Pidato Pribumi Anies
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI
2008-2013
|
KORAN
SINDO, 20 Oktober 2017
Dalam kontroversi tentang isu
pribumi, mungkin, secara yuridis Anies Baswedam tidak salah. Tetapi, mungkin
pula, secara politik tidak bijaksana.
Pidato Anies Baswedan di Balai
Kota beberapa jam setelah, bersama Sandiaga Uno, dilantik sebagai gubernur
dan wakil gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Senin (16/ 10/17) yang lalu
memancing kontroversi. Pernyataan Anies bahwa “pribumi” harus merdeka dari
penjajahan sesuai dengan janji kemerdekaan negara telah mengusik perhatian
publik.
Bahkan ada yang melaporkan
Anies ke Bareskrim Polri sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan UU Nomor
40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Atas serbuan
banyaknya pertanyaan, Jumat (20/10/17) kemarin siang, melalui Twitter, saya
bercuit seperti yang saya kutip diatas. Intinya, mungkin Anies tidak salah
secara hukum. Tetapi, mungkin saja salah secara politik. Bagaimana
penjelasannya?
Sebenarnya istilah pribumi itu
masih ada dan tidak dilarang di dalam tata hukum kita sebagai warisan hukum
yang terus diberlakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Awalnya, tahun 1848
pemerintah penjajahan Belanda mengeluarkan politik hukum tentang keberlakuan
hukum perdata di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia sebelum merdeka)
yang kemudian dituangkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS).
IS adalah peraturan
perundang-undangan ketatanegaraan untuk Hindia Belanda yang kala itu menjadi
sebutan resmi bagi Indonesia sebagai daerah jajahan Belanda. Pasal 163 IS itu
membagi penduduk Indonesia kedalam tiga golongan: Eropa, Timur asing, dan
pribumi atau bumiputra (terjemahan dari istilah inlander) . Bagi tiga
golongan tersebut diberlakukan jenis hukum yang berbeda.
Untuk golongan Eropa berlaku
hukum perdata Barat yang dikodifikasi di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHP), untuk dua golongan yang lain berlaku hukum adat
masing-masing, termasuk hukum Islam bagi penduduk yang beragama Islam. Warga
satu golongan penduduk boleh menyatakan menundukkan diri kepada hukum
golongan penduduk lainnya.
Penggolongan penduduk ke dalam
tiga kasta tersebut bisa dilihat jelek atau baik, tergantung dari sudut mana
memandang nya. Ada yang mengatakan bahwa pengastaan tersebut buruk karena
merefleksikan penghinaan terhadap golongan pribumi atau inlander yang
dianggap bodoh dan terbelakang.
Tetapi, ada yang menganggap
pengastaan itu justru bagus karena berarti pemerintahan Belanda kala itu
menghargai hukum yang hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat pribumi.
Waktu itu pemerintah Belanda tidak pernah bisa berhasil memaksakan berlakunya
hukum perdata Barat terhadap pribumi karena pribumi mempunyai hukum sendiri
yang ditaati dengan keanekaragamannya.
Itulah sebabnya pemerintah
Belanda menetapkan politik hukum yang dituangkan di dalam Pasal 163 IS agar
masyarakat Indonesia bisa tunduk dan memberlakukan hukumnya sendiri. Tak
perlulah kita mencari kesimpulan sekarang, apakah Pasal 163 IS itu jelek atau
buruk, sebab yang kita bicarakan saat ini adalah faktanya.
Faktanya, sampai sekarang Pasal
163 IS itu masih berlaku, diberlakukan berdasar Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, dan belum pernah dicabut baik norma maupun pelembagaannya. Sekarang
kita mempunyai peradilan agama atau memberlakukan hukum adat di kalangan
masyarakat yang justru dilembagakan dari hukum “inlander“ yang khusus berlaku
bagi kelompok pribumi.
Jadi tidak ada masalah hukum
untuk menyebut kata pribumi selama itu dimaksudkan untuk penduduk Indonesia
yang sudah merdeka. Adapun jika pernyataan Anies itu dikaitkan dengan
pelanggaran atas UU Nomor 40/2008 juga tidak mudah untuk di temukan tindak
pidananya.
Anies dilaporkan, misalnya,
melanggar Pasal 4 huruf b angka 2, yakni “Menunjukkan
kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang
berupa perbuatan ... berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata
tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain.”
Ancaman atas pelanggaran
ketentuan Pasal 4 huruf b angka 2 ini, menurut Pasal 16, adalah dipidana
selama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000. Secara hukum
akan sulit menemukan tindak pidana Anies dari pidatonya itu karena Anies
hanya menyebut “pribumi” dan tidak ada ungkapan kebencian terhadap ras dan
etnis tertentu.
Menurut Pasal 1 butir 2 UU
Nomor 40/2008, ras adalah golongan bangsa berdasarkan cirri-ciri fisik dan
garis keturunan, sedangkan etnis (menurut Pasal 1 butir 3) adalah
penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat
istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Kata pribumi yang dipergunakan
oleh Anies, rasanya tidak ada yang terkait, apa lagi tertuju kepada ras dan
etnis tertentu sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 butir 2 dan butir 3 UU
Nomor 40/2008 tersebut. Bagian mana dari “pidato pribumi” itu yang tertuju pada
ras atau etnis tertentu?
Begitupun, walaupun secara
yuridis mungkin benar seperti itu, tetapi secara politik isi pidato Anies itu
tidak bijaksana karena dua alasan. Pertama , seharusnya Anies sadar bahwa
pidatonya itu oleh sekelompok orang akan ditanggapi sebagai sikap menyudutkan
kelompok ras dan etnis tertentu karena term-term kampanye saat menjelang Pilgub
DKI 2017 sudah menyentuh isu ras dan etnis dalam apa yang disebut isu SARA.
Kedua, sejak era reformasi kita
telah berusaha untuk menghilangkan sebutan pribumi dan non pribumi karena,
meskipun secara hukum perdata tidak dihapuskan, sebutan tersebut secara
politik terasa rasis dan diskriminatif.
Pada era Presiden BJ Habibie dikeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 26/1998 yang melarang penggunaan istilah pribumi dan
nonpribumi dalam kegiatan pemerintahan.
Pada era Presiden Abdurrahman
Wahid dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000 yang berisi pencabutan atas
Keppres Nomor 14/1967 karena Keppres Nomor 14/1967 tersebut melarang
pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Adapun Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, selain mengeluarkan UU Nomor 40/2008, juga mengeluarkan Keppres
Nomor 12/ 2014 yang mengubah sebutan Cina menjadi Tionghoa.
Namun, meskipun tidak secara
langsung menembak ras dan etnis tertentu, “pidato pribumi” Anies itu secara
fatsun politik terasa menabrak inpres dan keppres-keppres tersebut.
Pelanggaran atas inpres atau
keppres memang tidak serta merta menjadi pelanggaran pidana, tetapi bisa
terasa menjadi pelanggaran fatsun politik. Seharusnya, langkah pertama Anies
sebagai gubernur bukan member kesan melanjutkan serangan, tetapi memulai
dengan rangkulan mesra kepada semua warga Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar