Pancasila,
Esa dan Ketuhanan Kita
Syaiful Arif ; Tenaga Ahli pada Deputi
Pengkajian dan Materi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP
Pancasila)
|
KOMPAS,
21 Oktober
2017
Ruang publik kita sempat
diramaikan oleh munculnya diskursus tentang ketuhanan menurut Pancasila
akibat pernyataan kontroversial Eggi Sudjana yang menyebut teologi non-Islam
sebagai teologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Artikel ini hendak menjernihkan
persoalan tersebut sehingga kita tidak terjebak dalam kesilap-pandangan
massal. Sejatinya, pemahaman kita terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih
belum menyentuh konsepsi dasarnya sendiri. Sebab, arti esa sebagai satu tak
sepenuhnya tepat karena ia tak menggunakan definisi awalnya. Dalam bahasa
Sanskerta, arti satu diwakili oleh kata tunggal, sebagaimana seloka Bhinneka
Tunggal Ika (Beragam itu, Satu itu).
Sementara kata esa hanya bisa dipahami dalam terminologi Buddhisme. Ia
tak merujuk pada arti satu, melainkan kekosongan (Sunnata) yang adalah
prinsip dasar dari segala sesuatu, serta hakikat dari kondisi spiritual
(Iqbal, 2017).
Sunnata (kekosongan dari diri)
merupakan jalan spiritual untuk menghilangkan ego yang telah menyebabkan
kemelekatan. Kemelekatan inilah yang menjadi dosa besar bagi Buddhisme karena
ia menciptakan dhuka. Jadi duka itu sebenarnya kondisi kegelapan spiritual
ketika seseorang terlalu melekat pada dunia dan kediriannya (Sankhittena pancupadanakkhanda-dukkha).
Untuk menghapus kemelekatan,
Buddhisme tak hanya menganjurkan jalan spiritual, tetapi juga metode
berpikir. Maka, hakikat sesuatu sebenarnya kosong karena ia terbentuk oleh
ketergantungan musabab (pratituasamutpada).
Oleh karenanya, tidak ada yang absolut di dunia ini karena semua hal
disebabkan oleh rangkaian sebab-akibat.
Dengan merelatifkan sesuatu,
Buddhisme ingin mengajak umatnya terbebas dari konsep, doktrin, dan pemahaman
yang menghalangi perjalanan spiritual. Seperti membersihkan debu yang
menutupi kacamata agar penglihatan kita jernih.
Dengan cara ini, manusia diajak
mengosongkan pikiran demi pengosongan hati dari kemelekatan. Tepat dalam
kondisi seperti inilah, seseorang bisa mendapatkan pencerahan dan kebahagiaan
tak terbatas. Lalu apa maksud Tuhan itu Sunnata? Bukankah Buddhisme tak
mengenal konsep Tuhan, sebagaimana didakwakan Eggi Sudjana?
Sebagai bagian dari tradisi
non-monoteisme, agama Buddha memang tidak memahami Tuhan sebagai person,
melainkan kondisi spiritual. Jika di dalam Islam, Buddhisme sebenarnya sangat
dekat dengan sufisme yang bertujuan membersihkan diri agar potensi Ilahiah di
dalam diri jadi aktif. Nasihat Sang Buddha, ”Perdebatan tentang Tuhan yang
tak menghasilkan kebijaksanaan adalah kesia-siaan”. Maka pengabdian kepada
Tuhan dijalankan oleh umat Buddha melalui pembersihan hati agar mampu
menapaki jalan-jalan ketuhanan yang hakiki.
Dengan demikian, alih-alih
agama Buddha bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena kata
esa itu sendiri kosakata Buddhisme yang tak akan dipahami tanpa memahami
tradisi dan falsafah agama ini. Penafsiran seperti ini juga ada di agama
lain, termasuk Kristen, Katolik, Hindu, Khonghucu, dan Islam dengan konsep
beragam.
Persatuan keragaman
Rangkaian makna kata esa
menurut Buddhisme menunjukkan bahwa setiap agama punya penafsiran dan
pemahaman sendiri tentang ketuhanan sehingga tidak bisa dinafikan berdasarkan
perspektif agama tertentu.
Soekarno sendiri dalam pidato
kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, menegaskan, ”Prinsip Indonesia merdeka ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia
hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa Almasih, yang Islam menurut petunjuk Muhammad SAW, orang Buddha
menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Segenap rakyat
Indonesia hendaknya bertuhan: secara kebudayaan, yakni dengan tiada
egoisme-agama, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain”.
Sejak awal Pancasila telah
menyadari realitas kemajemukan agama di negeri ini dan menganjurkan toleransi
demi pola beragama yang beradab. Pada titik ini, terdapat beberapa prinsip
dasar ketuhanan yang termuat dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertama, ketuhanan
Pancasila tak merujuk pada pribadi Tuhan (kata benda), melainkan nilai-nilai
yang diperintahkan Tuhan. Nilai-nilai itu menurut Yudi Latif (2014) ialah
ketuhanan yang welas asih dan lapang dada.
Kita diperintahkan untuk
menauladani sifat welas asih (Rahman, Rahim)-Nya, melalui cara beragama yang
lapang dada (toleran). Ini ditegaskan misalnya dalam Surat Al Maidah: 48, di
mana Allah memerintahkan kita menghargai kemajemukan yang sengaja
diciptakan-Nya, dengan menjadikan ”perlombaan berbuat baik” sebagai parameter
utama dalam menyikapi perbedaan.
Kedua, Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan prinsip umum ketuhanan semua agama. Jadi ia tak hanya milik Islam
karena setiap agama memiliki konsepsi ketuhanan berbeda-beda. Makna kata esa
seperti perspektif Buddhisme menunjukkan bahwa agama Buddha juga memiliki
konsep di dalam sila pertama Pancasila.
Dilepaskannya ketuhanan
Pancasila dari konsep agama tertentu terjadi sejak tujuh kata ”dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus 18
Agustus 1945. Sejak itu, sila ketuhanan jadi milik semua agama. Meski
demikian, oleh Soekarno pada 1959, tujuh kata Piagam Jakarta itu tetap
ditempatkan sebagai ”jiwa” UUD 1945. Artinya, spirit Islam tetap mendasari
Pancasila dan bangunan konstitusional negara.
Ketiga, ketuhanan Pancasila
yang menaungi semua tradisi agama juga jadi dasar yuridis bagi persamaan hak
semua umat beragama di hadapan hukum. Jadi, Pancasila melindungi semua agama
meski belum semuanya dilayani melalui fasilitas birokrasi negara. Pada titik
inilah Pancasila bukan hanya milik satu golongan, tetapi semua warga
Indonesia.
Berdasarkan pandangan ini, maka
Eggi bukan hanya tak memahami konsep ketuhanan Pancasila, tetapi juga tak
mengerti konsepsi Pancasila itu sendiri. Membaca Pancasila tak bisa melalui
pembacaan yang memisahkan keterkaitan antarsila. ”Pancasila ialah sistem
nilai yang bulat yang dibentuk oleh keterhubungan antar-sila”. Demikian rumus
paradigma Pancasila menurut Notonagoro (1952).
Dengan mengklaim sila ketuhanan
hanya milik umat Islam, Eggi telah memisahkan sila ketuhanan dengan keempat
sila lain. Dalam terang keterkaitan antar-sila ini, ketuhanan bukan merupakan
doktrin teologis an sich, tetapi
pendasaran religius bagi prinsip persatuan dalam keragaman (unity in diversity). Oleh karenanya,
alih-alih hanya sesuai dengan teologi Islam, ketuhanan Pancasila justru
menaungi semua teologi agama di Indonesia.
Apakah dengan demikian
Pancasila menganut prinsip penyamaan semua agama (wahdatul adyan) yang dilarang Majelis Ulama Indonesia? Tentu
tidak, karena teologi Pancasila sudah menurunkan statusnya dari teologi
metafisik menjadi teologi etis bagi pelaksanaan moralitas agama-agama. Ini
terjadi karena sila ketuhanan diterjemahkan dan diamalkan melalui nilai
kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan yang merupakan prinsip utama
moralitas publik.
Teologi Pancasila juga jadi
dasar bagi perlindungan UU terhadap kebebasan beragama, bukan sebagai dasar
bagi penentu, mana agama yang benar dan mana yang salah. Wallahu ’alam ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar