Kemunduran
UU Penyiaran Baru
Diani Citra ; Kandidat Doktor
Columbia University, Amerika Serikat
|
KOMPAS,
21 Oktober
2017
Undang-Undang Penyiaran baru
dan implementasi penyiaran digital ternyata masih jauh dari kenyataan. Hal
ini semakin jelas dengan batalnya perhitungan suara di Komisi I DPR yang
seharusnya diadakan 16 Oktober 2017.
Penghitungan suara ini
diperlukan untuk memutuskan model penyiaran digital apakah yang akan dianut
Indonesia: Single Mux atau Multiple Mux.
Rencana perhitungan suara
kemarin kelanjutan dari voting yang dilakukan sebelumnya pada 3 Oktober, yang
juga berakhir dengan kebuntuan. Dalam rapat 3 Oktober tersebut, model Single
Mux dipilih lima fraksi (PDI-P, Gerindra, PAN, Nasdem, dan Hanura), sedangkan
model Multiple Mux dipilih oleh empat fraksi (Golkar, Demokrat, PKS, dan
PPP). PKB dilaporkan abstain dan tidak memberikan pilihan.
Saat ini pertempuran untuk
implementasi televisi digital di Indonesia seperti bertumpu pada pilihan
antara model Single Mux vs Multiple Mux.
Single Mux berarti Indonesia hanya akan memiliki operator penyiaran
digital tunggal, sedangkan Multiple Mux berarti lebih dari satu operator yang
akan mendapat izin operasi. Single Mux juga berarti bahwa frekuensi yang
memang milik publik akan dikelola oleh negara melalui sebuah lembaga layanan
umum. Adapun dengan Multiple Mux,pihak swasta—terutama grup media besar—akan
tetap berperan sangat besar dalam penguasaan frekuensi penyiaran (dan telekomunikasi)
Indonesia di era digital.
Stasiun-stasiun televisi
berjaringan nasional yang mengusung gagasan Multiple Mux kerap menyatakan
bahwa Single Mux adalah model yang sudah kedaluwarsa dan mulai ditinggalkan
oleh negara-negara yang awalnya menganut model ini. Para pengusung gagasan
ini sepertinya melupakan bahwa Single Mux maupun Multiple Mux bukanlah
pilihan antara jenis maupun tingkat kemutakhiran teknologi televisi digital.
Single vs Multiple adalah semata-mata pilihan model kebijakan ekonomi politik
penyiaran. Kesesuaian sebuah model kebijakan hanya bergantung pada konteks
negara di mana kebijakan tersebut diterapkan.
Pada kenyataannya model yang
katanya sudah ”kedaluwarsa” ini memiliki potensi terbaik untuk menjamin
perkembangan teknologi digital Indonesia di masa depan. Dengan Single Mux,
negara dapat memastikan agar frekuensi yang ditinggal televisi analog bisa
dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas internet. Laporan World Economic
Forum 2013 menyatakan bahwa aspek pembangunan yang paling mendorong inovasi
konten dan pengembangan ekonomi adalah penambahan kapasitas internet
broadband.
Karena beban pembiayaan serta
pertaruhan investasi dan kepentingan publik yang makin tinggi, dalam laporan
tersebut juga disarankan untuk meningkatkan peran negara dalam pengadaan
infrastruktur broadband. Hal ini juga disarankan agar menjamin tidak adanya
penguasaan aset oleh salah satu atau segelintir pengusaha yang bisa
menghambat inovasi industri.
Kerugian negara berlipat ganda
Gagalnya pengambilan suara di
Komisi I kemarin sebenarnya merupakan upaya lanjutan untuk mendorong
diresmikannya naskah RUU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) yang
dikeluarkan pada 19 Juni 2017. Jika naskah ini diresmikan, para pemain
industri penyiaran Indonesia yang tak tergabung dalam media grup besar harus
bersiap-siap menghadapi cengkeraman dominasi yang lebih erat dari televisi-
televisi nasional di era digital.
Secara substansi, naskah RUU
ini justru lebih bermasalah bagi kepentingan publik dibandingkan Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informasi No 21/2011, yang mengatur mengenai siapa
yang berhak mengoperasikan infrastruktur penyiaran digital, yaitu
multipleksing (Mux). Ketika itu,
Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) menuntut agar permen ini
dibatalkan karena dianggap berpihak kepada pemain dominan dalam industri
pertelevisian Indonesia, yaitu stasiun-stasiun televisi besar dengan jaringan
nasional.
Mahkamah Agung sepakat dengan
ATVJI. Permen No 21/2011 pun dibatalkan atas dasar ketidaksesuaian dengan UU
No 32/2002 tentang Penyiaran. Kebijakan mengenai digitalisasi pertelevisian
selanjutnya dianggap perlu diatur di tataran UU agar kepentingan masyarakat
bisa terlayani dengan sebesar-besarnya dan menghindari sengketa kebijakan
lainnya di masa depan.
Sayangnya naskah versi Baleg
malah menandakan sebuah kemunduran yang signifikan dalam negosiasi kebijakan
penyiaran (dan telekomunikasi). Kepentingan publik justru semakin terkikis
dan negara semakin terbebani dari segi pembiayaan.
Berdasarkan tender yang digelar
Kominfo setelah dikeluarkannya Permen No 21/2011, stasiun-stasiun televisi
yang memenangi hak untuk jadi operator Mux di sebuah daerah memiliki
kewajiban membiayai penyediaan set top box (STB) bagi masyarakat Indonesia
yang kurang mampu. Seperti yang sudah diduga, semua stasiun dengan jaringan
nasional memenangi hak untuk menjadi operator Mux.
Menurut perhitungan Kominfo,
total nilai kewajiban itu mencapai kisaran 500 juta dollar AS atau hampir Rp
7 triliun. Permen No 21/2011 membebankan kewajiban ini kepada industri demi
mencegah terlalu banyaknya jumlah operator infrastruktur.
Jika jumlah operator Mux
terlalu banyak, efisiensi maksimal—baik dari segi energi, tanah, regulasi,
maupun bandwidth—yang tadinya diharapkan dengan bermigrasi dari analog ke
digital justru tidak tercapai. Pembebanan subsidi kepada industri juga
artinya APBN negara bisa dihemat untuk keperluan yang lebih penting.
Ketika permen ini dibatalkan,
otomatis kewajiban ini pun dibekukan untuk sementara. Sayangnya, naskah versi
Baleg bukan saja meletakkan beban pembiayaan subsidi STB untuk rakyat miskin
di tangan negara, tetapi juga memberikan prioritas kanal dan potongan pajak
kepada industri pertelevisian.
Negara juga berpotensi
kehilangan digital dividen, yang pada gilirannya akan menghambat usaha-usaha
pengembangan internet broadband Indonesia. Dalam naskah Baleg, frekuensi
justru akan dikuasai para pemilik stasiun. Dengan demikian, kalaupun digital
dividen nantinya dimanfaatkan untuk pengembangan internet oleh pihak swasta,
tidak ada jaminan bahwa harga layanan yang ditawarkan akan bersahabat bagi
rakyat kecil.
Momentum yang langka
Entah direncanakan atau tidak,
digitalisasi pertelevisian telah menciptakan momentum perundang-undangan
(constitutive moment) penyiaran yang berbalik jadi senjata makan tuan bagi
keberagaman dan demokrasi. Stasiun-stasiun televisi berjaringan nasional
sudah sejak lama ingin menghapuskan atau mengamendemen pasal-pasal
demokratisasi dalam UU Penyiaran yang membatasi dominasi jaringan mereka.
Pada 2003, Asosiasi Televisi
Swasta Indonesia (ATVSI) pernah mengajukan peninjauan kembali atas UU
Penyiaran, khususnya untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Sistem Siaran Jaringan (SSJ). Pasal-pasal dalam UU No 32/2001 tersebut
adalah kebijakan yang terlahir dari sebuah momen yang sangat langka dalam
perjuangan demokrasi Indonesia. Pasal mengenai SSJ berfungsi untuk membatasi
dominasi ATVSI dengan cara mewajibkan penyiaran lokal berjaringan. Alih-alih
bersiaran hanya dengan memancarkan program dari Jakarta seperti yang selama
ini mereka lakukan, stasiun televisi diwajibkan untuk membangun stasiun
cabang atau berkolaborasi dengan stasiun lokal yang sudah ada. Pasal mengenai
KPI ditulis untuk menjamin independensi industri penyiaran dan pengawasan isi
siaran.
Kini, draf versi Baleg akan
menghilangkan pasal-pasal tersebut dengan dalih pengakomodasian kemajuan
teknologi. Padahal, digitalisasi pertelevisian sangat bisa dilakukan tanpa
perlu mencabut pasal-pasal demokratisasi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar