Refleksi
Penegakan Supremasi Hukum
Amir Syamsudin ; Mantan Menteri Hukum
dan HAM RI
|
KOMPAS,
26 Oktober
2017
Sudah tiga tahun pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) berjalan. Survei Litbang Kompas dan
lembaga survei lain pada umumnya menyebutkan kepuasan masyarakat terhadap
pemerintahan Jokowi-Kalla masih cukup tinggi, khususnya di bidang hukum.
Dibalik kepuasan masyarakat
terhadap hukum yang tinggi, pada kenyataannya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hukum sebenarnya tidak sebaik hasil survei yang ada karena
penghargaan masyarakat terhadap hukum hanya karena kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), selebihnya masyarakat tidak percaya terhadap
hukum karena hukum masih tidak berdaya terhadap kekuasaan dan uang.
Masih banyak putusan-putusan
pengadilan yang tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, masih
banyak perilaku pejabat pemerintahan dan aparatur hukum yang tajam ke bawah
tumpul ke atas. Masih banyak sengketa tanah melawan pemodal besar, masyarakat
selalu dikalahkan.
Kepatuhan negara terhadap
putusan pengadilan yang memenangkan rakyat juga masih sangat buruk. Dalam
berbagai kasus, tidak jarang pemerintahan negara justru sering menabrak hukum
yang ada. Semua itu sebenarnya menurut kami terjadi karena tidak tegaknya
hukum di negeri ini.
Belum sentuh peradilan dan birokrasi negara
Dilihat dari sisi ini, menurut
kami, meminjam istilah Profesor Mochtar Kusumaatmadja, dunia hukum kita
sebenarnya dalam kondisi ”desperate but not hopeless” lebih halus ketimbang
dibilang dalam kondisi ”gawat darurat”.
Menegakkan supremasi hukum
adalah kalimat yang sering kita dengar ketika para ahli hukum atau pengamat
hukum berbicara tentang hukum. Ahli ilmu hukum Satjipto Rahardjo menyebut
hukum mandul ketika supremasi hukum tidak bisa ditegakkan. Profesor Mahfud MD
menyebut penegakan supremasi hukum merupakan separuh dari persoalan bangsa.
Ini artinya jika hukum tidak tegak, bangsa ini agak terpuruk.
Penulis sepakat dengan Profesor
Mahfud bahwa tidak tegaknya supremasi hukum sebagian besar ada di dunia
peradilan dan birokrasi pemerintahan negara. Rusaknya negara kita bisa jadi
karena ulah mereka yang ada di dunia peradilan dan birokrasi pemerintahan
negara dari pusat sampai ke daerah.
Presiden Jokowi telah
menjalankan dua paket kebijakan reformasi hukum dalam rangka revitalisasi
hukum.
Paket pertama digulirkan
Oktober 2016, dimaksudkan untuk memberantas pungutan liar dan suap dengan
membentuk Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Suap (Satgas Saber Pungli),
pemberantasan penyelundupan; percepatan pelayanan surat izin mengemudi (SIM),
surat tanda nomor kendaraan (STNK), buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB),
dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK); pelayanan izin tinggal
terbatas dan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) berbasis teknologi yang
transparan; dan relokasi lembaga pemasyarakatan.
Paket kedua digulirkan Januari
2017, dimaksudkan untuk menata berbagai regulasi yang masih tumpang tindih,
perluasan jangkauan bantuan hukum kepada masyarakat kecil, dan membangun rasa
aman di lingkungan masyarakat lewat pengembangan pemolisian masyarakat
(polmas). Tujuannya untuk membangun dan memulihkan kepercayaan publik
terhadap hukum.
Sayang sekali dua paket kebijakan
reformasi Jokowi-JK sama sekali tidak menyentuh dunia peradilan dan birokrasi
negara yang buruk. Kelembagaan peradilan dan birokrasi yang kuat tidak akan
berjalan baik jika diisi dengan aparaturnya yang tidak berintegritas.
Perilaku aparatur yang buruk
sangat memengaruhi kinerja buruk kelembagaan peradilan dan birokrasi
pemerintahan dari pusat sampai ke daerah. Maksud dan tujuan baik pemerintah
dalam reformasi hukum paket pertama terasa hambar karena realisasinya yang
buruk.
Reformasi hukum yang dicanangkan,
misalnya berantas pungli dan suap, hanya bergairah di awal tetapi kendur di
akhir. Apalagi upaya tersebut hanya menyentuh bidang sektoral tidak menyentuh
subsektor atau hanya terkesan kuat di pusat tidak sampai ke daerah.
Demikian juga dalam reformasi
hukum paket kedua, misalnya perluasan jangkauan bantuan hukum kepada
masyarakat kecil atau membangun rasa aman di lingkungan masyarakat, masih
terasa jauh karena dalam kenyataannya sengketa agraria masih terjadi di
mana-mana dan tidak dapat diselesaikan, khususnya tuntutan masyarakat akan
hak atas tanah di sejumlah daerah terabaikan karena hukum lebih memihak
kepada para pengusaha/pemodal besar.
Pemberian sertifikat hak atas
tanah kepada masyarakat di beberapa daerah belum dapat menjawab kebutuhan masyarakat
yang lebih besar akan keamanan dan kenyamanan hidup di lingkungannya.
Reformasi hukum
Menilik kondisi dunia hukum
kita saat ini, pertanyaannya apakah cita-cita reformasi di bidang hukum saat
ini sudah seperti yang diharapkan? Reformasi hukum telah dilakukan sejak era
BJ Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono dan berhasil mengubah rezim
otoritarian menjadi rezim demokratis.
Selain itu, berhasil mengubah
dari sistem pemerintahan sentralisasi berubah menjadi desentralisasi dan
otonomi; berhasil pula membentuk lembaga peradilan dan birokrat yang kuat,
ada berbagai undang-undang pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang disahkan dalam rangka mencegah dan memberantas KKN.
Namun, kenapa reformasi di bidang hukum ini terkesan tidak berhasil.
Hal ini disebabkan pemerintah
belum mampu mempertautkan jarak antara law in books dan law in action. Kita
berhasil membuat aturan yang kuat, tetapi tidak kuat dalam menegakkan
aturan-aturan hukum tersebut.
Membangun hukum pada dasarnya
diarahkan pada membangun tiga subsistem hukum, yaitu aturan hukum (legal
substance), aparat penegak hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal
culture). Seandainya kita berhasil membuat dan mengharmonisasikan berbagai
regulasi aturan yang ada tetapi jika kita gagal membentuk aparatur penegak
hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) yang baik, kita
tentu akan gagal menegakkan supremasi hukum.
Jikalau cita-cita reformasi
1988 di bidang hukum untuk menjadikan hukum sebagai jembatan untuk menegakkan
keadilan (justice), persamaan (equality), hak asasi manusia (human rights),
kepatuhan (fairness) serta melindungi dan melayani publik (protection and
serve public), hal itu masih jauh dari harapan karena reformasi di bidang
hukum saat ini justru terkesan kehilangan arah.
Yang ada, masyarakat mulai
mempersoalkan tentang konsep keadilan, kebinekaan, kesetaraan (egalitarian),
persatuan dan kesatuan, bahkan mempertanyakan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai wacana hukum ketatanegaraan yang dianggap masih
belum tuntas. Hal ini dikarenakan hukum kita gagal memberi keadilan dan gagal
melindungi keberagaman, kesetaraan, dan persatuan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar