Trump
Picu Krisis Global
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
24 Oktober
2017
Di tengah ketidakpastian Timur
Tengah, pada 13 Oktober lalu Presiden AS Donald Trump berpidato ihwal
strategi kebijakan Pemerintah AS terhadap Iran terkait Rencana Aksi
Komprehensif Bersama (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran.
Kesepakatan itu merupakan hasil
negosiasi empat tahun antara Iran dan lima negara anggota tetap DK PBB (AS,
Rusia, Inggris, Perancis, dan China) plus Jerman dan Uni Eropa (UE). Isinya
mengharuskan Iran menghilangkan seluruh potensi senjata nuklir. Sebagai
imbalan, sanksi ekonomi dan finansial dicabut. Aset-aset Iran di bank-bank
Barat sekitar 100 miliar dollar AS juga dicairkan. Sejak ditandatangani
Oktober 2015 hingga kini, Iran taat kesepakatan.
Persoalannya, Trump menganggap
itu kesepakatan terburuk AS. Di matanya, dana besar yang diperoleh Iran dan
pencabutan sanksi ekonomi justru membuat negara itu lebih leluasa menjalankan
politik sektarian, agresif, dan ekspansif. Memang Iran mencengkeram Irak,
mengirim tentara untuk menopang rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah,
memberikan bantuan senjata dan finansial kepada milisi Hizbullah di Lebanon,
membantu Hamas di Palestina, dan mendukung Houthi di Yaman.
Perencanaan, operasi intelijen,
dan militer di sejumlah negara itu dijalankan Pasukan Quds dari Korps Garda
Revolusi Iran (IRGC). Pada hari Trump berpidato, Kementerian Keuangan AS
menjatuhkan sanksi larangan berbisnis dengan individu dan entitas terkait
IRGC.
IRGC kena sanksi karena
dianggap menguasai porsi terbesar ekonomi Iran. Sanksi diharapkan membatasi
ruang gerak IRGC terkait program rudal balistik. Memang, kesepakatan nuklir
tidak mencantumkan program rudal balistik Iran, tetapi pascakesepakatan,
menyusul uji coba rudal balistik Iran yang bisa menjangkau hingga Israel,
membuat DK PBB mengeluarkan Resolusi No 2234 yang melarang Iran membuat rudal
balistik. Resolusi itu menjadi bagian dari kesepakatan nuklir Iran.
Meski rudal balistik Iran tidak
dirancang untuk keperluan senjata nuklir, Trump memandang uji coba itu
mencederai spirit kesepakatan nuklir. Kebijakan Trump ini didukung Israel,
Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang merasa terkepung oleh negara-negara
klien Iran.
Dunia menentang
Kendati sekutu Timur Tengah
mendukung, UE, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, dan China menentang
kebijakan Trump. Sebagai kesepakatan internasional, AS tidak berhak
mengutak-atiknya. Dengan merusak kesepakatan internasional, Trump merusak
kredibilitas AS dan dapat memicu krisis global.
Memang Trump tidak mundur dari
kesepakatan, tetapi dengan tidak mengesahkan kesepakatan itu, Partai Republik
yang mendominasi kongres dan sejak awal menentang kesepakatan akan mendorong
pengembalian sanksi atas Iran. Ini preseden buruk, bisa membuat Iran dan
negara-negara lain tidak mematuhi kesepakatan internasional.
Yang sudah tampak di depan mata
adalah eskalasi krisis Semenanjung Korea. Akan sulit mengajak Korea Utara
membuat perjanjian penghentian program nuklir dan rudal balistiknya yang
mengancam dunia.
Sebenarnya, kesepakatan nuklir
Iran merupakan pencapaian diplomasi gemilang. Memang tahun 2025 adalah
tenggat waktu berakhirnya kesepakatan, tetapi tidak otomatis Iran dapat
memulai lagi program nuklirnya. Para penanda tangan kesepakatan percaya Iran—yang menikmati pertumbuhan
ekonomi—tidak akan mau kembali susah dengan kembali ke program nuklir.
Sebenarnya, Iran menjadi salah
satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah saat ini, tak lepas dari
kesalahan AS. Pertama, AS menginvasi Irak (2003) yang diikuti pembubaran
semua institusi, termasuk militer, terkait Partai Baath. Kevakuman kekuasaan
memudahkan Iran masuk dan mendukung berkuasanya kelompok oposisi Syiah.
AS, bersama kelompok Syiah dan
etnis Kurdi, kemudian menyusun konstitusi Irak yang mengabaikan aspirasi
Sunni. Situasi ini memungkinkan munculnya Al Qaeda pimpinan Musab al-Zarqawi
yang melarikan diri dari Afganistan.
Setelah kewalahan menangani
perang sektarian yang membebani ekonomi AS, pada 2011 Presiden Barack Obama
menarik pulang pasukan AS dari Irak. Ini memuluskan alasan Iran membentuk
milisi Hashid al-Shaabi untuk perang melawan NIIS dan masuk ke hampir seluruh
pilar kekuasaan Irak.
Kedua, ketika pecah Arab Spring
di Suriah (2011), AS ikut mendorong dan mempersenjatai kelompok pemberontak
Suriah. Pengalaman perang di Irak membuat Obama ragu-ragu menjatuhkan rezim
Presiden Bashar al-Assad. Munculnya NIIS di Suriah membuat kebijakan AS di
negara itu semakin tidak jelas. Iran pun mengapitalisasi situasi ini dengan
menyokong rezim Assad habis-habisan. Peluang AS menjatuhkan Assad hilang
setelah Rusia melibatkan diri.
Ketiga, AS dan sekutu Barat
menjatuhkan embargo senjata atas Iran sejak revolusi 1979. Pada saat
bersamaan, Washington terus memasok Israel dan sekutu Arab Teluk dengan
senjata. Lebih dari itu, AS menjadikan Bahrain sebagai pangkalan armada ke-5
AS dan menempatkan puluhan ribu tentara AS di Qatar. Dalam situasi ini, tidak
masuk akal mengharapkan Iran tidak mengembangkan rudalnya.
Implikasi kebijakan Trump
Kebijakan Trump membawa
implikasi luas atas keamanan Timur Tengah. Trump membuang kesempatan
memperkuat kelompok reformis yang kini berkuasa di Iran. Padahal, Presiden
Iran Hassan Rouhani menginginkan hubungan baik dengan AS. Ia membuka Iran
bagi masuknya investasi Barat dan mempromosikan pluralisme budaya. Sayang,
kebijakan Trump menghina Iran dan bisa membuat rakyat Iran bersatu mendukung perlawanan kaum konservatif
terhadap AS.
Padahal, sebenarnya upaya
berdamai dengan AS telah dilakukan Teheran. Pada 2003, Presiden Iran Mohammad
Khatami mengajukan proposal kepada Presiden George W Bush bahwa program
nuklirnya terbuka diinspeksi, mau menjadi mitra untuk menstabilkan Irak, dan
bekerja sama melawan Al Qaeda. Proposal ini sama dengan keinginan Trump,
tetapi saat itu Bush menolak.
Saat ini masih ada sekitar
5.000 personel militer AS di Irak dan perang melawan NIIS belum selesai. Bisa
jadi Iran akan mengganggu kepentingan AS di sana melalui milisi-milisi Syiah
yang dibentuknya. Teheran juga akan menjauhkan Baghdad dari Washington dengan
cara memasok dana bagi para tokoh dan partai politik di Irak yang
pro-kebijakan Iran untuk memenangi pemilu di Irak tahun depan.
PM Irak Haidar al-Abadi, yang
naik ke tampuk kekuasaan dari hasil kesepakatan Iran-AS, akan dijatuhkan.
Iran, bersama Turki dan Baghdad, akan membuyarkan upaya kemerdekaan Kurdi.
Yang juga harus diperhatikan
adalah kepentingan AS di Afganistan. Iran telah menjalin hubungan dengan
Taliban, yang bersama NIIS telah menguasai lebih dari 40 persen wilayah
Afganistan. Bantuan Iran akan meningkatkan kemampuan perang Taliban, bahkan
pemerintahan Afganistan dukungan AS akan runtuh jika Iran mendorong kelompok
Syiah menarik dukungan pada pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang rapuh.
Terakhir, Iran akan semakin
mendekat ke Rusia yang belakangan makin berpengaruh di Timur Tengah. Para
pemimpin Timur Tengah, seperti Turki, Mesir, Jordania, bahkan Arab Saudi,
bolak-balik ke Moskwa mencari dukungan politik. Iran butuh Rusia untuk
ekonomi, membeli senjata, dan dukungan politik pengimbang AS. Rusia butuh
Iran untuk melestarikan ketergantungan negara-negara Asia Tengah kepadanya.
Sejauh ini Teheran menyatakan
akan tetap patuh pada kesepakatan nuklir. Namun, keadaan bisa berubah kalau
Trump berhasil menekan dan membujuk sekutu Perancis, Inggris, dan Jerman
untuk berpihak kepada AS. Kalau itu terjadi, Iran akan menghidupkan program
senjata nuklirnya. Terjadilah lomba senjata nuklir di Timur Tengah. Israel
akan bersikap keras dan mengebom situs-situs nuklir Iran. Hal ini akan memicu
perang besar di Timur Tengah.
Dengan demikian, buyar mimpi
menyaksikan Timur Tengah damai dan stabil, padahal saat NIIS sekarat dan
perang di Suriah dan Irak memperlihatkan tanda-tanda segera berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar