Jokowi
dan Generasi Milenial
Ali Rif’an ; Direktur Riset Monitor
Indonesia
|
JAWA
POS, 20 Oktober 2017
Survei nasional Center for Strategic and International
Studies (CSIS) yang dirilis September 2017 menunjukkan temuan menarik.
Joko Widodo (Jokowi) unggul pada semua segmen usia, tapi ternyata lemah pada
segmen pemilih generasi milenial, yakni pemilih rentang usia 20–29 tahun.
Dukungan generasi milenial kepada Jokowi hanya 31,7 persen, sedangkan
terhadap Prabowo Subianto 35,3 persen.
Lemahnya dukungan generasi
milenial kepada Jokowi cukup mengejutkan. Sebab, selama ini Jokowi terlihat
dekat dengan kelompok muda. Sebagai contoh, interaksi Presiden Jokowi dengan
penyanyi cantik Raisa di Istana Presiden beberapa waktu lalu menjadi trending
topic dan viral di media sosial.
Selain itu, sosok Jokowi
dikenal gaul. November 2016 masyarakat dihebohkan penampilan Jokowi yang
mengenakan jaket bomber saat menggelar konferensi pers. Tak pelak, jaket
bomber ala Jokowi pun banyak diburu dan laku keras. Jokowi juga punya video
blog atau vlog, kerap potong rambut di barbershop, menyukai musik metal,
serta suka mengenakan celana jins dan sneakers dalam sejumlah acara. Bahkan,
yang paling mencuri perhatian publik, Jokowi kerap menggelar kuis berhadiah
sepeda untuk anak-anak muda.
Dengan atribut kuat di kalangan
generasi milenial itu, seharusnya dukungan terhadap Jokowi kuat pula. Namun
sebaliknya, Jokowi justru mendapat dukungan lebih kecil daripada ”rival
dekatnya”, Prabowo. Tentu, apa pun itu, data menunjukkan bahwa Jokowi lemah
dukungan generasi milenial. Data tersebut sekaligus menjadi catatan penting
bagi Jokowi.
Pertama, ketidakmampuan
menguasai lumbung pemilih generasi milenial merupakan satu celah ”menuju
kekalahan” bila tidak mampu segera diatasi. Pasalnya, jika melihat tren
pemilih pada Pilpres 2019, generasi milenial masuk ceruk pemilih yang
dominan. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir
bahkan memprediksi populasi pemilih dari kalangan milenial pada 2019 mencapai
lebih dari 50 persen.
Kedua, generasi milenial
merupakan aktor utama dalam mempercepat pembangunan Indonesia di masa
mendatang. Sebab, Indonesia pada tahun 2020–2030 akan mendapatkan bonus demografi.
Yakni, jumlah usia angkatan kerja (15–64 tahun) mencapai sekitar 70 persen,
sedangkan 30 persen lainnya berada di usia tidak produktif (14 tahun ke bawah
dan di atas 65 tahun).
Artinya, seorang calon presiden
dituntut untuk dekat, mampu memahami, dan bisa mendengarkan aspirasi serta
kebutuhan generasi milenial. Sebab, merekalah sesungguhnya tulang punggung
pembangunan bangsa ke depan. Apalagi, diprediksi, pada 2025 sebanyak 75
persen angkatan kerja dunia dikuasai generasi milenial.
Jokowi mesti membaca tren
rendahnya dukungan generasi milenial sebagai ”ancaman”. Sehingga perlu
menyusun strategi pendekatan yang tepat dan saintifik terhadap kelompok
generasi Y tersebut. Penyusunan strategi itu, misalnya, dapat digali melalui
survei ataupun jajak pendapat. Mengapa? Survei dan jajak pendapat dapat
merekam aspirasi, kecenderungan, hal yang disukai, ataupun hal yang
diharapkan generasi milenial. Pendekatan tersebut penting karena dari situlah
strategi upaya mendekati generasi milenial akan tepat sasaran.
Dalam konteks Jokowi sebagai
presiden, mendekati generasi milenial tentu tidak boleh ditempatkan hanya
untuk kepentingan elektoral. Namun, ada yang lebih esensial dari itu.
Pertama, mendekati generasi milenial berguna untuk meningkatkan partisipasi politik.
Partisipasi generasi milenial penting dalam hajatan demokrasi.
Ingat, hajatan demokrasi lahir
sebagai sebuah kehendak untuk menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Semakin tinggi tingkat partisipasi generasi milenial, semakin tinggi
pula mandat mereka. Sebaliknya, rendahnya partisipasi berakibat pada cacatnya
mandat generasi milenial.
Kedua, mendekati generasi
milenial diperlukan karena merekalah kunci sekaligus agen perubahan di masa
mendatang. Sebab, pada 2025 rata-rata usia generasi milenial 30–40 tahun.
Usia tersebut merupakan usia paling menentukan dalam hidup dan karir
seseorang. Jika 70 persen masyarakat Indonesia yang berumur 30–40 tahun pada
2025 nanti dibekali skill dan kompetensi, impian Presiden Jokowi yang pernah
dituangkan dalam Monumen Kapsul Waktu Impian Indonesia (MKWII) 2015–2085 di
Merauke, Papua, menjelang pergantian 2015 bukanlah isapan jempol belaka.
Salah satu impian Jokowi: ingin menjadikan Indonesia barometer pertumbuhan
ekonomi dunia.
Sebuah adagium mengatakan,
”Setiap zaman ada pemimpinnya dan setiap pemimpin akan ada zamannya.” Tentu
di era digital seperti sekarang Presiden Jokowi perlu menjalankan
kepemimpinan yang peduli terhadap masa depan generasi milenial. Itu tak hanya
dimaksudkan untuk kepentingan memenangi pertarungan politik, tapi juga demi
kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar