ingin memperkuat KPK, tidaklah seyogianya ia dipimpin oleh seorang yang juga ”suspect” korupsi. Ia justru sepenuhnya harus diawaki oleh figur-figur legislator dengan rekam jejak terpuji.

Pansus angket ini mungkin akan segera berlalu tanpa menghasilkan lebam pukulan terhadap KPK. Tetapi yang sudah nyata dihasilkannya adalah ekspose dari inisiasi hak angket secara tak berdasar serta segenap lelakon terusannya yang hanya menelanjangi sifat-sifat dan laku-laku buruk para anggota DPR sendiri. Sementara kemungkinannya untuk menekuk KPK tampak kian kecil, ia telah menyebarkan rangkaian sifat dan laku buruk dalam mengelola negara. Ia merusak keadaban publik dan kian mempermalukan harkat DPR sendiri.

Para legislator itu menampik prinsip kebajikan dan kenegarawanan dan membuat keduanya kian sulit tertanam sebagai etos. Tak kurang penting, buruknya reputasi pansus ini akan lama membebankan bayangan incredibility pada hak-hak angket DPR yang kredibel sekalipun di masa depan. Itu adalah ganjaran alamiah dari keseenakan menyalahgunakan kekuasaan (the wanton abuse of power).

Atas potret hitam dari puncak patologi parlemen ini, figur-figur kebajikan pasti tetap ada, bertahan, dan terus bersemi di tengah masyarakat dan di kalangan lembaga-lembaga tinggi negara kita, termasuk di DPR sendiri. Dari situ biarlah imajinasi tetap hidup, yaitu harapan bertekad bahwa suatu waktu, entah pada dekade ke berapa ke depan, negara-bangsa kita akan menyaksikan suatu parlemen yang melaksanakan tugas-tugasnya secara terpuji atas dasar apa yang disebut Michael Sandel moral desert dan menjadi pemangku tolok ukur (standard bearer) dari para penyebar kebajikan dan kenegarawanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar