Mengapa
Harus Takut pada Densus Tipikor
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional
KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 24 Oktober 2017
ADA yang menarik dari
pro-kontra kehadiran Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor)
Polri. Tiba-tiba saja banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot seperti anak
kecil yang terancam kehilangan mainan. Padahal, kehadiran Densus Tipikor Polri
tidak akan mengurangi proyek-proyek kerja sama KPK dengan berbagai pihak dan
berbagai program yang dibiayai APBN. Serta, tidak akan mengganggu juga
masuknya aliran dana bantuan asing yang selama ini masuk ke berbagai pihak
melalui endorsement KPK untuk tetap
”memfestivalisasi” isu-isu
pemberantasan korupsi yang kerap melahirkan kegaduhan dan mengganggu
pembangunan.
Tidak ada yang perlu ditakutkan
atau dipersalahkan jika kehadiran Densus Tipikor nanti akan menimbulkan
kegaduhan sebab kegaduhan akan berhenti dengan sendirinya setelah semua orang
paham akan peran dan fungsi Densus Tipikor. Mengapa harus takut pada
inisiatif Polri menghadirkan Densus Tipikor? Ada urgensinya bagi negara memperbarui strategi
pemberantasan korupsi karena strategi maupun aksi yang diterapkan sekarang
tidak efektif lagi. Negara memerlukan alat pemukul tambahan sehingga Polri
berinisiatif membentuk Densus Tipikor.
Sebuah inisiatif baru memang
harus diambil karena kinerja pemberantasan korupsi dalam 15 tahun terakhir
sama sekali tidak signifikan. Selama belasan tahun itu, medan perang melawan
korupsi hanya mempertunjukkan penindakan atau operasi tangkap tangan (OTT).
Alih-alih menurun, korupsi justru semakin menjadi-jadi. Kecuali Kantor
Presiden dan Wakil Presiden, semua institusi negara sudah terjangkit virus
korupsi.
Mahkamah Agung (MA) sebagai
benteng terakhir pencari keadilan pun tidak bisa membendung virus korupsi.
Beberapa oknum di dalam MA terlibat korupsi dengan modus jual-beli perkara.
Para oknum hakim pada sejumlah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi pun
ditangkap karena korupsi dalam bentuk menerima uang suap dengan imbalan
meringankan vonis. Negeri ini sebenarnya sedang dibayang-bayangi
ketidakpastian hukum karena badan-badan peradilan terlalu sering diguncang skandal
suap.
Jumlah kepala daerah yang sudah
dijerat karena melakukan korupsi sebenarnya patut dikhawatirkan. Bukan hanya
karena jumlahnya sudah cukup banyak, melainkan juga persoalan efektivitas
tata pemerintahan daerah setempat yang juga harus diperhitungkan. Lebih dari
itu, begitu banyak kepala daerah yang ditangkap juga memberi gambaran tentang
buruknya pola rekrutmen pimpinan daerah. Pimpinan daerah dengan kualitas
kepribadian yang buruk biasanya juga tidak berorientasi pada kepentingan
masyarakat setempat.
Presiden Joko Widodo terpaksa
harus memberi peringatan sangat keras kepada seorang wali kota karena
membiarkan sejumlah ruas jalan di kota besar itu rusak parah. Itulah salah
satu contoh kasus dari kepribadian pimpinan daerah yang tidak berorientasi
pada kepentingan masyarakat setempat. Dengan kualitas kepribadian seperti
itu, seorang penguasa daerah tidak sungkan-sungkan untuk berperilaku
menyimpang, termasuk berperilaku korup.
Gambaran tentang maraknya
praktik korupsi di negara ini sudah menjadi pengetahuan umum. Di ruang publik
setiap individu pasti punya cerita tentang perilaku oknum birokrat yang
korup, tentang modus-modus korupsi, hingga kisah tentang gaya hidup keluarga
koruptor. Menghadapi kenyataan buruk itu, publik hanya bisa melihat dan
mendengar. Tetapi, mereka tidak bisa dan tak berdaya untuk sekadar mencegah
korupsi. Maka, alat-alat negaralah yang harus bertindak.
Benar bahwa sudah ada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapat mandat undang-undang untuk
memerangi korupsi. Namun, kendati KPK sudah menangkap begitu banyak koruptor,
toh efek jera tidak pernah tumbuh.
Sudah terbukti bahwa eksistensi KPK tidak menghadirkan efek gentar. Karena
minus efek gentar itulah, korupsi tampak semakin marak. Menyikapi
kecenderungan itu, sebagian orang hanya bisa marah, yang lain mengeluh, dan
sebagian lainnya mengecam. Atau, bersilat lidah dalam forum dialog tentang
strategi pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya adalah mau berapa
lama kecenderungan seperti sekarang akan dipertahankan? Lalu, apakah dengan
strategi seperti yang dipraktikkan sekarang ini bisa efektif menekan praktik
korupsi di tubuh birokrasi pemerintah pusat maupun birokrasi pemerintah
daerah? Perdebatan tentang perlu dan tidak penguatan KPK adalah jebakan yang
mengakibatkan kinerja pemberantasan korupsi tidak signifikan.
Banyak orang terlihat konyol
karena tidak mau mengakui bahwa KPK tidak cukup efektif memberantas korupsi.
KPK bahkan nyaris gagal karena lebih mengutamakan penindakan, bukan
merumuskan sistem dan strategi pencegahan. Rangkaian penindakan KPK itu
kemudian dijadikan show untuk
menghibur masyarakat sekaligus penjelasan bahwa KPK telah bekerja. Apakah
rangkaian show oleh KPK itu efektif
menyelesaikan masalah? Kerja KPK memang patut diapresiasi. Tetapi, tujuan
besarnya bukanlah rentetan penindakan itu, melainkan terbangunnya budaya
antikorupsi.
Belum tumbuhnya budaya
antikorupsi menjadi ancaman serius bagi masa depan generasi muda bangsa ini.
Orang-orang muda yang memasuki dunia kerja harus menghadapi budaya atau
perilaku korup di lingkungan kerja pemerintahan maupun di lingkungan swasta.
Anak-anak muda yang melamar kerja di pabrik-pabrik harus menyediakan uang
sogok. Perusahaan-perusahaan swasta yang ingin mengerjakan proyek-proyek
pemerintah juga harus menyisihkan uang suap. Seperti itulah praktik atau
kecenderungan yang berlaku sekarang. Dan, sekali lagi, kecenderungan ini
bukan hanya sudah menjadi pengetahuan umum, melainkan juga dirasakan atau
menjadi pengalaman jutaan orang di negara ini. Dan, jutaan orang itu merasa
dilecehkan di negerinya sendiri. Tak tahu mau mengadu kepada siapa.
Efek Gentar
Harus ada keberanian untuk
mengakui kegagalan dalam pemberantasan korupsi. Mari berkata jujur pada diri
sendiri dan kepada khalayak tentang kegagalan itu. Gerakan pemberantasan
korupsi tidak akan pernah mencapai tujuannya jika selalu dijadikan polemik
atau perdebatan. Berdebat tidaklah salah jika berujung pada kesepakatan
tentang rumusan strategi yang paling efektif.
Tantangan bagi bangsa ini
adalah bagaimana mereduksi perilaku korup di tubuh birokrasi pusat dan
daerah? Menyerahkan semua beban pekerjaan itu kepada KPK sudah terbukti tidak
masuk akal. Lihat saja, eksistensi KPK tidak membuat oknum pegawai negeri
sampai kepala daerah takut melakukan korupsi. Karena fokus pada penindakan,
mencegah kepala daerah melakukan korupsi pun KPK tidak mampu. Padahal, karena
posisinya yang paling atas dalam struktur pemerintahan daerah, mencegah
kepala daerah melakukan korupsi seharusnya lebih mudah jika KPK sejak awal
merumuskan sistem dan strategi pencegahannya.
Karena itu, menghadirkan alat
”pemukul” tambahan bernama Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus
Tipikor) yang digagas dan dibentuk oleh Mabes Polri menjadi sangat relevan.
Lagi pula, merespons kasus-kasus tipikor bukanlah pekerjaan haram bagi Polri.
Sebaliknya, pekerjaan itu merupakan kewajiban Polri. Dengan jelajah kerja
yang membentang dari pusat hingga semua pelosok daerah, Densus Tipikor bukan
hanya diharapkan mampu menghadirkan efek gentar, melainkan juga harus bisa
menghadirkan efek gentar itu.
Efek gentar berperilaku korup
harus segera ditumbuhkan di semua ruang publik. Biarlah semua orang merasa
diawasi oleh personel Densus Tipikor. Karena merasa diawasi, siapa pun akan
gentar untuk berperilaku korup. Dalam konteks ini, pengawasan terhadap setiap
oknum dalam skala yang moderat bukanlah sebuah kesalahan. Anak-anak didik
yang mengikuti ujian saja diawasi oleh gurunya agar tidak berperilaku korup
dengan menyontek. Pendekatan seperti ini diperlukan dalam rentang waktu
tertentu dengan tujuan terbangun budaya antikorupsi.
Apakah kehadiran Densus Tipikor
akan menimbulkan kegaduhan? Bisa ya,
bisa juga tidak. Kegaduhan karena kehadiran Densus Tipikor pun tidak
perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan. Kegaduhan akan berhenti dengan
sendirinya setelah semua orang paham akan peran dan fungsi Densus
Tipikor.
Siapa yang akan memicu
kegaduhan dari kehadiran Densus Tipikor? Sudah barang tentu kelompok-kelompok
yang merasa akan sangat terganggu dengan beroperasinya Densus Tipikor. Mereka
adalah kelompok yang merasa nyaman dengan kelemahan dan kekurangan KPK saat
ini. Mereka tidak peduli pada fakta tentang korupsi yang semakin marak.
Karena merasa terganggu, mereka pasti akan menggalang kekuatan atau opini
untuk menentang kehadiran Densus Tipikor.
Upaya itu diyakini tidak akan berhasil karena negara memang sangat
membutuhkan alat pemukul tambahan dalam perang melawan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar