Radikalisme,
Politik Identitas, dan Media Sosial
Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 25 Oktober 2017
KEBANGKITAN radikalisme di
berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, termasuk di Indonesia, pada kadar
tertentu bisa berfungsi sebagai pelajaran berharga bagi kita semua. Lebih
khususnya pada era keterbukaan informasi teknologi seperti media sosial,
Facebook, Twitter, dan yang lain.
Sistem global dunia naik dari
area sosial yang lokal menjadi entitas struktural yang semakin independen dan
otonom di kancah global. Entitas tersebut tidak dikontrol oleh siapa pun,
bukan orang, negara, ataupun ideologi tertentu. Struktur yang ada tidak
terikat waktu dan ruang ini kemudian juga membentuk sebuah kutub konflik bagi
pengalaman sejarah manusia: "identitas" yang secara inheren lekat
dengan konteks lokal dan historis, yakni budaya dan memori masa lalu. Namun,
yang jadi masalah adalah jika akhirnya ada yang menyebarkan ujaran kebencian
(hate-speech) dan membuat banyak akun anonim atau palsu serta membuat
propaganda di media sosial melalui meme-meme bermuatan kebencian dan SARA.
Tentu ini mencemaskan.
Dalam konteks ini, menarik
menyimak pemikiran filsuf dan sosiolog Mannuel Castell terhadap gerakan
sosial, sebagai penyeimbang bagi struktur sosial, pada abad informasi ini
dapat diekspresikan dengan identitas kata, kebijakan identitas, dan gerakan
sosial yang baru.
Sekarang, setelah era modern di
era masyarakat jejaring (network society) keunggulan diberikan pada kategori
agen sosial yang berbeda: identitas dan gerakan yang berdasarkan pada politik
identitas. Identifikasi terhadap hal tersebut bersifat ahistoris dan
merupakan fenomena sosio-psikologis yang sifatnya universal, tetapi di
masyarakat jejaring fenomena ini beranjak pada pusat dari perubahan sosial.
Ini adalah makna yang sebenarnya dari keunggulan politik identitas dalam
masyarakat jejaring.
Di sini kita mendapati bahwa
dalam budaya teknologis (techno-culture) kita memiliki struktur sosial yakni
media informasi global dan gerakan yang berdasarkan identitas. Pembentukan
identitas dapat dimulai dengan menggambarkan antagonisme internal yang ada di
masyarakat jejaring.
Eksklusi sosial tidak hilang,
namun mereka muncul dalam bentuk lain. Struktur dasar etis dari masyarakat
jejaring didasarkan pada eksklusi dan inklusi. Eksklusi sosio-ekonomis
dihasilkan dari keluarnya subjek dari jaringan informasi, kekayaan, dan
kekuasaan. Hal ini berlaku pada individu, kelompok, daerah, atau antarbenua.
Bagi individu, mereka yang tereksklusi pada umumnya adalah mereka yang
perannya dapat digantikan oleh jaringan ekonomi global lain misalnya.
Namun, terdapat bentuk
antagonisme lain dalam masyarakat jejaring, yang berasal dari proses
kontemporer yang membawanya pada pusat adegan sosial. Bentuk eksklusi ini,
eksklusi dari kapital (kekayaan), dan eksklusi dari pengenalan atau harga
diri memiliki tiga kategori antagonisme utama: disintegrasi dari makna sosial
yang mungkin diterjemahkan dalam makna di masyarakat, atau sumber makna
kehidupan di masyarakat. Ini disebabkan oleh hilangnya batas temporal dan
spasial pada konteks sejarah dan budaya di mana orang tinggal.
Hilangnya batas-batas ini
melanggengkan kondisi rasionalistis dan kesatudimensian yang ditinggalkan
ketika guncangan ketiadaan waktu dan tempat secara global menerpa ranah
lokal. Citra dari manusia yang muncul di sini adalah citra bahwa individu
tidak dapat melanjutkan kehidupannya dalam kondisi tanpa makna secara konstan
dan ia harus memiliki pengalaman yang bermakna dengan mengorganisasi materi
kebudayaan yang tersedia untuknya. Antagonisme-antagonisme ini memicu jenis
proses pembentukan identitas spesifik yang saat lintasan dan hasilnya
menentukan takdir dari agen sosial di masyarakat jejaring.
Untuk menjelaskan lebih jauh
bagaimana identitas ini terbentuk dan berfungsi di masyarakat jejaring, kita
harus mengetahui bagaimana agensi pada era modern terbentuk. Era civil
society kini telah berakhir. Proses global dominan telah menggiring serta
kedaulatan dari negara yang layu. Hal yang sama telah menggiring masyarakat
dari pusat negara. Mereka tidak hilang ataupun kehilangan pengaruh mereka,
namun mereka tidak lagi memiliki kedaulatan. Terdapat orang-orang yang masih
berusaha untuk dan menggunakan kekuatan negara untuk mencapai berbagai tujuan
(baik demokratis maupun progresif) dan mengidentifikasi identitas diri mereka
sebagai agen sosial.
Kategori identitas ini
mendukung institusi dengan legitimasi yang dibutuhkannya. Karena itu, ia
disebut sebagai identitas legitimasi. Tapi, identitas legitimasi tidak mampu
menyelesaikan permasalahannya: nilai demokratis dan progresif yang diusahakan
oleh identitas ini terancam untuk tidak ikut berpindah ke dalam abad
informasi ini jika nilai ini tidak disadari bahwa dunia di sekitar mereka
telah berubah secara fundamental. Tragedi dari identitas ini berada pada
kontradiksi antara tujuan dan cara: cara yang berorientasi pada negara
tampaknya tidak lagi cukup efektif untuk mencapai dan mendapatkan tujuan yang
telah disebabkan dan diungkap oleh proses global yang tidak dapat diraih.
Namun, ditemukan bahwa terdapat
jejak dari formasi identitas kolektif yang lebih merakyat yang tidak
memobilisasi diri mereka dalam masyarakat sipil (civil society), tetapi
termaterialisasi sebagai komunitas. Kerumunan ini merangkul mereka yang
tereksklusi, menerima stigma, dan menderita untuk mendapatkan pengalaman
kolektif yang dapat ditawarkan dari mengumpulkan makna yang sama.
Ciri dari pembangunan kerumunan
ini adalah ada resistensi melawan masyarakat di sekitarnya dan melawan
kelompok lain. Dari ciri ini, identitas ini kemudian disebut ke dalam
kategori identitas yang kedua yakni identitas resistensi. Kelompok identitas
ini pada umumnya cenderung membentuk sumber makna utama, singularitas
kebudayaan, simbol atau bendera, dan mereka juga pada umumnya tidak dapat
berkomunikasi dengan realitas sosial di sekitar mereka. Mereka berkhotbah dan
menyebarkan apa yang mereka yakini, namun mereka tidak bernegosiasi terhadap
hal tersebut karena bagi mereka itu adalah kebenaran mutlak yang tidak
dipertanyakan lagi.
Masalah dari identitas
resistensi juga jatuh pada fakta bahwa keberadaan massa dalam kelompok akan
menjatuhkan horizon makna sosial yang rasional. Horizon ini direkonstruksi
dan kelompok, namun dalam latar imajiner: diri yang terkelompok, dikelilingi
oleh realitas sosial eksternal yang antagonistik dan komunitas lain yang
cacat secara ideologis. Pandangan seperti ini dipaksa dalam ritual konstan,
menguatkan dan mereproduksinya sendiri sebagaimana ia harus mengganti tujuan
dari anggota individualnya dengan "tujuan" kelompok.
Kelompok resisten mungkin
merupakan identitas yang paling memiliki pengaruh pada budaya
techno-culture ini, dan tidak ada yang
menjamin bahwa masyarakat kita tidak akan berhenti dan bertahan pada
fragmentalisme dan tribalisme. Banyak proses penting dari perspektif
transformasi sosial yang terjadi di dalam kelompok. Harus dicatat adalah
mereka memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki pengalaman sosial yang
sama untuk memproses pemikiran mereka pada utopia dan strategi sosial yang
baru.
Tetapi, untuk bermetamorfosis
dari resistensi menjadi kelompok yang dapat mengubah masyarakat mereka harus
bisa memproyeksikan sesuatu dari identitas mereka pada masyarakat di
sekitarnya. Terdapat beberapa hal yang dibutuhkan kelompok resisten untuk
bisa terbuka dan mulai mengubah masyarakat.
Yang pertama adalah berkaitan
dengan struktur sosial. Di masyarakat jejaring kondisi mobilisasi sosial yang
berhasil adalah kemampuan untuk mengadaptasikan prinsip operasionalnya dengan
logika internal.
Sebuah kerumunan adalah sebuah
bentuk dari organisasi sosial yang hanya mempunyai kemungkinan kecil dalam
mengembangkan pengalamannya pada masyarakat kebanyakan jika ia tidak
berjaringan atau berubah menjadi jaringan. Ini adalah syarat tidak hanya
untuk bekerja sama dengan kerumunan dengan pemikiran yang sama, tetapi juga
untuk mendapatkan kemampuan strategis tertentu.
Satu di antara kemampuan yang
penting adalah untuk beroperasi dalam realitas media yang tervirtualisasi
dalam masyarakat jejaring untuk membuat pesan kerumunan dapat tersampaikan.
Selain itu, penting juga untuk mendapatkan pengetahuan teknokratis
instrumental yang dibutuhkan untuk bekerja dalam dunia yang dimediasi oleh
teknologi. Kekuatan kerumunan dalam masyarakat jejaring adalah bagaimana
dapat melebur pada arsitektur jaringan, dan berfungsi sebagai pengubah arus
informasi dan gagasan.
Kerumunan harus dapat
bermetamorfosis ke dalam jaringan. Ini adalah kondisi struktural pada
identitas proyek: kategori identitas ketiga dalam tipologi yang digagas oleh
filsuf Manuel Castells. Tetapi, kondisi ini ambigu karena ketika mendapatkan
kemampuan untuk beroperasi dalam masyarakat jejaring mereka bisa saja secara
simultan mengadopsi logika teknokratis dan instrumental ke tujuan yang mereka
miliki. Bagian dilema dari identitas proyek tampaknya adalah untuk
menghindari kompromi berlebihan ketika berusaha untuk memperkenalkan
alternatif pada masyarakat.
Kita dapat bertanya akan
kemungkinan identitas resistensi yang telah bereaksi terhadap hilangnya makna
sosial dengan mementingkan nilai utama mereka dan memproyeksikannya pada
transenden sosial, biologis, atau teologis seperti nasionalisme, rasisme,
atau fundamentalisme.
Bentuk pemikiran seperti ini
tidak dapat berubah dari "resistensi" menjadi "kerumunan
radikal" tanpa menekan asumsi mereka terhadap realisme filosofis mereka
yang kuat. Kondisi internal ini kemudian memunculkan paradoks: untuk mengubah
masyarakat, mereka harus menyerah pada absolutisme makna. Bagi individu ini
membutuhkan keberanian psikologis, dan bagi kerumunan mungkin membutuhkan
kepergian beberapa anggotanya.
Berdasarkan pemaparan,
identitas resistensi mengalami sebuah dekonstruksi tertentu untuk bertransformasi
menjadi identitas proyek. Identitas ini setidaknya memiliki dua komponen,
yakni: mengalami antagonisme sosial yang awalnya memicu mobilisasinya menjadi
sebuah kerumunan, dan pemahaman atau pandangan mengenai kondisi sosial atau
persyaratan yang ada di balik antagonisme tersebut.
Pada identitas resistensi
komponen pertama, yakni pengalaman, tampaknya diprivatisasi menjadi barang
intrakolektif yang dikenal sebagai "identitas korban". Sedangkan
komponen kedua pada identitas resistensi tampaknya tidak ada seperti
hilangnya horizon rasional. Identitas resistensi tampaknya mengakui
antagonisme sosial sebagai suatu pengalaman dan tidak dapat
mengintegrasikannya pada penjelasan rasional akan kondisi tersebut.
Pada penjelasan rasional akan
kondisi ideologis masa ini, Castells melihat bahwa ketika kritik ideologi
pada era modern harus memiliki sikap kritis terhadap peran negara. Ini juga
harus pada cara bagaimana orang memberikan pengalaman mereka sebagai subjek
sosial ketika masuk ke dalam kerumunan sebagai yang tereksklusi,
tereksploitasi, terstigma, dan tersiksa dari antagonisme masa kini.
Dari perspektif kritik
ideologi, ini bisa diterjemahkan sebagai "konsep kesalahan
mengenali" (misrecognition). Sebuah pengalaman yang terprivatisasi,
menjadi identitas primordial, dan gagal menafsirkan kondisi sosial lain,
selain "kita" sebagai lawan yang lain-lain. Hal yang sama terjadi
ketika politik identitas yang resistensi salah mengenal satu sama lain
sebagai kondisi sosial mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar