Nasionalisme
Kaum Sarungan
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
21 Oktober
2017
Baru-baru ini, sejarawan dan
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama Kiai Ng Agus Sunyoto
menulis sebuah buku bertajuk Fatwa dan Resolusi Jihad.
Buku itu dalam hemat saya
sangat otoritatif jadi rujukan guna menelisik lebih jauh apa dan bagaimana
sesungguhnya peran santri dalam memerdekakan republik ini. Hal ini sangat
penting karena selama ini—meminjam istilah para akademisi—ada semacam usaha
untuk memandang sebelah mata, mengesampingkan, atau bahkan menegasikan peran
santri. Padahal, fakta sejarah berbicara bahwa peran santri cukup besar dalam
perjuangan kemerdekaan. Bukti konkretnya salah satunya bisa dirujuk dalam
opus As’ad Sihab berjudul Allamah
Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhiu Labinati Istiqlalai Indonesia.
Dalam buku biografis tersebut,
jurnalis produktif itu memaparkan fakta bahwa sesungguhnya peletak dasar
kemerdekaan bagi Indonesia adalah KH Hasyim Asy’ari. Semangat, strategi, dan
motivasinya dalam usaha-usaha memerdekakan bangsa ini dari penjajah terbukti
membangkitkan ”ruhul jihad”, terutama bagi kalangan pesantren kala itu.
Nasionalisme kaum santri
Banyak arsip sejarah dan
dokumen penting serta laporan dari pelbagai sumber yang melukiskan betapa
perlawanan kiai dan santri terhadap para penjajah adalah perlawanan yang
memang benar-benar bersumber dari rasa cinta kepada Tanah Air. Salah satu
bukti betapa heroiknya perlawanan kiai dan santri pada November 1945
dilukiskan dalam berita Kedaulatan Rakjat edisi 26 November 1945 seperti ini:
”Kesaktian kijai2 di medan
pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri.
Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnja lagi.”
Di lain pihak, sosok KH Abdul
Wahab Hasbullah juga memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam
memupuk dan menumbuhkembangkan semangat rasa cinta Tanah Air. Pascaperang
kemerdekaan, hal penting yang harus dibangun adalah membangun rasa cinta
Tanah Air. Rasa cinta Tanah Air tersebut tidak boleh luntur. Maka, ia harus
terus dirawat, ditumbuhkan, jika perlu terus diproklamasikan dan
dipropagandakan.
Pada titik inilah Kiai Wahab
memandang penting menggubah sebuah syair atau lagu bertajuk ”Syubbanul
Wathan”. Lirik lagu ini sangat patriotis, sarat dengan muatan cinta Tanah
Air. Dalam lirik itu disebutkan, ”Pusaka Hati wahai tanah airku/Cintaku dalam
Imanku/Jangan halangkan Nasibku/Bangkitlah hai Bangsaku/Indonesia
Negeriku/Engkau Panji Martabatku/Siapa datang mengancammu kan binasa
berdarah-berdarah”.
Lagu ”Syubbanul Wathan” menjadi
instrumen menggelorakan semangat rasa cinta Tanah Air. Bahkan, sebagai tindak
lanjut dan usaha merawat nasionalisme Kiai Wahab atas bimbingan Kiai Hasyim
Asy’ari membuat jargon dan adagium hubbul wathan minal iman.
Dalam pandangan KH Said Aqil
Siroj (2017), penerjemahan hubbul
wathan minal iman yang selama ini sering diartikan dengan cinta Tanah Air
sebagian dari iman adalah terjemahan yang kurang akurat. Terjemahan
akurat—meminjam Kiai Said—adalah nasionalisme bagian dari iman. Lagu
”Syubbanul Wathan” menjadi semacam resonansi yang terus menggemakan semangat
nasionalisme kalangan santri. Ia juga menjadi bahan bakar ampuh untuk
menumbuhkembangkan semangat rasa cinta Tanah Air bagi generasi muda usia anak
sekolah, bahkan hingga saat ini.
Siapa sejatinya santri dan
bagaimanakah kiprah mereka dalam kerangka bangun berbangsa dan bernegara? Dua
pertanyaan itu kerap dan sering disampaikan kepada saya. Hal ini penting
untuk saya sampaikan agar definisi siapa sejatinya santri itu tuntas dan
terdefinisikan. Lagi pula, sebagian dari kita ternyata masih banyak yang
terjebak dalam kerangka trikotomisasi yang pernah dibuat Clifford Geertz:
abangan, santri, dan priayi.
Saya sepakat dengan definisi
konseptual KH A Mustofa Bisri (2016). Dalam pandangan Gus Mus, santri adalah
siapa pun yang berakhlak, yang tawaduk kepada Allah, tawaduk kepada orang
alim, dan melihat Tanah Air Indonesia ini sebagai rumah.
Konsep santri
Ada dua titik poin penting
dalam tawaran definisi tersebut. Pertama, santri memiliki perilaku dan akhlak
ritual serta sosial yang baik. Dalam bahasa yang lebih mudah, santri memiliki
apa yang disebut sebagai kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dua istilah
ini tidak bisa dinegasikan satu dengan yang lainnya. Keduanya harus berjalan
seiring seirama.
Sesungguhnya istilah ini
merupakan istilah yang sudah sangat klise, tetapi penting untuk dikemukakan
lagi mengingat semakin banyak dan merebaknya praktik-praktik keagamaan yang
cenderung memutus mata rantai konektivitas di antara keduanya. Misalnya saja,
ada semacam paham-paham yang mempropagandakan dan mengajarkan bahwa yang
penting adalah kesalehan ritual. Dalam konteks Indonesia, kesalehan sosial
tak begitu diperlukan karena hal itu sifatnya relatif karena berbuat saleh
dan baik kepada non-Muslim—dalam konteks negara Indonesia yang
majemuk—menurut pandangan mereka itu tidak diwajibkan.
Terhadap pandangan semacam ini,
saya menegaskan menolak keras. Saya memandang bahwa kesalehan yang berdimensi
sosiologis sangat penting dan wajib dalam konteks berbangsa dan bernegara,
apalagi yang bineka seperti Indonesia ini. Untuk membangun kesalehan sosial,
konsep etika yang digunakan adalah etika yang transendental, bukan etika yang
resiprokal.
Etika transendental adalah
sebuah kerangka etika yang sumber kerangka berpikir dan tindakannya
didasarkan pada konsep ”wabidzalika umirtu”. Konsep beretika bukan karena
alasan dan pamrih apa-apa. Kita berbuat baik memang karena kita diperintahkan
untuk itu. Tidak ada pamrih dan alasan apa-apa yang menjadi latar
belakangnya. Kita berbuat baik memang karena harus berbuat baik kepada siapa
saja. Sebaliknya, etika resiprokal adalah sebuah etika yang kerangkanya
adalah karena dasar timbal balik. Kita berbuat baik kepada seseorang karena
seseorang tersebut pernah berbuat baik kepada kita. Jenis etika semacam ini
sangat transaksional. Maka, dalam hemat saya, etika jenis kedua ini harus
kita negasikan jauh-jauh dari kehidupan kita, apa pun itu konteksnya,
terutama jika hal itu menyangkut konteks berbangsa dan bernegara.
Kedua, santri adalah mereka
yang melihat Tanah Air Indonesia sebagai rumah. Dalam bahasa yang ringkas,
santri adalah mereka yang memiliki jiwa dan semangat nasionalisme. Santri
adalah mereka yang memandang Tanah Air ini sebagai—barangkali meminjam
istilah D Zawawi Imron—sajadah.
Maka, jelas pada fase ini saya
ingin mengatakan bahwa konsep santri tidaklah sekaku dan sesaklek konsep yang
selama ini kita bayangkan: bersarung, pernah mukim di pesantren, berpeci,
mengkaji ilmu agama, dan sebagainya. Santri bukan pula sebagaimana yang
dikonsepsikan dan ditrikotomisasikan oleh Clifford Geertz. Santri adalah
mereka yang berakhlak, saleh ritual sosial, dan mencintai Tanah Air.
Pada momen Hari Santri 22
Oktober, spirit untuk menjaga dan memupuk nasionalisme bisa kita teladani
dari para santri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar