Tiga
Tahun Jokowi
Bhima Yudhistira Adhinegara ; Peneliti INDEF
|
TEMPO.CO,
25 Oktober
2017
Dalam tiga tahun terakhir,
semangat membangun infrastruktur fisik menjadi misi utama pemerataan ekonomi
pada era Jokowi-JK. Ruas jalan tol bertambah 568 kilometer, sembilan
bendungan rampung, dan jembatan bertambah 25.149 meter. Namun tak pernah ada
evaluasi mengenai dampaknya terhadap perekonomian.
Puja dan puji pencapaian
pembangunan memang terkadang menidurkan akal sehat. Contohnya, pembangunan
infrastruktur seharusnya berkorelasi positif dengan penurunan angka
kemiskinan. Faktanya, angka kemiskinan masih cukup tinggi dan mengalami
stagnasi. Jumlah orang miskin sebanyak 27,73 juta orang pada September 2014
dan 27,77 juta orang pada Maret 2017. Artinya, hanya berkurang 40 ribu orang
atau turun 0,14 persen. Kesenjangan antara orang kaya dan miskin makin lebar
dengan rasio Gini tidak turun dari 0,39. Yang lebih berbahaya, rasio Gini di
pedesaan justru naik, dari 0,316 menjadi 0,320 per Maret 2017.
Penurunan angka kemiskinan dan
ketimpangan ternyata tidak signifikan dibanding besarnya anggaran
infrastruktur. Selama 2014-2017, total dana infrastruktur bertambah Rp 168,7
triliun. Kenaikan anggaran sebesar 94,8 persen dalam tiga tahun terakhir itu
sayangnya tidak pernah dievaluasi. Partai politik yang sudah merapat ke dalam
lingkaran pemerintah bungkam. Yang paling penting adalah membangun
infrastruktur fisik. Dampaknya terhadap kesejahteraan tidak pernah
didiskusikan. Ada logika ekonomi yang tidak nyambung di sini.
Menurut peraih Nobel ekonomi
1971, Simon Kuznets, pembangunan memang akan menelan korban, yakni semakin
timpangnya pendapatan di tengah masyarakat seiring kenaikan pertumbuhan
ekonomi. Masalahnya, di Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi-JK
stagnan di angka 5 persen, sementara ketimpangannya tetap tinggi.
Contoh nyata adalah ratusan
warung kecil menanggung rugi akibat 70 persen kendaraan yang lewat di Pantai
Utara pindah ke jalan tol Cipali. Pembangunan infrastruktur ternyata hanya
menguntungkan kelas menengah dan kelas atas yang ribut jika Lebaran harus
bermacetan di jalan. Semakin panjang jalan tol dibangun, semakin timpang
pendapatan antara 20 persen masyarakat teratas dan 40 persen masyarakat
termiskin.
Pembangunan jalan tol juga
tidak mendongkrak industri pengolahan. Pertumbuhan industri pengolahan justru
tersungkur di angka 3,54 persen pada triwulan II 2017. Deindustrialisasi
terus berjalan. Mantra perbaikan biaya logistik tak mampu mendorong kinerja
industri.
Besarnya ambisi pembangunan ini
juga tak sejalan dengan kondisi kas pemerintah. Defisit anggaran melonjak
hingga ditargetkan 2,9 persen atau angka defisit anggaran tertinggi sejak
lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara 2003. Sedikit lagi defisit bisa
tergelincir ke angka 3 persen alias melanggar undang-undang.
Kebutuhan anggaran
infrastruktur 245 proyek strategis nasional mencapai Rp 4.197 triliun. APBN
hanya mampu menanggung Rp 525 triliun. Sisanya harus dicari dari utang,
penugasan BUMN, dan swasta. Tapi utang itu punya konsekuensi politik. Salah
satunya bisa dijadikan negara satelit Cina.
Total utang dalam tiga tahun
pun meroket Rp 1.200 triliun. Mampukah pemerintah melunasinya? Dalam catatan
Kementerian Keuangan, hingga 2045, kita masih harus melunasi utang jatuh
tempo. Utang per kapita sudah di atas Rp 13 juta per penduduk. Kalau terus
dibiarkan, penambahan utang yang agresif hanya akan menjadi bencana fiskal
dalam jangka panjang atau setidaknya bisa menimbulkan krisis. Padahal
penerimaan pajak masih kurang Rp 513 triliun di sisa dua bulan ini. Dari mana
pemerintah bisa menutupi defisit?
Jalan satu-satunya adalah
menjinakkan bom waktu utang. Proyek infrastruktur perlu dirasionalisasi,
misalnya dikurangi dari 245 menjadi 50 proyek. Hanya infrastruktur yang
berdampak langsung terhadap masyarakat lokal yang dibangun hingga 2019.
Infrastruktur lain bisa dibangun bertahap. Begitu juga proyek pembangkit
listrik 35 ribu megawatt, yang sungguh tak masuk akal bila terus dilanjutkan
karena asumsi awalnya menggunakan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen.
Karena uang APBN semakin
menciut, pemerintah gencar mencari pendanaan lain dengan beragam skema.
Sayangnya, realisasi investasi asing selama tujuh tahun terakhir rata-rata
hanya 27,5 persen dari total komitmen. Artinya, jamuan makan dan sambutan
hangat untuk mendatangkan investor tak efektif.
Kalau investasi tidak bisa
diandalkan, pemerintah pasti akan menengok ke kantong masyarakat. Subsidi
mungkin dipangkas, pajak semakin ganas, atau pungutan lainnya semakin
mencekik. Kesimpulannya, tiga tahun telah berlalu dan masyarakat harus lebih
bersabar. Momen bersejarah reformasi infrastruktur tidak semurah yang
dibayangkan. Ongkosnya harus ditanggung masyarakat miskin. Kalau konsep
pembangunan ini tidak segera diubah total, mimpi kesejahteraan yang hanya
mengandalkan jalan tol tampaknya sulit diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar