Sabtu, 28 Oktober 2017

Perppu Ormas: Terbukanya Kotak Pandora Hatta dan Ki Bagus

Perppu Ormas:
Terbukanya Kotak Pandora Hatta dan Ki Bagus
Muhammad Subarkah ;   Jurnalis Republika
                                                   REPUBLIKA, 26 Oktober 2017



                                                           
Ada perasaan teriris melihat perdebatan yang terjadi saat sidang paripurna DPR yang membahas pengesahan Perppu Ormas. Di sana terlihat jelas betapa bangsa ini belum beranjak jauh. Elite politiknya terjebak dalam ‘dejavu’: memamah biak isu lama.

Ironi ini memerihkan dan membuat iritasi bangsa yang mengaku menjadi untaian jamrud di katulistiwa. Perdebatan di awal kemerdekaan tentang isu dasar negara, bentuk negara, posisi hak asasi manusia, yang dahulu bisa diakhiri dengan elegan kini tak ada lagi. Semua harus diakhiri voting, dan beda sekali dengan di masa lalu, ketika Sukarno bisa menjadi jembatan untuk mengakhiri jurang pendapat yang ada.

Maka, saya kembali teringat pada kata Schiller yang kerap kali dikuti Bung Hatta: Saya menjumpai suasana abad besar, tapi yang hadir ternyata hanya manusia kerdil. Politisi kelas  negarawan di ruang sidang itu tak terlihat. Tak ada perdebatan bermutu, tak ada pencerahan, tak ada kalimat yang bernas, semua nafsu menguasai dan silau bahwa kekuasaan adalah segala.

Jargon H Agus Salim memimpin adalah berkorban dan menderita kini tinggal kenangan dan hilang bagai asap tertiup angin.

Di awal kemerdekaan, di dalam sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo beragumentasi dengan lugas mengenai dasar negara Indonesia yang berdasarkan syariah Islam. Tentu saja penolakan terjadi. Kelompok nasionalis, tokoh non islam, dan utusan dari tokoh Indonesia timur tak sepakat. Maka terjadilah perdebatan yang keras.

Berkali-kali Ki Bagus secara terbuka kesal karena argumentasi penolakan yang diberikan atas pendapatnya terkesan ‘waton suloyo’ dan mengidap penyakit mental bawaan kolonialis: Islamopobia. Ki Bagus naik tensinya ketika menanggapi perdebatan dengan tak lagi mengucap salam ketika memulai pendapatnya dalam soal tentang agama di konstitusi (saat ini pasal 29 UUD 1945), tapi mengucapkan ‘ta’awud’: meminta perlindungan kepada Allah atas godaan setan terkutuk.

Ki Bagus resah bila Indonesia merdeka nanti kaum Muslimin Indonesa akan meninggalkan agamanaya, dan kembali ke agama yang lain. Saat itu memang tengau seru dibahas soal keberadaan tujuh kata mengenai: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tensi perdebatan kala itu terus meninggi. Para tokoh yang menjadi utusan golongan Islam, seperti Ki Bagus, KH Moedzakir, KH Sanoesi, KH Wahid Hasyim, dan lainnya tetap bertahan dalam argumentasinya. 

Saking kesalnya KH Moedzakkir  misalnya mengecam sikap Islamophoia yang saat itu sudah berlebihan. Tokoh pergerakan Islam ini menegaskan bila tak mau memakai ajaran atau ‘syariah Islam’, maka hal yang berkenaan dengan nama Allah, nama Agama, Rahmat-Nya, berkat-Nya, hak-Nya, pertolongan-Nya dicoret dari undang-undang dasar yang tengah dibahas itu.

Sedangkan kelompok yang diseberangnya yang disebut kaum nasional juga tetap bergeming pada pendapatnya. Meski begitu, tokoh kaum Nasionalis Sukarno, sempat menyatakan tak sependapat dengan usuan ‘Tuan” Moedzakir itu. Setelah itu barulah Ki Bagus Hadjikusumo menyela dan menanggapi perdebatan. Dia mendesak dalam konstitusi harus jelas apakah negara akan berdasar agama atau tidak.

“Kalau-kalau sudah nyata-nya netral terhadap agama jangan mengambil alih perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai ujung-ujung saja. Orang-orang mengerti betul pengalaman ini. Orang Islam sungguh mengerti perkara agama. Kalau ada perkataan yang rupa-rupanya dipakai ujung-ujung saja tidak nyata-nyata berarti, saya tahu bahwa tidak ada baik kesannya kepada umat Islam,’’ kata Ki Bagus seraya mengatakan segera saja lakukan ‘stem’ atau voting untuk memutuskan konstitusi negara akan berdasar Islam atau tidak.

Adanya usulan segera dilakukan voting membuat suasana sidang semakin menegangkan.  Tokoh kaum nasionalis, Sukarno misalnya, sangat paham meski mereka akan memangg dalam voting ini, maka negara yang akan terbentuk itu mempunyai risiko yang sangat besar, yakni adanya perasaan dari umat Islam bahwa mereka bukan menjadi pemiliknya. Umat Islam dipastikan tidak akan mau berjuang untuk mempertahankan dan membangun bangsa Indonesia.

Untunglah, dalam situasi yang menegangkan KH Sanusi dengan bijak agar pembaasan ditunda. Apalagi saat itu waktu sidang sudah mendekati tengah malam. ‘’Jangan diputuskan sekarang...Saya minta suasana permusyawaratan didinginkan dahulu,’’ kata Sanusi.

Usulan ini segera disambut oleh pemimpin sidang Dr KRT Radjiman Wedyoningrat. “Saya setuju sekali, maka saya tutup sidang malam ini dan saya tunda sampai besok pagi,’’ sahtut Radjiman menimpali usulan Sanusi.

Nah, setelah ditunda itulah, sosok Sukarno menunjukan kepiawainnya dalam memimpin. Selama semalam suntuk dia melakukan lobi kepada kedua belah pihak. Kesokan harinya keluarlah kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta itu. Salah satunya adalah –sesuai pidato Sukarno pada jam 09.00 WIB, tanggal 16 Juli 1945 di depan Sidang BPUPKI:Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Rumusan ini kemudian dibawa hingga tanggal 18 Agustus 1945. Dalam rapat pembahasan soal dasar negara para bapak bangsa itu kemudian sepakat untuk menghilangkan ‘tujuh kata’ itu dengan menggantinya dengan: Negara berdasarkan atas ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Saat itu melalui atas usulan Hatta karena ada desakan dari tokoh Indonesoa Timur yang ini kemudian dijalankan melalui lobi Kasman Singodimedjo berhasli meluluhkan pendirian Ki Bagus Hadiskusumo. Keputusan ini tidak diambil melalui voting.

Dan isi kotak pandora yang lain yang terbuka akibat perdebatan di Sidang Paripurna DPR ketika menyetujui Perppu Ormas sebagai undang-undang adalah soal bentuk negara, wilayah negara, dan pengakuan atas eksistensi hak asasi manuia.

Publik melihat jelas begitu banyaknya jargon soal bentuk negara kesatuan diteriakan dalam sidang paripurna itu. Akibatnya, alih-alih melihat manfaat yang besar akibat pernyataan ini ‘diam-diam’ sebagian orang mulai melihat lagi seperti apa perdebatan soal bentuk negara di masa sidang BPUKI itu. Hasilnya, jangan kaget kalau di sana proklamtor Moh Hatta atau mengusulkan bentuk negara federasi. Dan jangan kaget juga ketika Hatta mengusulkan bila wilayah Papua  tidak menjadi bagian wilayan RI.

Alasan Hatta cenderung memilih bentuk negara federal karena melihat contoh negara-negara besar waktu itu, seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet. Sedangkan soal wilayah Papua bukan wilayah Republik Indonesia karena Hatta melihat dari garis antropologis.

Selain itu jangan pula lebih kaget, bila segala perdebatan soal HAM, itu juga berarti mempercakapan kembali buah pemikiran Hatta ketika menginiasi aturan dasar konstitusi atas kebesan setiap pribadi warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Sebab, pada pasal itu Hatta menginginkan agar negara ini tidak terperosok dalam totaliterisme di mana pihak yang berkuasa itulah yang menentukan kebenaran sesuaii dengan seleranya sendiri dan kelompoknya.

Adanya perbedaan itu pun dalam rapat BPUPKI dapat diselesaikan dengan elegan.  Para peserta sidang saat itu sepakat wilayah negara bukan didasarkan atas basis antropologis, namun berdasarkan wilayah negara Hindia Belanda yang telah eksis, dan menghormati HAM.

Sukarno misalnya, meski terkesan enggan dengan jaminan kebebasan dan HAM, dia tetap bisa menerimanya dengan hati lapang karena saat itu sadar negara memang harus dilaknsakan dengan mengacu pada hukum serta keadilan. Dia juga menganggap negara Republi Indonesia dipersatukan dengan rasa senasib seperjuangan seluruh rakyat yang selama ini hidup dalam penderitaan akibat kolonialism Belanda.

Sedangkan soal negara kesatuan pada sidang BPUPKI itu juga disepekati dengan tidak bertele-tela. Dan di kemudian hari kesepakatan ini dieksiskan oleh Mosi Integral negawaran Muslim Moh Natsir yang menyatukan negara yang terpecah-pecah akibat perjanjian Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949.

Maka belajar pada suasana sidang BPUPKI, menjadi sebuah kesedihan yang luar biasa’ ketika putusan akhir atas perdebatan yang ada diambil melalui cara voting yang hasilnya: 314 setuju versus 131 menolak.

Mengapa demikian memprihatinkan? Jawabnya, kalau ditelisik perbedaan pendapat yang ada bukan hal yang sangat fundamental. Semua pihak di sidang paripurna itu menyepakti Pancasila, UUD 1945, dan bhineka tunggal ika. Yang tidak disepakati hanyalah soal cara pegambilan tindakan oleh kekuasaan eksekutif kepada warga negaranya ketika menjalankan hak berserikat dan berkumpul, yang tidak dilakukan melalui mekanisme hukum atau pengadilan.

Mau tidak mau adanya situasi ini jelas mengkhawatirkan. Di tengah situasi yang terbuka (open society) anak muda generasi penerus bangsa menonton pertunjukan tak sedap. Para wakil rakyat melakukan akrobat menang-menangan demi mendapat ‘sejengkal kekuasaan’ yang sangat remeh dan fana.

Dalam hal ini menjadi tepat bila putri mantan Penguasa Orde Baru, Titiek Suharto,  mengaku aneh atas adanya keputusan DPR soal Perppu Ormas itu. Dia menyindir ketidakkonsistenan para politikus yang mengaku dirinya sebagai penerus gerakan reformasi.

"Dulu katanya zaman Orba Perppu itu otoriter. Lha sekarang kok mereka begitu. Seperti nelan ludah sendiri dong kalau begitu namanya," sindir Titiek.

Ya, begitulah dua kotak pandora, masing-masing yang dipunyai Bung Hata dan Ki Bagus Hadikusumo terlanjur terbuka kembali. Entah kapan, siapa , dan bagaimana akan menutupnya lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar