Sabtu, 21 Oktober 2017

Pengakuan Hak Masyarakat Adat

Pengakuan Hak Masyarakat Adat
R Yando Zakaria ;   Antropolog;
Penggagas dan Peneliti pada Pusat Kajian Etnografi Hak-hak Komunitas Adat (Pustaka)
                                                      KOMPAS, 18 Oktober 2017



                                                           
Pada 25-27 Oktober 2017 akan diselenggarakan konferensi internasional tentang reformasi penguasaan lahan dan hutan, di Jakarta.

Konferensi ini lanjutan dari inisiatif serupa pada 2011 (Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia, 2011). Hajatan ini perlu disambut dengan pertanyaan pokok: apa yang telah berubah dalam rentang enam tahun terakhir? Pertanyaan ini valid mengingat, tak lama setelah konferensi pertama, telah hadir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang pada intinya berisikan putusan terkait judicial review yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat pendukungnya atas beberapa pasal UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dinilai merugikan masyarakat adat.

Pada intinya putusan ini berkesimpulan bahwa “hutan adat bukan hutan negara; hutan adat adalah bagian dari wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; hak masyarakat adat diakui jika masyarakat hukum adat itu telah ditetapkan dengan peraturan daerah”. Pasca-putusan ini telah muncul beberapa instrumen hukum yang dimaksudkan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Terakhir Peraturan Presiden No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan.

Dinamika pembaruan kebijakan itu seperti mengindikasikan suatu yang positif. Arizona (2015b) melaporkan ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan advokasi hukum daerah dalam jumlah hampir sama. Produk hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan lembaga adat; (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat; (3) pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat; (4) pengakuan sebagai unit pemerintahan.

Namun, pada kesempatan yang lain Arizona (2015a) melaporkan pula bahwa meski 40 persen produk hukum daerah itu berisi pengaturan tentang wilayah, tanah dan hutan adat, di tingkat lapangan, total luas yang telah benar-benar efektif dikuasai masyarakat adat baru sekitar 13.500 hektar saja.

Bahkan, melalui upacara penyerahan surat keputusan menteri tentang penetapan hutan adat yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun lalu, pertambahan luasan kawasan hutan adat masih sekitar 13.000 hektar. Sepertiga dari luasan baru itu malah berupa pencadangan saja. Sekadar perbandingan, menurut kalkulasi AMAN, hutan adat yang berada di kawasan hutan negara itu diperkirakan mencapai angka 40 juta hektar. Sekitar 25 persen dari total kawasan hutan di Indonesia.

Logika hukum keliru?

Apakah logika hukum yang dianut dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas telah sesuai dengan realitas sosial di tingkat lapangan?

Dalam konteks Orang Minangkabau, subyek hak (personal ataupun kelompok) atas obyek hak (berupa tanah ulayat) sangatlah beragam. Subyek hak dalam konteks Orang Minangabau bisa saja berupa kaum/buang gadang (keluarga luas yang berpangkal pada satu nenek perempuan tertentu), suku/buek (gabungan kaum yang berasal dari garis keturunan suku tertentu), atau nagari (kesatuan teritorial yang bersifat genealogis).

Jenis tanah ulayat (disebut sako atau pusako) juga beragam. Ada tanah ulayat kaum/buang gadang, suku/buek, atau nagari. Masing-masing tanah ulayat itu memiliki organisasi pengurusannya sendiri-sendiri. Perlu dicatat, sebuah nagari bisa terbentuk jika sudah ada urang ampek jinih (sejumlah orang yang terbagi-bagi ke dalam empat suku). Agar bisa dikategorikan sebagai suatu “faksi” dari suku tertentu dalam pembentukan nagari,  pada suku tertentu itu sudah terdapat beberapa kaum (rata-rata saat ini setiap suku di suatu nagari terdapat sekitar 10 kaum). Kini ada sekitar 650 nagari. Maka akan terdapat pula sekitar 2.600 suku dan 26.000 kaum!

Sesuai amanat Putusan MK No 35/2012, apakah dibutuhkan satu peraturan daerah-dan/atau keputusan gubernur atau bupati/wali kota-untuk setiap kaum/buah gadang, suku, buek, ataupun nagari agar masing-masing pusako dapat diakui? Jika jawabannya “ya”, maka bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi itu.

Langkah-langkah ke depan

Ada beberapa hal yang dapat ditempuh di masa depan. Masing-masing melakukan judicial review  atas keberadaan Pasal 67 UU No 41/1999 perlu dipikirkan kembali. Tentu dengan argumen yang lain sama sekali dari yang pernah digunakan dulu. Ruang legislasi (Rencana) Undang-Undang Pertanahan yang tengah berproses juga perlu disiasati. Amanat UU No 41/1999 agar segera disusun Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat juga bisa disiasati sebagai “sasaran antara” yang lebih bersahabat pada kepentingan masyarakat adat.

Tentu saja, dalam tindakan strategis di tingkat nasional ini, sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur soal pengakuan dan penghormatan atas berbagai hak masyarakat adat sebagai suatu payung hukum, sebagaimana yang tengah diperjuangkan oleh AMAN dalam beberapa tahun belakang ini, perlu dilanjutkan. Hal ini diperlukan juga untuk mengatur pengakuan dan penghormatan atas hak-hak sosial dan budaya masyarakat adat lainnya. Dengan catatan, UU tentang Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat yang baru ini betul-betul didesain sedemikian rupa agar dapat menjadi sumber hukum pengganti Putusan MK No 35/2012 yang terjebak “sesat pikir” itu.

Terkait dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat yang lebih spesifik, utamanya tanah dan hutan, belajar dari kasus-kasus yang pernah ada, sepertinya kebijakan di tingkat daerah perlu dirancang secara lebih teknis. Kebijakan yang ditujukan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan kepada keberadaan masyarakat hukum adat dalam berbagai bentuk susunan dan hak-hak yang melekat kepadanya tak lagi bisa hanya berupa kebijakan bersifat deklaratif, yang sekadar berisikan rumusan hukum yang merupakan pengulangan dari apa yang telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang dirujuk.

Dengan kata lain, kebijakan daerah dimaksud sudah harus mampu memuat rincian siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek dan obyek hak  masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang bersangkutan yang akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini juga diperlukan untuk mendamaikan logika-logika hukum pada berbagai kebijakan di tingkat nasional yang tidak selamanya sama itu.

Artinya, kebijakan di tingkat daerah itu tidak lagi merupakan peraturan yang sekadar berisikan definisi-definisi yang bersifat generik, tetapi telah memuat kategori-kategori dan/atau bentuk-bentuk pengelompokan sosial yang dapat disebut sebagai wujud “masyarakat hukum adat” di daerah itu; bentuk-bentuk penggunaan sumber daya alam yang dapat dikategorikan sebagai obyek hak masing-masing subyek hak; dan juga berbagai jenis hak yang dikenal dalam kehidupan komunitas yang bersangkutan sehari-hari.

Rincian bentuk-bentuk konkret dari obyek dan subyek hak serta hubungan yang konkret antara jenis hak dan subyek hak yang beragam inilah yang seharusnya sudah tercantum dalam peraturan daerah atau perangkat peraturan tingkat daerah lainnya. Dan, peraturan daerah dimaksud mengatur mekanisme pengadministrasiannya saja. Bukan lagi sibuk melakukan penetapan subyek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar