Minggu, 22 Oktober 2017

Kemunduran UU Penyiaran Baru

Kemunduran UU Penyiaran Baru
Diani Citra ;   Kandidat Doktor Columbia University, Amerika Serikat
                                                      KOMPAS, 21 Oktober 2017



                                                           
Undang-Undang Penyiaran baru dan implementasi penyiaran digital ternyata masih jauh dari kenyataan. Hal ini semakin jelas dengan batalnya perhitungan suara di Komisi I DPR yang seharusnya diadakan 16 Oktober 2017.

Penghitungan suara ini diperlukan untuk memutuskan model penyiaran digital apakah yang akan dianut Indonesia: Single Mux atau Multiple Mux.

Rencana perhitungan suara kemarin kelanjutan dari voting yang dilakukan sebelumnya pada 3 Oktober, yang juga berakhir dengan kebuntuan. Dalam rapat 3 Oktober tersebut, model Single Mux dipilih lima fraksi (PDI-P, Gerindra, PAN, Nasdem, dan Hanura), sedangkan model Multiple Mux dipilih oleh empat fraksi (Golkar, Demokrat, PKS, dan PPP). PKB dilaporkan abstain dan tidak memberikan pilihan.

Saat ini pertempuran untuk implementasi televisi digital di Indonesia seperti bertumpu pada pilihan antara model Single Mux vs Multiple Mux.  Single Mux berarti Indonesia hanya akan memiliki operator penyiaran digital tunggal, sedangkan Multiple Mux berarti lebih dari satu operator yang akan mendapat izin operasi. Single Mux juga berarti bahwa frekuensi yang memang milik publik akan dikelola oleh negara melalui sebuah lembaga layanan umum. Adapun dengan Multiple Mux,pihak swasta—terutama grup media besar—akan tetap berperan sangat besar dalam penguasaan frekuensi penyiaran (dan telekomunikasi) Indonesia di era digital.

Stasiun-stasiun televisi berjaringan nasional yang mengusung gagasan Multiple Mux kerap menyatakan bahwa Single Mux adalah model yang sudah kedaluwarsa dan mulai ditinggalkan oleh negara-negara yang awalnya menganut model ini. Para pengusung gagasan ini sepertinya melupakan bahwa Single Mux maupun Multiple Mux bukanlah pilihan antara jenis maupun tingkat kemutakhiran teknologi televisi digital. Single vs Multiple adalah semata-mata pilihan model kebijakan ekonomi politik penyiaran. Kesesuaian sebuah model kebijakan hanya bergantung pada konteks negara di mana kebijakan tersebut diterapkan.

Pada kenyataannya model yang katanya sudah ”kedaluwarsa” ini memiliki potensi terbaik untuk menjamin perkembangan teknologi digital Indonesia di masa depan. Dengan Single Mux, negara dapat memastikan agar frekuensi yang ditinggal televisi analog bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas internet. Laporan World Economic Forum 2013 menyatakan bahwa aspek pembangunan yang paling mendorong inovasi konten dan pengembangan ekonomi adalah penambahan kapasitas internet broadband.

Karena beban pembiayaan serta pertaruhan investasi dan kepentingan publik yang makin tinggi, dalam laporan tersebut juga disarankan untuk meningkatkan peran negara dalam pengadaan infrastruktur broadband. Hal ini juga disarankan agar menjamin tidak adanya penguasaan aset oleh salah satu atau segelintir pengusaha yang bisa menghambat inovasi industri.

Kerugian negara berlipat ganda

Gagalnya pengambilan suara di Komisi I kemarin sebenarnya merupakan upaya lanjutan untuk mendorong diresmikannya naskah RUU Penyiaran versi Badan Legislasi (Baleg) yang dikeluarkan pada 19 Juni 2017. Jika naskah ini diresmikan, para pemain industri penyiaran Indonesia yang tak tergabung dalam media grup besar harus bersiap-siap menghadapi cengkeraman dominasi yang lebih erat dari televisi- televisi nasional di era digital.

Secara substansi, naskah RUU ini justru lebih bermasalah bagi kepentingan publik dibandingkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No 21/2011, yang mengatur mengenai siapa yang berhak mengoperasikan infrastruktur penyiaran digital, yaitu multipleksing (Mux). Ketika itu,  Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) menuntut agar permen ini dibatalkan karena dianggap berpihak kepada pemain dominan dalam industri pertelevisian Indonesia, yaitu stasiun-stasiun televisi besar dengan jaringan nasional.

Mahkamah Agung sepakat dengan ATVJI. Permen No 21/2011 pun dibatalkan atas dasar ketidaksesuaian dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Kebijakan mengenai digitalisasi pertelevisian selanjutnya dianggap perlu diatur di tataran UU agar kepentingan masyarakat bisa terlayani dengan sebesar-besarnya dan menghindari sengketa kebijakan lainnya di masa depan.

Sayangnya naskah versi Baleg malah menandakan sebuah kemunduran yang signifikan dalam negosiasi kebijakan penyiaran (dan telekomunikasi). Kepentingan publik justru semakin terkikis dan negara semakin terbebani dari segi pembiayaan.

Berdasarkan tender yang digelar Kominfo setelah dikeluarkannya Permen No 21/2011, stasiun-stasiun televisi yang memenangi hak untuk jadi operator Mux di sebuah daerah memiliki kewajiban membiayai penyediaan set top box (STB) bagi masyarakat Indonesia yang kurang mampu. Seperti yang sudah diduga, semua stasiun dengan jaringan nasional memenangi hak untuk menjadi operator Mux.

Menurut perhitungan Kominfo, total nilai kewajiban itu mencapai kisaran 500 juta dollar AS atau hampir Rp 7 triliun. Permen No 21/2011 membebankan kewajiban ini kepada industri demi mencegah terlalu banyaknya jumlah operator infrastruktur.

Jika jumlah operator Mux terlalu banyak, efisiensi maksimal—baik dari segi energi, tanah, regulasi, maupun bandwidth—yang tadinya diharapkan dengan bermigrasi dari analog ke digital justru tidak tercapai. Pembebanan subsidi kepada industri juga artinya APBN negara bisa dihemat untuk keperluan yang lebih penting.

Ketika permen ini dibatalkan, otomatis kewajiban ini pun dibekukan untuk sementara. Sayangnya, naskah versi Baleg bukan saja meletakkan beban pembiayaan subsidi STB untuk rakyat miskin di tangan negara, tetapi juga memberikan prioritas kanal dan potongan pajak kepada industri pertelevisian.

Negara juga berpotensi kehilangan digital dividen, yang pada gilirannya akan menghambat usaha-usaha pengembangan internet broadband Indonesia. Dalam naskah Baleg, frekuensi justru akan dikuasai para pemilik stasiun. Dengan demikian, kalaupun digital dividen nantinya dimanfaatkan untuk pengembangan internet oleh pihak swasta, tidak ada jaminan bahwa harga layanan yang ditawarkan akan bersahabat bagi rakyat kecil.

Momentum yang langka

Entah direncanakan atau tidak, digitalisasi pertelevisian telah menciptakan momentum perundang-undangan (constitutive moment) penyiaran yang berbalik jadi senjata makan tuan bagi keberagaman dan demokrasi. Stasiun-stasiun televisi berjaringan nasional sudah sejak lama ingin menghapuskan atau mengamendemen pasal-pasal demokratisasi dalam UU Penyiaran yang membatasi dominasi jaringan mereka.

Pada 2003, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) pernah mengajukan peninjauan kembali atas UU Penyiaran, khususnya untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Sistem Siaran Jaringan (SSJ).  Pasal-pasal dalam UU No 32/2001 tersebut adalah kebijakan yang terlahir dari sebuah momen yang sangat langka dalam perjuangan demokrasi Indonesia. Pasal mengenai SSJ berfungsi untuk membatasi dominasi ATVSI dengan cara mewajibkan penyiaran lokal berjaringan. Alih-alih bersiaran hanya dengan memancarkan program dari Jakarta seperti yang selama ini mereka lakukan, stasiun televisi diwajibkan untuk membangun stasiun cabang atau berkolaborasi dengan stasiun lokal yang sudah ada. Pasal mengenai KPI ditulis untuk menjamin independensi industri penyiaran dan pengawasan isi siaran.

Kini, draf versi Baleg akan menghilangkan pasal-pasal tersebut dengan dalih pengakomodasian kemajuan teknologi. Padahal, digitalisasi pertelevisian sangat bisa dilakukan tanpa perlu mencabut pasal-pasal demokratisasi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar