Perppu
Ormas:
Terbukanya
Kotak Pandora Hatta dan Ki Bagus
Muhammad Subarkah ; Jurnalis Republika
|
REPUBLIKA,
26 Oktober
2017
Ada perasaan teriris melihat
perdebatan yang terjadi saat sidang paripurna DPR yang membahas pengesahan
Perppu Ormas. Di sana terlihat jelas betapa bangsa ini belum beranjak jauh.
Elite politiknya terjebak dalam ‘dejavu’: memamah biak isu lama.
Ironi ini memerihkan dan
membuat iritasi bangsa yang mengaku menjadi untaian jamrud di katulistiwa.
Perdebatan di awal kemerdekaan tentang isu dasar negara, bentuk negara,
posisi hak asasi manusia, yang dahulu bisa diakhiri dengan elegan kini tak
ada lagi. Semua harus diakhiri voting, dan beda sekali dengan di masa lalu,
ketika Sukarno bisa menjadi jembatan untuk mengakhiri jurang pendapat yang
ada.
Maka, saya kembali teringat
pada kata Schiller yang kerap kali dikuti Bung Hatta: Saya menjumpai suasana
abad besar, tapi yang hadir ternyata hanya manusia kerdil. Politisi
kelas negarawan di ruang sidang itu
tak terlihat. Tak ada perdebatan bermutu, tak ada pencerahan, tak ada kalimat
yang bernas, semua nafsu menguasai dan silau bahwa kekuasaan adalah segala.
Jargon H Agus Salim memimpin
adalah berkorban dan menderita kini tinggal kenangan dan hilang bagai asap
tertiup angin.
Di awal kemerdekaan, di dalam
sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo beragumentasi dengan lugas mengenai dasar
negara Indonesia yang berdasarkan syariah Islam. Tentu saja penolakan
terjadi. Kelompok nasionalis, tokoh non islam, dan utusan dari tokoh
Indonesia timur tak sepakat. Maka terjadilah perdebatan yang keras.
Berkali-kali Ki Bagus secara
terbuka kesal karena argumentasi penolakan yang diberikan atas pendapatnya
terkesan ‘waton suloyo’ dan mengidap penyakit mental bawaan kolonialis:
Islamopobia. Ki Bagus naik tensinya ketika menanggapi perdebatan dengan tak
lagi mengucap salam ketika memulai pendapatnya dalam soal tentang agama di
konstitusi (saat ini pasal 29 UUD 1945), tapi mengucapkan ‘ta’awud’: meminta
perlindungan kepada Allah atas godaan setan terkutuk.
Ki Bagus resah bila Indonesia
merdeka nanti kaum Muslimin Indonesa akan meninggalkan agamanaya, dan kembali
ke agama yang lain. Saat itu memang tengau seru dibahas soal keberadaan tujuh
kata mengenai: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Tensi perdebatan kala itu terus
meninggi. Para tokoh yang menjadi utusan golongan Islam, seperti Ki Bagus, KH
Moedzakir, KH Sanoesi, KH Wahid Hasyim, dan lainnya tetap bertahan dalam
argumentasinya.
Saking kesalnya KH
Moedzakkir misalnya mengecam sikap
Islamophoia yang saat itu sudah berlebihan. Tokoh pergerakan Islam ini
menegaskan bila tak mau memakai ajaran atau ‘syariah Islam’, maka hal yang
berkenaan dengan nama Allah, nama Agama, Rahmat-Nya, berkat-Nya, hak-Nya,
pertolongan-Nya dicoret dari undang-undang dasar yang tengah dibahas itu.
Sedangkan kelompok yang
diseberangnya yang disebut kaum nasional juga tetap bergeming pada
pendapatnya. Meski begitu, tokoh kaum Nasionalis Sukarno, sempat menyatakan
tak sependapat dengan usuan ‘Tuan” Moedzakir itu. Setelah itu barulah Ki
Bagus Hadjikusumo menyela dan menanggapi perdebatan. Dia mendesak dalam
konstitusi harus jelas apakah negara akan berdasar agama atau tidak.
“Kalau-kalau sudah nyata-nya
netral terhadap agama jangan mengambil alih perkataan Islam yang rupanya
hanya dipakai ujung-ujung saja. Orang-orang mengerti betul pengalaman ini.
Orang Islam sungguh mengerti perkara agama. Kalau ada perkataan yang
rupa-rupanya dipakai ujung-ujung saja tidak nyata-nyata berarti, saya tahu
bahwa tidak ada baik kesannya kepada umat Islam,’’ kata Ki Bagus seraya
mengatakan segera saja lakukan ‘stem’ atau voting untuk memutuskan konstitusi
negara akan berdasar Islam atau tidak.
Adanya usulan segera dilakukan
voting membuat suasana sidang semakin menegangkan. Tokoh kaum nasionalis, Sukarno misalnya,
sangat paham meski mereka akan memangg dalam voting ini, maka negara yang
akan terbentuk itu mempunyai risiko yang sangat besar, yakni adanya perasaan
dari umat Islam bahwa mereka bukan menjadi pemiliknya. Umat Islam dipastikan
tidak akan mau berjuang untuk mempertahankan dan membangun bangsa Indonesia.
Untunglah, dalam situasi yang
menegangkan KH Sanusi dengan bijak agar pembaasan ditunda. Apalagi saat itu
waktu sidang sudah mendekati tengah malam. ‘’Jangan diputuskan
sekarang...Saya minta suasana permusyawaratan didinginkan dahulu,’’ kata
Sanusi.
Usulan ini segera disambut oleh
pemimpin sidang Dr KRT Radjiman Wedyoningrat. “Saya setuju sekali, maka saya
tutup sidang malam ini dan saya tunda sampai besok pagi,’’ sahtut Radjiman
menimpali usulan Sanusi.
Nah, setelah ditunda itulah,
sosok Sukarno menunjukan kepiawainnya dalam memimpin. Selama semalam suntuk
dia melakukan lobi kepada kedua belah pihak. Kesokan harinya keluarlah
kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta itu. Salah satunya
adalah –sesuai pidato Sukarno pada jam 09.00 WIB, tanggal 16 Juli 1945 di
depan Sidang BPUPKI:Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya.
Rumusan ini kemudian dibawa
hingga tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat pembahasan soal dasar negara para
bapak bangsa itu kemudian sepakat untuk menghilangkan ‘tujuh kata’ itu dengan
menggantinya dengan: Negara berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Saat
itu melalui atas usulan Hatta karena ada desakan dari tokoh Indonesoa Timur
yang ini kemudian dijalankan melalui lobi Kasman Singodimedjo berhasli
meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadiskusumo. Keputusan ini tidak diambil
melalui voting.
Dan isi kotak pandora yang lain
yang terbuka akibat perdebatan di Sidang Paripurna DPR ketika menyetujui
Perppu Ormas sebagai undang-undang adalah soal bentuk negara, wilayah negara,
dan pengakuan atas eksistensi hak asasi manuia.
Publik melihat jelas begitu
banyaknya jargon soal bentuk negara kesatuan diteriakan dalam sidang
paripurna itu. Akibatnya, alih-alih melihat manfaat yang besar akibat
pernyataan ini ‘diam-diam’ sebagian orang mulai melihat lagi seperti apa
perdebatan soal bentuk negara di masa sidang BPUKI itu. Hasilnya, jangan
kaget kalau di sana proklamtor Moh Hatta atau mengusulkan bentuk negara
federasi. Dan jangan kaget juga ketika Hatta mengusulkan bila wilayah Papua tidak menjadi bagian wilayan RI.
Alasan Hatta cenderung memilih
bentuk negara federal karena melihat contoh negara-negara besar waktu itu,
seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet. Sedangkan soal wilayah Papua bukan
wilayah Republik Indonesia karena Hatta melihat dari garis antropologis.
Selain itu jangan pula lebih
kaget, bila segala perdebatan soal HAM, itu juga berarti mempercakapan
kembali buah pemikiran Hatta ketika menginiasi aturan dasar konstitusi atas
kebesan setiap pribadi warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Sebab,
pada pasal itu Hatta menginginkan agar negara ini tidak terperosok dalam
totaliterisme di mana pihak yang berkuasa itulah yang menentukan kebenaran
sesuaii dengan seleranya sendiri dan kelompoknya.
Adanya perbedaan itu pun dalam
rapat BPUPKI dapat diselesaikan dengan elegan. Para peserta sidang saat itu sepakat
wilayah negara bukan didasarkan atas basis antropologis, namun berdasarkan
wilayah negara Hindia Belanda yang telah eksis, dan menghormati HAM.
Sukarno misalnya, meski terkesan
enggan dengan jaminan kebebasan dan HAM, dia tetap bisa menerimanya dengan
hati lapang karena saat itu sadar negara memang harus dilaknsakan dengan
mengacu pada hukum serta keadilan. Dia juga menganggap negara Republi
Indonesia dipersatukan dengan rasa senasib seperjuangan seluruh rakyat yang
selama ini hidup dalam penderitaan akibat kolonialism Belanda.
Sedangkan soal negara kesatuan
pada sidang BPUPKI itu juga disepekati dengan tidak bertele-tela. Dan di
kemudian hari kesepakatan ini dieksiskan oleh Mosi Integral negawaran Muslim
Moh Natsir yang menyatukan negara yang terpecah-pecah akibat perjanjian Meja
Bundar di Den Haag pada tahun 1949.
Maka belajar pada suasana
sidang BPUPKI, menjadi sebuah kesedihan yang luar biasa’ ketika putusan akhir
atas perdebatan yang ada diambil melalui cara voting yang hasilnya: 314
setuju versus 131 menolak.
Mengapa demikian
memprihatinkan? Jawabnya, kalau ditelisik perbedaan pendapat yang ada bukan
hal yang sangat fundamental. Semua pihak di sidang paripurna itu menyepakti
Pancasila, UUD 1945, dan bhineka tunggal ika. Yang tidak disepakati hanyalah
soal cara pegambilan tindakan oleh kekuasaan eksekutif kepada warga negaranya
ketika menjalankan hak berserikat dan berkumpul, yang tidak dilakukan melalui
mekanisme hukum atau pengadilan.
Mau tidak mau adanya situasi
ini jelas mengkhawatirkan. Di tengah situasi yang terbuka (open society) anak muda generasi
penerus bangsa menonton pertunjukan tak sedap. Para wakil rakyat melakukan
akrobat menang-menangan demi mendapat ‘sejengkal kekuasaan’ yang sangat remeh
dan fana.
Dalam hal ini menjadi tepat
bila putri mantan Penguasa Orde Baru, Titiek Suharto, mengaku aneh atas adanya keputusan DPR soal
Perppu Ormas itu. Dia menyindir ketidakkonsistenan para politikus yang mengaku
dirinya sebagai penerus gerakan reformasi.
"Dulu katanya zaman Orba
Perppu itu otoriter. Lha sekarang kok mereka begitu. Seperti nelan ludah
sendiri dong kalau begitu namanya," sindir Titiek.
Ya, begitulah dua kotak
pandora, masing-masing yang dipunyai Bung Hata dan Ki Bagus Hadikusumo
terlanjur terbuka kembali. Entah kapan, siapa , dan bagaimana akan menutupnya
lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar