Kekisruhan
yang Tak Perlu di Otomatisasi Gerbang Tol
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan
Publik dan Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
23 Oktober
2017
Jalan tol di republik ini terkenal
sebagai jalan berbayar bebas hambatan yang selalu diartikan salah oleh publik
sebagai jalan berbayar antimacet sepanjang hari, namun kenyataannya selalu
macet. Jalan tol memang bukan jalan antimacet tapi hanya jalan bebas hambatan
berupa perempatan, tikungan bundaran dan sebagainya. Negara yang jumlah
penduduknya minimalis dan bahkan lebih sedikit dari hewan, contohnya Selandia
Baru, tidak perlu jalan bebas hambatan. Cukup jalan raya antar county atau
negara bagian, atau highway saja.
Untuk membayar ongkos lewat
jalan tol di mana pun sudah menggunakan transaksi non-tunai; paling ada
lempar koin ke penampung saat melewati gerbang tol otomatis (GTO). Bahkan,
yang menggunakan kartu e-tol pun sudah menjelang punah. Semua sudah
menggunakan e-toll yang melekat pada alat yang bernama On Board Unit (OBU)
dan ditempel di kaca depan kendaraan (windshield). Atau, pakai stiker yang
dapat dibeli di SPBU atau minimarket. Kartu di OBU/stiker langsung dibaca
oleh kamera yang melekat di pintu tol bahkan pengendara tidak perlu berhenti,
hanya mengurangi kecepatan.
Ketertinggalan Indonesia
terkait penggunaan teknologi non-tunai patut diduga memang disengaja oleh
perbankan dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) karena beberapa hal. Seperti, bank
pelopor sistem pembayaran elektronik tidak mau investasi yang sudah
dibenamkan dalam rangka otomatisasi pintu tol dinikmati oleh bank lain (hal
sama terjadi di telekomunikasi), manipulasi uang tunai oleh oknum di pintu
tol, dan sebagainya. Maka dari itu untuk menjaga kelancaran lalu lintas dan
keamanan transaksi di semua GTO, pembayaran dilakukan secara non-tunai.
Patut disayangkan dalam
mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang digagas oleh Bank Indonesia
(BI), persiapan yang dilakukan oleh BUJT dan perbankan kurang cermat sehingga
menimbulkan kegaduhan dan masalah di lapangan. Seperti, kemacetan di pintu
masuk GTO bertambah parah, adanya perbedaan isi kartu antarbank, pengenaan
fee yang berbeda saat top up (baik on
us maupun off us), sulitnya
mendapatkan kartu tol, dan sebagainya. Kurangnya persiapan dan antisipasi
masalah membuat kekisruhan yang tidak perlu, dan belum terselesaikan hingga
tulisan ini dibuat.
Investigasi dan Temuan di Lapangan
Pertama, saat saya melakukan
investigasi lapangan di minggu kedua Oktober 2017 menemukan beberapa
persoalan yang krusial dan harus segera diantisipasi oleh perbankan dan BUJT.
Untuk itu saya melakukan pertemuan dengan beberapa Direksi BI pada 9 Oktober
dengan maksud bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dan membahas beberapa
temuan saya di lapangan. Kesimpulannya memang BUJT dan perbankan belum siap
menjalankan GNNT termasuk dalam melakukan sosialisasi ke publik. BUJT dan
perbankan juga tidak menyediakan mekanisme komplain untuk publik dengan baik.
Tidak jelasnya sosialisasi
promosi sehingga memunculkan perbedaan nilai rupiah di kartu tol meskipun
harga kartu semua bank sama, misalnya Rp 50.000 (ada yang berisi Rp 40.000
atau Rp 30.000), penjelasan soal biaya topping up di bank penerbit (on us)
atau pihak ketiga atau off us (seperti minimarket, halte Trans Jakarta dan
lain-lain).
Untuk menyelesaikan masalah di
lapangan akhirnya BI memperpanjang masa promosi dengan menjual 1,5 juta kartu
seharga nilainya. Misalnya, harga kartu Rp 50.000 maka isinya juga Rp 50.000
mulai jam 00.00 pada 16 Oktober hingga jam 00.00 pada 31 Oktober 2017. Biaya
pembuatan kartu dibebankan kepada BUJT dan perbankan sebagai biaya promosi.
Pengumuman ini pun kurang dipersiapkan dengan baik, terbukti mayoritas
wartawan salah menangkap dan menuliskan, sehingga masyarakat tahunya BUJT
akan bagi-bagi tol gratis.
Kedua, pasca diberlakukannya
promosi kartu tol, mulai 16 Oktober saya kembali melakukan investigasi dan
pemantauan di beberapa ruas jalan tol Jabodetabek, Makassar (Sulsel), dan
Surabaya termasuk ketersediaan pihak ketiga melakukan top up. Kesimpulan
saya, kembali BUJT dan perbankan tidak siap. Mengapa? Saya gagal mendapatkan
kartu tol dari lima bank penerbit di setiap GTO yang saya tanya; baru pada 19
Oktober 2019 saya dapat memperoleh kartu tol promosi Bank Mandiri seharga Rp
50.000 dan isi Rp 50.000 di GTO tol dalam kota Jakarta, dan mendapat bukti
bayar yang diterbitkan oleh PT Rajabana Sahabat Sejahtera yang kemungkinan
merupakan vendor Bank Mandiri atau Jasa Marga. Tidak jelas ini perusahaan apa
dan apakah perusahaan ini yang menerima fee kartu Rp 20.000.
Ketiga, selama saya melakukan
pemantauan di lapangan, kemacetan panjang masih berlangsung di hampir semua
ruas tol. Beberapa konsumen melaporkan bahwa mereka bisa membeli lebih dari
satu kartu tol saat promosi ini yang seharusnya diutamakan untuk konsumen
yang belum mempunyai kartu dan hanya boleh 1 kartu. Pertanyaan saya, ke mana
saja 1,5 juta kartu promosi (dibagi rata ke lima bank) didistribusikan karena
konsumen sulit mendapatkannya? Adakah catatan online-nya? Jangan-jangan ada
pihak yang menimbun kartu promosi untuk dijual setelah masa promosi habis.
Langkah Selanjutnya
GNNT harus sukses dan
memudahkan, bukan menyusahkan publik. Untuk itu perlu dilakukan beberapa
langkah perbaikan di back office dan di lapangan. Pertama, koordinasi antara
BUJT dan perbankan (lima bank dan akan tambah dua bank) harus solid, dan ada
pengawas yang mengawasi peredaran kartu.
Kedua, berhubung perilaku
masyarakat Indonesia yang sulit menerima perubahan karena kalau sudah
"pewe" jadi malas menerima perubahan. Untuk melakukan perubahan,
baik regulator dan operator, harus cukup cerdas mengantisipasinya melalui
program sosialisasi, monitoring dan evaluasi. Ingat, banyak manusia di
Indonesia sangat hobi menjadi makelar, kerja sedikit hasil banyak bahkan
kalau perlu dengan menipu.
Ketiga, segera lakukan audit
semua mesin non-tunai di semua GTO supaya keandalannya baik, tidak sering
rusak. Tetap persiapkan petugas di GTO untuk dapat menerima non-tunai di GTO
untuk menghindari kemacetan panjang selama masa transisi, misalnya tambahan
satu bulan ke depan. Juga BUJT masih harus menyediakan GTO non-tunai satu
pintu saja, dan ada petugas untuk mengatur lalu lintas karena biasanya akan
panjang antreannya selama masa transisi (satu bulan ke depan).
Keempat, kembangkan program
komunikasi yang diviralkan di media sosial (biaya murah bahkan gratis)
terkait biaya dan jenis top up. Kemudian siapkan SDM di semua BUJT yang
terlatih dan berdedikasi untuk bekerja dengan baik, termasuk di pintu tol dan
pusat pengaduan masyarakat oleh BUJT dan perbankan terkait program GNNT di
tol. Kelima, segera berlakukan penggunaan OBU secepatnya. Tidak ada alasan
lagi OBU tidak dipasarkan atau dipasarkan secara eksklusif hanya untuk
nasabah yang punya dana superbesar di bank. Intinya GNNT harus berhasil
kecuali kita akan kembali ke zaman batu. Selamat bekerja untuk semuanya.
Salam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar