Harta
Panas
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 20 Oktober 2017
HATI-hati dengan harta kekayaan
yang kita miliki, salah satunya dari warisan orang tua. Agama selalu
mengajarkan untuk berdoa agar mendapatkan rezeki yang halal dan berkah. Bukan
harta haram dan panas yang tidak mendatangkan ketenteraman dan keberkahan.
Banyak kasus di sekeliling kita
yang menjadi pembelajaran sangat berharga. Ketika orang tuanya meninggal,
tanah kuburnya belum kering, anak-anaknya justru sudah bersengketa berebut
warisan. Peristiwa demikian ini akar masalahnya ada dua.
Pertama, orang tua tidak
mengantisipasi untuk membagi warisan jika sewaktu-waktu meninggal. Yang
demikian tentu kita maklumi, karena kematian itu rahasia Tuhan, tidak tahu
kapan terjadi. Namun, ternyata ada beberapa orang tua yang sudah berwasiat
sebelum meninggal.
Semua anggota keluarganya
dikumpulkan, didengarkan aspirasinya dan komitmennya jika suatu saat orang
tua meninggal agar tidak bertengkar soal warisan. Orang tua berwasiat, jangan
sampai anak-anak berebut warisan, karena akan menyiksa di alam kuburnya.
Sebaliknya, para anggota
keluarga diminta agar memanfaatkan warisan itu di jalan Tuhan agar
mendatangkan dividen pahala kebaikan bagi orang tua yang telah meninggal,
atau disebut amal jariyah, maupun bagi yang masih hidup.
Kedua, akar penyebab mengapa
ahli waris bertengkar karena secara ekonomi belum pada mandiri dan tidak
memiliki pendidikan serta akhlak mulia. Jika anak-anak memperoleh pendidikan
yang baik dan hidup mandiri secara ekonomi, pada umumnya harta warisan tak
akan menjadi sumber sengketa.
Mereka malu memperebutkan harta
yang bukan hasil jerih payah dan keringat sendiri. Makanya keluar nasihat
orang tua, harta warisan itu barang halal yang panas.
Akan lebih panas lagi jika
ternyata harta yang diwariskan itu dulunya didapat dengan jalan tidak halal
oleh orang tuanya. Orang tua pasti lebih bahagia meninggalkan keturunan yang
berpendidikan, bisa hidup mandiri, diterima, dan dicintai lingkungan
sosialnya.
Sering kali kita saksikan,
hanya dalam hitungan bulan dan tahun harta warisan habis, itu pun didahului
dengan pertengkaran dalam pembagiannya. Anak laki-laki minta bagian lebih
besar dari perempuan, padahal secara ekonomi lebih mapan ketimbang saudara
perempuannya. Sementara pihak perempuan memandang tidak adil karena anak
laki-laki lebih banyak menghabiskan uang sewaktu orang tuanya masih hidup.
Ada contoh orang tua yang
menarik direnungkan. Sebelum meninggal soal warisan sudah diselesaikan
semuanya. Orang tua hidup dengan jatah dirinya. Bahkan dipesankan pada
anak-anaknya, kalau suatu saat meninggal agar hartanya disedekahkan untuk
kepentingan masyarakat, anak-anak jangan mengambilnya karena semuanya sudah
mendapat bagian dan sudah mandiri, sekalipun tidak kaya raya.
Cerita serupa ini dulu juga
sering dilakukan orang tua yang hendak pergi haji, sewaktu masih naik kapal.
Ketika pergi haji sudah siap meninggal di perjalanan atau di Tanah Suci,
yakin bahwa dia berjalan di atas jalan Tuhan, kalau meninggal langsung masuk
surga. Maka agar harta warisannya tidak menjadi sumber fitnah dan
pertengkaran keluarga, orang tua sudah meninggalkan wasiat tentang pembagian
hartanya.
Ada juga cerita inspiratif lain
tentang harta warisan. Ada orang tua wafat meninggalkan anak tiga dan sawah
yang cukup luas. Atas nasihat orang tua, sebaiknya jangan dibagi-bagi
sawahnya karena masing-masing pasti akan memperoleh bagian yang kecil.
Disarankan agar digarap dan
diberdayakan bersama, dijadikan modal usaha bersama, lalu siapa yang lagi
memerlukan uang yang besar, misalnya untuk ongkos bangun rumah, maka dia
diutamakan, dibangunkan bersama-sama.
Selanjutnya, apa yang terjadi?
Ketiga anaknya memiliki rumah masing-masing, prestasi sekolahnya bagus, harta
sawah warisannya utuh, bahkan kekayaannya bertambah. Zakat dan amal sosialnya
tak pernah dilupakan. Kalau saja orang tua bisa mengintip dari alam kubur,
tentu merasa bahagia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar