Meretas
Jalan Internasional Bahasa Indonesia
Liliana Muliastuti ; Ketua Afiliasi Pengajar
dan Pegiat BIPA;
Dekan Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Oktober 2017
BAHASA Indonesia ialah bahasa
nasional yang diberkati. Peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
merupakan sebuah berkah luar biasa buat bahasa Indonesia. Berkat peristiwa
ini, bahasa Indonesia menjadi satu-satunya bahasa nasional di dunia yang
diakui dan diterima bahkan sebelum negara bersangkutan merdeka.
Kesepakatan soal bahasa
nasional ini berlangsung secara mulus dan alamiah. Sungguh berbeda dengan
pengalaman banyak negara, manakala proses penetapan bahasa nasional memunculkan
konflik horizontal yang tajam. Padahal, Indonesia terdiri atas beragam etnik
dan suku bangsa yang memiliki bahasa masing-masing. Menurut data Badan Pusat
Statistik tahun 2010, ada 1.211 bahasa daerah, 300 kelompok etnik, dan 1.340
suku bangsa di Indonesia.
Setelah UUD 1945 disahkan pada
18 Agustus 1945, posisi bahasa Indonesia menguat dengan status resminya
sebagai bahasa negara (Pasal 36 UUD 1945). Kini, setelah hampir sembilan
dekade berlalu sejak peristiwa Sumpah Pemuda, posisi bahasa Indonesia
memasuki tahapan penting berikutnya. UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengamanahkan peningkatan fungsi
bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Potensi itu sungguh ada.
Selain memiliki sejarah hebat sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia juga memiliki jumlah penutur yang besar,
sekitar 260 juta. Gramatikanya mudah, sederhana, serta bersifat egaliter, dan
demokratis (tak mengenal kasta bahasa). Jangan lupakan pula posisi Indonesia
yang terus tumbuh dan berkembang di sebuah kawasan strategis dan sangat
dinamis: kawasan Asian Pasifik.
Bisakah kita meretas jalan
untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional? Jika
hal tersebut ditanyakan kepada para pengajar dan pegiat Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing (BIPA), jawabannya optimistis: harus bisa! Optimisme itu
tergambar dalam ajang dua tahunan Konferensi Internasional Pengajaran BIPA
(KIPBIPA) yang diikuti peserta dari dalam dan luar negeri baru-baru ini.
Ajang penting itu berlangsung
di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada 12-14 Oktober 2017. Konferensi
internasional ini terselenggara atas kerja sama Afiliasi Pengajar dan Pegiat
BIPA (APPBIPA) dengan Universitas Brawijaya, Malang. Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kemendikbud juga ikut mendukung konferensi yang bertemakan,
Pemartabatan bahasa Indonesia dalam menghadapi perubahan konstelasi politik
ekonomi dunia. Sesuai tema tersebut, ada optimisme Indonesia akan mampu
meningkatkan martabat bahasa nasionalnya menjadi bahasa internasional.
Sejumlah perkembangan positif,
seperti berkembangnya pengajaran bahasa Indonesia di sejumlah negara, terus
terjadi. Sebagian rekomendasi dari KIPBIPA sebelumnya juga berhasil
direalisasikan. Sebagai catatan, KIPBIPA IX di Bali, 2015, mengeluarkan enam
rekomendasi untuk perjuangan memantapkan dan mengembangkan BIPA sebagai
jembatan menuju internasionalisasi bahasa Indonesia.
Sebagian rekomendasi berhasil
diwujudkan dalam dua tahun terakhir ini. Misalnya, realisasi perhatian
pemerintah (baca: Kemendikbud) terhadap upaya meningkatkan kemampuan
berbahasa Indonesia bagi siswa di sekolah-sekolah Satuan Pendidikan Kerja
Sama (SPK) yang memiliki siswa berkewarganegaraan asing (WNA).
Realisasi perhatian pemerintah
itu termasuk dalam bentuk dukungan fasilitas, berupa pedoman operasional
standar, perangkat pembelajaran, dan peningkatan kualitas pengajar.
Rekomendasi lain, berupa penataan dan pengembangan organisasi yang menaungi
para pengajar dan pegiat BIPA (APPBIPA), dalam dua tahun terakhir memperlihatkan
perkembangan signifikan. APPBIPA sekarang juga memiliki komisariat/cabang di
luar negeri (Thailand, Jerman, dan Jepang).
TKA dan bahasa Indonesia
Namun, ada rekomendasi yang
belum berhasil diwujudkan, seperti pembukaan program studi pendidikan BIPA di
perguruan tinggi dan sertifikasi pengajar BIPA. Hal lain yang masih harus
diperjuangkan berkaitan dengan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Karena
untuk menciptakan suasana kerja dan persaingan yang sehat dalam era global,
diperlukan peraturan ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan UU No
24/2009, khususnya menyangkut persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia bagi
TKA.
Di sinilah masalahnya. Kita
masih harus mengimbau pemerintah pusat untuk meluruskan kembali kebijakan
keliru yang tidak mendukung internasionalisasi bahasa Indonesia. Keputusan
pemerintah untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi TKA,
seperti memotong perjuangan internasionalisasi bahasa Indonesia di tengah
jalan.
Bagaimana mungkin peraturan di
bawah UU (permenaker) justru bertentangan dengan amanah UU yang lebih tinggi
hierarkinya? Itu sebuah langkah mundur dan terkesan diputuskan tanpa
pertimbangan matang dan tanpa mempertimbangkan perkembangan positif yang
justru tengah berlangsung.
Penulis sependapat dengan S
Sahala Tua Saragih, dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Universitas Padjadjaran.
Argumentasi pemerintah bahwa penghapusan syarat berbahasa Indonesia bagi TKA
untuk mempermudah arus investasi asing terkesan menyederhanakan persoalan.
Apakah pemerintah sudah melakukan studi mendalam soal kewajiban TKA mampu
berbahasa Indonesia menghambat investor asing masuk ke sini? Bukankah selama
ini penghambat investor asing berusaha di sini ialah birokrasi (pengurusan
surat izin) yang panjang dan berbelit- belit, pungutan liar, ketidakpastian
hukum, dan tiadanya jaminan keamanan?
Semuanya memang harus dimulai
dari diri kita sendiri. Masih banggakah kita dengan bahasa Indonesia yang
memiliki sejarah hebat ini? Mungkin kita mau sedikit merenungkan kritik Dr
George Quinn, pakar bahasa dari Australian National University yang sangat
fasih menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Pada kesempatan menjadi
salah satu pembicara utama di ajang KIPBIPA X, Dr Quinn mengkritik sikap
orang Indonesia yang cenderung kurang menghargai bahasa nasionalnya sendiri
jika dibandingkan bahasa Inggris. Sikap seperti ini akan ikut menghambat
upaya meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Kentara sekali bahwa kita masih
harus meningkatkan sosialisasi dan implementasi UU dan peraturan pemerintah
yang terkait dengan bahasa Indonesia. Kita harus besar hati mengakui bahwa
Malaysia lebih aktif mempromosikan bahasa dan budayanya ke forum
internasional, sementara kita masih harus menyamakan persepsi dan
meningkatkan koordinasi dalam menjalankan amanah UU yang berkaitan dengan
fungsi strategis bahasa Indonesia.
Sambil mengenang kembali Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928, saatnya kita memperbarui janji dan memberi makna pada
keindonesiaan kita lewat penghargaan pada bahasa Indonesia. “Utamakan bahasa
Indonesia, lestarikan bahasa daerah, pelajari bahasa asing.” Inilah yang
harus kita lakukan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar