Bisakah
Arab Saudi Moderat?
Zuhairi Misrawi ; Intelektual Muda
Nahdlatul Ulama;
Analis Pemikiran dan Politik
Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
|
DETIKNEWS,
26 Oktober
2017
Media-media internasional dan
nasional menjadikan pidato Pangeran Muhammad bin Salman perihal deklarasi
Islam Moderat sebagai headline. Semua menyambut pidato tersebut sebagai
sejarah penting tidak hanya bagi Arab Saudi, tetapi bagi dunia. Mengapa?
Pengaruh Wahabisme telah melanglang buana ke sentero negeri, tidak terkecuali
ke negeri ini, setelah tahun 80-an ketika minyak menjadi primadona
perekonomian dunia yang memberikan berkah dolar bagi negeri-negeri kaya
minyak, khususnya Arab Saudi.
Kisruh munculnya al-Qaeda dan
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi luapan kemarahan global.
Beberapa media mainstream Amerika Serikat seperti The New York Times dan The
Washington Post kerap menurunkan tulisan perihal peran Arab Saudi dalam
tumbuhnya ekstremisme di dunia, yang berujung pada maraknya aksi terorisme.
Intinya, media-media tersebut meminta agar pendekatan hard power, khususnya
pendekatan militer dan keamanan, tidak dijadikan sebagai pilihan utama dalam
menumpas terorisme. Melainkan, juga perlu pendekatan soft power melalui
deradikalisasi dan pencerahan keagamaan.
Langkah soft power ini juga
disampaikan Presiden Jokowi dalam berbagai pertemuan para pemimpin dunia.
Yang terakhir dalam pertemuan Presiden Amerika Serikat dengan para pemimpin
dunia Islam di Riyadh, Jokowi juga menggarisbawahi perihal perlunya soft
power. Indonesia sudah lama melakukan pendekatan soft power, baik yang
dilakukan oleh pemerintah melalui deradikaliasi maupun yang dilakukan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam menyebarluaskan paham Islam rahmatan
lil 'alamin.
Rupanya Arab Saudi juga
melakukan langkah-langkah soft power untuk mengamputasi ekstremisme yang
kerap menggunakan jubah agama. Sebelum Pangeran Salman menyampaikan sikapnya
untuk menempuh jalan moderasi Islam, Arab Saudi sudah terlebih dahulu
menangkap ratusan ulama yang kerap menyampaikan khutbah kebencian dan
kekerasan. Jauh sebelum ini, Arab Saudi sudah melakukan deradikalisasi
terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan terorisme.
Sikap yang diambil Pangeran Muhammad
bin Salman merupakan sebuah deklarasi untuk menyongsong era baru Arab Saudi.
Ghassan Charbel, Pemimpin Redaksi Harian al-Syarq al-Awsat menyebut langkah
yang diambil oleh Sang Pangeran sebagai kamus baru yang akan menyegarkan
kehidupan beragama di Arab Saudi.
Menurut Charbel, yang dimaksud
dengan Islam Moderat adalah Islam yang menerima kehadiran pihak lain,
memperlebar ruang titik-timu bukan titik-tengkar, menyingkap kerja sama dalam
mewujudkan kemajuan, dan bersikap inklusif terhadap agama-agama lain.
Harus diakui, langkah yang
diambil Pangeran Muhammad bin Salman tersebut merupakan sebuah langkah besar.
Ia ingin mengubah citra Arab Saudi yang selama ini tertutup dan terkesan
melakukan ekspansi ke dunia internasional untuk memasarkan paham Wahabisme
yang ekstrem, kaku, dan rigid.
Tentu, langkah tersebut tidak
mudah. Wahabisme sudah menjadi fondasi yang kokoh bagi Arab Saudi. Bahkan
sejak awal berdirinya, Arab Saudi merupakan hasil kongsi dengan paham yang
diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian dikenal dengan
Wahabisme.
Paham tersebut lebih dikenal
dengan Wahabisme, karena memang mempunyai corak khusus yang cenderung puritan
dan ekstrem. Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from
The Extremits secara gamblang menjelaskan geneologi ekstremisme di dunia
Islam dapat dilacak pada Wahabisme yang disebarkan secara ekspansif ke dunia
Islam, termasuk salah satunya ke Indonesia.
Maka dari itu, langkah yang
diambil oleh Pangeran Muhammad bin Salman merupakan sebuah keberanian luar
biasa. Karena dalam soal keagamaan, Arab Saudi masih menjadikan Wahabisme
sebagai rujukan utama. Kekuasaan dan pengaruh mereka masih sangat kuat,
karena hampir menguasai seluruh sektor kehidupan.
Saya memandang, Pangeran
Muhammad bin Salman akan menggunakan pendekatan top down. Yaitu, perintah
langsung untuk mengamputasi paham ekstrem yang melekat dalam Wahabisme,
termasuk menangkap para ulama yang menentang langkahnya. Namun, langkah
tersebut bukan tanpa risiko. Karena jika tidak dikelola dengan baik, maka
akan menimbulkan konsolidasi di kalangan para ulama untuk menentang rezim
Raja Salman. Apalagi muncul rumor Raja Salman akan lengser, dan menunjuk
putera mahkota.
Jika para ulama masih
bersikukuh pada Wahabisme, maka langkah memilih moderasi Islam bisa memukul
balik Pangeran Muhammad bin Salman. Pasalnya, dalam kurun waktu yang sangat
lama, rezim Arab Saudi sangat tergantung kepada para ulama yang selama ini
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan untuk mendukung kebijakan rezim yang berkuasa.
Wahabisme sudah mengakar kuat di dalam pikiran para ulama dan warga Arab
Saudi.
Beberapa waktu lalu, pihak
kerajaan menangkap sejumlah ulama yang tidak bersikap dalam konflik dengan
Qatar. Jagat Twitter dan media sosial lainnya meluapkan kemarahan yang sangat
luar biasa terhadap langkah-langkah yang dianggap represif tersebut.
Hingga sekarang ini tidak
terdengar respons para ulama Arab Saudi saat mendengarkan langkah yang
diambil oleh Pangeran Muhammad bin Salman untuk memilih jalur moderasi Islam.
Begitu pula, pilihan moderasi Islam tidak mudah diterima oleh warga Arab
Saudi yang selama ini nyaman dengan paham Wahabisme, karena dengan paham
tersebut mereka dapat mengontrol kaum perempuan.
Setidaknya, paham moderasi
Islam akan memberikan ruang bagi kaum perempuan untuk memiliki hak yang
setara dengan kaum laki-laki. Beberapa waktu lalu perempuan sudah
diperbolehkan mengemudi kendaraan sejak tahun depan, dan jalur moderasi Islam
akan membuka ruang-ruang yang lain bagi kaum perempuan untuk berperan di
ruang publik.
Maka dari itu, pilihan moderasi
Islam bagi Arab Saudi tidak mudah. Pasti akan menimbulkan goncangan, karena
para ulama dan mungkin saja sebagian besar warga Arab Saudi sudah merasa
nyaman dengan Wahabisme. Belum lagi, respons dari jaringan al-Qaeda dan ISIS
yang selama ini menjadikan Arab Saudi sebagai kiblat mereka. Mereka pasti
akan menentang keras langkah yang diambil oleh Pangeran.
Di hari-hari mendatang kita
akan melihat sejauh mana Islam Moderat dan Wahabisme saling berkontestasi di
Arab Saudi. Dan, hal tersebut akan menjadi parameter perubahan yang sangat
fundamental, bahkan radikal dalam konteks keagamaan dan politik yang lebih
luas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar