Memimpin
Penegakan Hukum
Refly Harun ; Ahli Hukum Tata Negara;
Ketua Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran) Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara
|
KOMPAS,
24 Oktober
2017
Segudang keberhasilan dan
segudang kegagalan selalu dapat disajikan saat kita mengevaluasi jalannya
sebuah pemerintahan. Tak terkecuali pemerintahan Presiden Joko Widodo atau
yang lebih dikenal dengan akronim Jokowi.
Ibarat seorang mahasiswa yang
harus mengambil tiga mata kuliah wajib, yaitu ekonomi, politik, dan hukum,
Presiden Jokowi memperlihatkan minat yang luar biasa pada mata pelajaran
ekonomi, khususnya pada pokok bahasan pembangunan infrastruktur. Di tengah
lesu darah ekonomi dunia, Jokowi tetap menerjang sana menerjang sini di mata
pelajaran ini.
Beragam proyek infrastruktur
digenjot pembangunannya dengan gelontoran dana ribuan triliun rupiah, baik
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sumber
lain (luar negeri dan dalam negeri).
Hanya dalam rentang tiga tahun,
Pulau Jawa sebentar lagi tersambung jalan tol dari Jakarta hingga Surabaya,
bahkan Banyuwangi. Sumatera, yang lalu lintasnya masih sepi, juga ditaburi
jalan tol, terutama di bagian utara dan selatan pulau emas itu. Papua dan
daerah-daerah perbatasan, yang lama terabaikan oleh pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya, dibangunkan jalan nasional.
Untuk mata kuliah ekonomi
dengan sub-bahasan infrastruktur, nilai Jokowi tak tertandingi dibandingkan
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Konsolidasi politik
Di mata pelajaran politik,
meski tak seantusias bidang ekonomi, Jokowi sudah mampu mengonsolidasikan
kekuatan politik di belakang dirinya. Kini hampir semua partai politik
mendukung Jokowi, tinggal menyisakan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai oposisi, setidaknya
oposisi ala sistem pemerintahan presidensial. Satu partai lagi, Partai
Demokrat, tidak berada baik di oposisi maupun pemerintah.
Padahal, ketika beranjak di singgasana
kekuasaan pada 20 Oktober 2014, pendukung Jokowi di parlemen (DPR) yang
tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terbilang minoritas (divided
government). Pimpinan di DPR dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP), yang saat
itu berseberangan dengan Presiden Jokowi. Namun, masuk periode tahun kedua
jabatan kepresidenannya (2016), KMP lebur, satu demi satu anggotanya mendekat
ke Istana. Tinggal Gerindra dan PKS yang tinggal.
Pada dua pelajaran pertama ini,
ekonomi (sub-bahasan pembangunan infrastruktur) dan politik (sub-bahasan
konsolidasi politik), Jokowi sukses luar biasa. Nilainya, jika ingin
dituliskan, antara delapan atau sembilan. Imajinasi Jokowi dalam pembangunan
infrastruktur berkembang luar biasa, sementara kesabaran dan gaya komunikasi
yang humble dari Jokowi membuahkan kesuksesan pula dalam hal konsolidasi
politik.
Miskin imajinasi
Tiba pada pelajaran hukum,
terutama pada sub-bahasan penegakan hukum (law enforcement), imajinasi dan
passion itu tidak terlihat. Jokowi kurang menunjukkan geliat dan antusiasme
dalam masalah penegakan hukum. Ibarat mahasiswa tadi, Jokowi sekadar mengisi
daftar hadir agar tak kena penalti atau dinyatakan tidak lulus karena sering
bolos.
Tak seperti di bidang
pembangunan konstruksi yang penuh keyakinan dan inovasi, di bidang penegakan
hukum, Jokowi terkesan tidak mau turun tangan langsung untuk membereskan
masalah, sebagaimana sering ia lakukan ketika mengontrol pembangunan
proyek-proyek infrastruktur. Jokowi terkesan pasif dan formalistik.
Ketika terjadi konflik antara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) pada awal 2015, banyak yang berharap Jokowi turun ke gelanggang untuk
menghentikan upaya pelemahan KPK. Pada era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), ketika terjadi upaya pelemahan KPK dalam kasus
Bibit-Chandra, SBY turun dengan membentuk Tim 9 untuk memastikan penanganan
kasus tersebut pada jalur yang benar.
Di era Jokowi, ketika satu demi
satu pimpinan KPK ditersangkakan sehingga harus diganti, Jokowi seperti
berdiam diri. Akibatnya, Ketua KPK Abraham Samad dan anggota KPK, Bambang
Widjojanto, diberhentikan dengan tuduhan atau kasus yang sumir. Lagi-lagi
pada tahun ini KPK dibidik dan hendak dilemahkan. Pansus Angket KPK
diinisiasi dan didorong pembentukannya justru oleh partai-partai pendukung
pemerintah. Bahkan, partai pemerintah (the ruling party) menjadi proponen di
dalam pansus tersebut.
Sikap formalistik Jokowi
tertangkap dari pernyataannya bahwa angket merupakan hak konstitusional DPR
dan sebagai presiden dia tidak mau mengintervensi. Padahal, semua tahu, jika
memang benar-benar mengontrol partai pendukungnya, terutama Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi harus mampu menghentikan aksi
ugal-ugalan sebagian anggota DPR dari partai pendukungnya yang sangat
bersemangat menggebuk KPK.
Tidak mau atau tidak mampu
Ada dua hal yang mencuat pada
titik ini, apakah Jokowi tidak mau atau tidak mampu mengontrol aksi
ugal-ugalan tersebut? Dua-duanya bisa jadi benar. Jokowi tidak mau dan tidak
mampu menghentikan arus pelemahan KPK.
Sebagai orang yang berlatar
belakang pengusaha, Jokowi kerap mengeluh dengan langkah-langkah aparat
penegak hukum yang banyak menersangkakan pejabat-pejabat, termasuk
kepala-kepala daerah. Hal tersebut dirasa mengganggu target pembangunan yang
disematkan. Itulah sebabnya, Jokowi pernah menyatakan bahwa kebijakan tidak
boleh dikriminalisasi.
Saya sepakat dalam titik ini.
Kadang penegak hukum memang tidak bisa (atau tidak mau) membedakan antara
kebijakan dan niat jahat. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah mengamanatkan untuk mengadakan
pendekatan administrasi terlebih dahulu terhadap kebijakan yang dianggap
menyimpang dan menimbulkan kerugian negara sepanjang memang tidak ada niat
untuk melakukan korupsi. Sayangnya, UU ini tidak populer di mata penegak
hukum. Aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, lebih
menggunakan perspektif pidana untuk menjerat kebijakan yang dianggap
merugikan keuangan negara.
Kalaupun titik itu dianggap
bermasalah, bukan KPK yang melakukannya. Apa yang dikerjakan KPK
terkonfirmasi melalui pengadilan tindak pidana korupsi, bahwa memang pejabat
yang ditersangkakan telah melakukan korupsi. Mereka yang bisa lolos dari KPK
hanyalah yang menggunakan instrumen praperadilan, yang hakikatnya belum
mengecek substansi persoalan korupsinya, melainkan baru sekadar prosedur.
Tidak ada alasan sesungguhnya bagi Jokowi untuk tidak mendukung dan
melindungi KPK.
Bisa jadi sikap tidak
melindungi itu karena Jokowi memang tidak mampu. Sudah jamak diketahui, meski
berasal dari rahim PDI-P, Jokowi lebih mirip presiden independen, yang tidak
mengontrol secara langsung satu partai pun.
Topangan Jokowi hanyalah pada
relawan-relawan yang hingga kini masih terjaga (setidaknya organisasinya)
ketimbang partai. Di PDI-P sendiri ada matahari yang lebih terang dari
Jokowi. Semua orang tahu itu. Celakanya PDI-P dan matahari PDI-P sepertinya
paling getol mensponsori pelemahan KPK.
Integritas penegakan hukum
Lalu, untuk melihat situasi
penegakan hukum tiga tahun pemerintahan Jokowi, apa tolok ukur yang bisa
dianggap paling obyektif? Menurut saya, kepercayaan kita pada proses
penegakan hukum itu sendiri. Apakah proses penegakan hukum telah dilakukan
secara berintegritas, itulah soalnya. Pada titik ini, tidak hanya Jokowi,
presiden-presiden sebelumnya juga menghadapi kritik yang sama, bahwa hukum
tidak ditegakkan sebagaimana adanya.
Sering ada ungkapan, hukum
hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Uang dan kekuasaan bisa membeli
penegakan hukum. Semua proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga pelembagapemasyarakatan,
bisa dibeli. Pesakitan tidak didera efek jera sepanjang uang dan kuasa masih
ada.
Tentu semua kesalahan tidak
bisa ditimpakan kepada Jokowi seorang. Proses penegakan hukum sejatinya harus
bebas dari campur tangan kekuasaan presiden. Lagi pula, tidak semua proses
penegakan hukum bisa dikontrol karena institusi yang terlibat tak semuanya di
bawah presiden. Polisi dan jaksa serta lembaga pemasyarakatan memang di bawah
presiden, tetapi tidak dengan hakim dan pengadilan. KPK pun tidak di bawah
presiden.
Formalisme seperti ini bisa
dibenarkan kalau penegakan hukum sudah berada pada jalur yang benar (on the
right track). Ketika penegakan hukum belum normal, masih penuh mafia, aparat
masih bisa dibeli, pengadilan masih penuh transaksi, seorang pemimpin tidak
boleh berdiam diri. Tidak boleh pemimpin misalnya membiarkan penyiram mata
Novel Baswedan berlalu tanpa hukuman (impunity) jika pengungkapan kasus itu
terkendala benteng kekuasaan, di mana pun dia.
Kita rindu Jokowi menjadi
pemimpin yang mampu mewujudkan penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan
dalam dua tahun ke depan, yang mampu dan berani menghadapi mafia-mafia,
bahkan di lingkar dekat kekuasaan sekalipun. Itulah sebabnya, kita memilih
Jokowi sebagai pemimpin pada 2014, bukan sekadar mengantarkannya ke kursi
presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar