Maskulinitas
yang Keliru
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
29 Oktober
2017
Hei, kaum pria, yang mana kubu
perilakumu. Apakah yang mewakili kelembutan rasa: “Mataku menjawab matamu,
jariku menyentuh jarimu, debaran jantungku bertemu dengan debaran jantungmu,
hingga dari kau ke aku lahir suatu ‘kita’, yang tanda demi tanda, tak
terhitung waktu, pada akhirnya bermuara pada penunggalan jiwa, nafas dan tubuh”.
Atau yang mewakili kekasaran perilaku: “Aku tak hirau sorot pandangan matamu,
aku tak mau mendengar debaran takut jantungmu, aku tak peduli memaksa kamu,
meskipun kamu kian muak di dalam penyatuan paksamu dengan tubuhku”.
Adab versus biadab nafsu seksual:
memang itulah dialektika yang senantiasa membayangi hubungan kaum pria dan
wanita. Yang tak jarang pula, kebiadaban bagi perempuan ini bisa menghantui
segenap waktu siang malamnya.
Namun, anehnya, ketimpangan
dasar hubungan pria dan wanita seperti di atas ini ditanggapi sebagai suatu
fakta kehidupan biasa. Apakah karena merata pada setiap peradaban dunia? Bisa
jadi. Apa pun peradaban yang bersangkutan, sang wanita selalu berada dalam
posisi di mana dia entah wajib secara sosial atau moral, atau dipaksakan
secara psikologis dan fisik, untuk menampung tawaran seksual dari lawan
jenisnya. Bermula dari siulan di jalan, sentuhan kecil yang mengisyaratkan
‘maksud’, genggaman yang bertujuan ‘jelas’, hingga ke aneka paksaan, di mana
‘no/tidak’-nya selalu diterjemahkan sebagai “ya”, apa pun rintihan
penolakannya. Apalagi, saking terbiasanya dengan godaan kecil, sang wanita
polos bisa saja jatuh di dalam perangkap cabul sang juru paksa-untuk
menyadarinya ketika terlambat. Sedangkan, sok perkasa bak ayam jantan, pria
kasar selalu meyakini dirinya sebagai penampung nafsu berahi betina yang
dipuaskannya.
Fenomena kekerasan seksual
hadir dengan aneka modus dan varian kultural dan sosial di seluruh dunia. Ada
varian film-film Amerika, yang wanitanya selalu menyerah setengah paksa. Ada
varian Timur Tengah, yaitu bila diungkap menjadi korban, wanita kerap
diwajibkan menikahi pria yang telah memperkosanya. Ada varian ‘ngejuk’ ala
Bali, yakni wanita diambil (juka) dengan paksa sebagai cara-yang konon
ksatria-agar dapat menikahinya. Dan ada varian-varian lainnya yang tak
terhitung banyaknya, yang selalu bertujuan tunggal: kecuali bila terdapat
pembuktian, seperti kesaksian yang tak diragukan, atau tanda cedera nyata,
sang pria luput dari hukum, termasuk dari vonis sosial. Agresivitas
seksualnya selalu dibenarkan sebagai sesuatu yang kodrati. Wanita
menggodanya, entah karena telah senyum, atau memakai rok mini. Dialah yang
salah. Kini diyakini bahwa hanya 10-15 persen dari pemerkosaan dan kekerasan
seksual tampil di permukaan. Di dalam situasi dengan bias tanpa harapan
seperti ini, tidak mengherankan bila ‘mengonstruksi’ sebagai wajar
kekalahannya di hadapan sang pria menjadi komponen intrinsik dari psikologi
wanita. Seperti sebaliknya, bagi pria, tidak mengherankan bila mengonstruksi
perkasaannya sebagai penaklukan wanita-secara bombastis di hadapan teman
sekolah, rekan pria, dan lain-lain-menjadi bagian intrinsik dari psikologi
pria, termasuk pria halus. Sangat sulit keluar dari lingkaran setan jender
ini. Seolah-oleh kekasaran seksual adalah inheren pada setiap pria, dan
penyerahan diri atribut wajib setiap wanita. Pria dan wanita yang tidak mau
masuk dalam peran jender ini cenderung disindir sebagai kurang macho, tidak
feminin, dan lain-lain.
Namun tak mustahil terdapat
harapan kecil di tengah kegelapan. Baru-baru ini telah keluar di New York
Times suatu artikel tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu
moghul dunia perfilman Amerika, Harvey Weinstein. Menyusul artikel tersebut,
puluhan perempuan telah melakukan protes dengan mengungkap kekerasan seksual
yang dilakukan Weinstein. Lalu tuduhan diperluas hingga mencakupi puluhan
tokoh lain yang juga digugat kekerasan seksualnya. Dan kini, dengan hashtag
#metoo (saya juga) di Amerika atau #balancetonporc (gugatlah babimu) di
Perancis, sudah puluhan ribu wanita yang mengungkap kisah kekerasan seksual
yang dialami dan menuntut agar paradigma maskulinitas diubah. Cukup adalah
cukup, tuntut mereka!
Tapi kau, wanita Indonesia,
kapan kau pun akan berani bersuara? Apakah masih takut disalahkan kaum
moralis? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar