Rabu, 25 Oktober 2017

Nasib Kebijakan Publik di Era Disruptif

Nasib Kebijakan Publik di Era Disruptif
Yudi Rachman ;   Peneliti pada Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
                                                      KOMPAS, 24 Oktober 2017



                                                           
Regulasi transportasi daring yang beberapa waktu lalu dibatalkan Mahkamah Agung semakin menunjukkan bahwa karakteristik peraturan memang berjalan lebih lamban daripada industri (bisnis).

Ketika bisnis sudah berjalan beberapa langkah ke depan, bahkan berlari, peraturan masih jalan di tempat sambil terus wait and see. Kemudian baru terusik ketika timbul persoalan. Fenomena transportasi daring, yang sudah berlangsung cukup lama di beberapa negara tersebut, masih saja belum mampu diantisipasi pengambil kebijakan ketika mulai beroperasi di Indonesia. Seperti biasa, ketika akhirnya masalah membesar baru bereaksi.

Sementara perkembangan bisnis yang ditopang kemajuan teknologi informasi, ke depan, diprediksi akan berjalan kian dahsyat. Tak lagi linier, tapi eksponensial, maka pada masa itulah disebut sebagai era disruptif. Fenomena ini sudah menjadi megatren global yang dikenal dengan singkatan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).

Selama berabad-abad, bisnis berjalan dengan cara berpikir lokal dan linier. Artinya, kompetitor bisnis berada dalam lingkaran terdekat saja (lokal). Kemudian pertumbuhan bisnis dilihat secara linier. Jika setiap tahun laba ditarget meningkat 1 persen, maka 10 tahun ke depan laba perusahaan jadi 10 persen.

Dalam era disruptif seperti sekarang ini, yang menjadi kompetitor bahkan yang berpotensi meruntuhkan suatu perusahaan bukan lagi perusahaan raksasa atau perusahaan yang memiliki bisnis sejenis dan ribuan karyawan. Ingat, kejadian yang menimpa perusahaan kamera raksasa Kodak dengan 140.000 karyawan dan nilai pasar sekitar Rp 350 triliun, yang akhirnya terkapar di gelanggang persaingan pada 2012, disinyalir penyebabnya adalah munculnya perusahaan teknologi yang memproduksi telepon pintar. Karena tidak ingin bernasib sama, di tahun itu juga, Facebook—fitur media sosial terbesar di dunia—memutuskan mengakuisisi Instagram dengan nilai Rp 14 triliun. Padahal, saat itu Instagram cuma dikelola oleh 13 orang dan baru berdiri tiga tahun.

Dengan kecepatan eksponensial, perusahaan berbasis teknologi informasi tumbuh. Jika perusahaan menargetkan laba secara eksponensial, 10 tahun ke depan, laba perusahaan menjadi 100 persen. Meningkat 100 kali dari laba tahun ini. Setara laba perusahaan linier satu abad.

Kebijakan publik yang lentur

Di tengah perubahan yang berpola global dan eksponensial, di mana kecepatannya semakin tinggi dan arahnya sulit diduga, bukan hanya berdampak pada pelaku ekonomi, tetapi juga memengaruhi para pengambil kebijakan dan kinerja pemerintahan. Pertanyaannya, bagaimana model kebijakan publik yang tepat sehingga tetap berimplikasi positif terhadap kinerja pemerintahan?

Dengan pola lokal dan linier saja, sering kali pengambil kebijakan lamban merespons dan meleset dalam mengantisipasi. Perlu pola pikir baru bagi perumus kebijakan saat hendak meluncurkan kebijakan di era disruptif seperti saat ini. Menurut Dunn (2004), kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah. Artinya, kebijakan senantiasa hadir dalam kondisi apa pun.

Kehadiran kebijakan berfungsi membingkai industri atau masyarakat agar sesuai kondisi yang ada dengan nilai-nilai yang berlaku. Namun, bingkai yang cocok dengan era ini bukan lagi yang rigid. Kebijakan harus makin lentur dalam merespons dan mengantisipasi keadaan. Seperti yang disampaikan Deniel Lepziger dan Victoria Dodev dari George Washington University, ke depan dibutuhkan kebijakan publik yang agile, menyesuaikan dengan perubahan (Basri, Kompas, 6/9).

Ke depan, agar kebijakan publik cocok dengan perubahan, tak perlu lagi mengatur hal-hal yang bersifat detail dan teknis. Pada dimensi itu, kreativitas individu yang jadi tumpuan, asosiasi industri, dan aturan komunitas yang memegang peran penting.

Sebagai pelaku, mereka memang yang lebih memahami karakter masing-masing. Kebijakan menjadi makin fleksibel meski tetap harus bersifat preventif dan antisipatif. Sumber data yang melimpah dan didukung kecanggihan teknologi semestinya membuat pengambil kebijakan makin cepat dan akurat dalam mengeluarkan kebijakan. Kondisi ini bisa terjadi jika sumber data raksasa (big data) sudah dikelola dengan baik dan terintegrasi.

Di tengah perubahan dinamis yang sulit diterka, kebijakan nantinya hanya berfungsi sebagai bingkai yang berbahan baku nilai-nilai yang bersumber dari nilai dasar UUD 1945 dan Pancasila sehingga bangsa ini tetap memiliki identitas yang jelas di tengah arus perubahan. Namun, ada beberapa rambu yang bisa dijadikan acuan untuk menilai apakah suatu kebijakan itu memberikan efek positif atau malah sebaliknya.

Pertama, efisien, karena kebijakan harus berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi. Kemudian berkeadilan karena kebijakan menyasar ke seluruh lapisan masyarakat. Semua lapisan harus merasakan dampak dari hadirnya kebijakan.

Selanjutnya, insentif. Salah satu fungsi kebijakan adalah memberikan stimulus kepada masyarakat untuk melakukan tindakan yang menciptakan benefit. Berikutnya, law enforcement. Kebijakan menjadi tak bertaji apabila tidak disokong tegaknya hukum. Dan, yang tidak kalah penting adalah kebijakan haruslah mengandung nilai-nilai kultural (moral) karena setiap kebijakan harus mengacu kepada karakter dasarnya: bertumpu pada legitimasi rasional, tetapi tetap beralaskan kebenaran etis.

Akhirnya, tujuan dari setiap kebijakan harus mengerucut pada kepentingan rakyat. Dalam hal ini tak lain adalah kesejahteraan meski untuk mewujudkannya tak jarang negara harus defisit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar