Nasib
Kebijakan Publik di Era Disruptif
Yudi Rachman ; Peneliti pada Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia
|
KOMPAS,
24 Oktober
2017
Regulasi transportasi daring
yang beberapa waktu lalu dibatalkan Mahkamah Agung semakin menunjukkan bahwa
karakteristik peraturan memang berjalan lebih lamban daripada industri
(bisnis).
Ketika bisnis sudah berjalan
beberapa langkah ke depan, bahkan berlari, peraturan masih jalan di tempat
sambil terus wait and see. Kemudian baru terusik ketika timbul persoalan.
Fenomena transportasi daring, yang sudah berlangsung cukup lama di beberapa
negara tersebut, masih saja belum mampu diantisipasi pengambil kebijakan
ketika mulai beroperasi di Indonesia. Seperti biasa, ketika akhirnya masalah
membesar baru bereaksi.
Sementara perkembangan bisnis
yang ditopang kemajuan teknologi informasi, ke depan, diprediksi akan
berjalan kian dahsyat. Tak lagi linier, tapi eksponensial, maka pada masa
itulah disebut sebagai era disruptif. Fenomena ini sudah menjadi megatren
global yang dikenal dengan singkatan VUCA (volatility, uncertainty,
complexity, ambiguity).
Selama berabad-abad, bisnis
berjalan dengan cara berpikir lokal dan linier. Artinya, kompetitor bisnis
berada dalam lingkaran terdekat saja (lokal). Kemudian pertumbuhan bisnis
dilihat secara linier. Jika setiap tahun laba ditarget meningkat 1 persen,
maka 10 tahun ke depan laba perusahaan jadi 10 persen.
Dalam era disruptif seperti
sekarang ini, yang menjadi kompetitor bahkan yang berpotensi meruntuhkan
suatu perusahaan bukan lagi perusahaan raksasa atau perusahaan yang memiliki
bisnis sejenis dan ribuan karyawan. Ingat, kejadian yang menimpa perusahaan
kamera raksasa Kodak dengan 140.000 karyawan dan nilai pasar sekitar Rp 350
triliun, yang akhirnya terkapar di gelanggang persaingan pada 2012,
disinyalir penyebabnya adalah munculnya perusahaan teknologi yang memproduksi
telepon pintar. Karena tidak ingin bernasib sama, di tahun itu juga,
Facebook—fitur media sosial terbesar di dunia—memutuskan mengakuisisi
Instagram dengan nilai Rp 14 triliun. Padahal, saat itu Instagram cuma
dikelola oleh 13 orang dan baru berdiri tiga tahun.
Dengan kecepatan eksponensial,
perusahaan berbasis teknologi informasi tumbuh. Jika perusahaan menargetkan
laba secara eksponensial, 10 tahun ke depan, laba perusahaan menjadi 100
persen. Meningkat 100 kali dari laba tahun ini. Setara laba perusahaan linier
satu abad.
Kebijakan publik yang lentur
Di tengah perubahan yang
berpola global dan eksponensial, di mana kecepatannya semakin tinggi dan
arahnya sulit diduga, bukan hanya berdampak pada pelaku ekonomi, tetapi juga
memengaruhi para pengambil kebijakan dan kinerja pemerintahan. Pertanyaannya,
bagaimana model kebijakan publik yang tepat sehingga tetap berimplikasi
positif terhadap kinerja pemerintahan?
Dengan pola lokal dan linier
saja, sering kali pengambil kebijakan lamban merespons dan meleset dalam
mengantisipasi. Perlu pola pikir baru bagi perumus kebijakan saat hendak
meluncurkan kebijakan di era disruptif seperti saat ini. Menurut Dunn (2004),
kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan
(termasuk keputusan-keputusan untuk tak bertindak) yang dibuat oleh badan
atau pejabat pemerintah. Artinya, kebijakan senantiasa hadir dalam kondisi
apa pun.
Kehadiran kebijakan berfungsi
membingkai industri atau masyarakat agar sesuai kondisi yang ada dengan
nilai-nilai yang berlaku. Namun, bingkai yang cocok dengan era ini bukan lagi
yang rigid. Kebijakan harus makin lentur dalam merespons dan mengantisipasi
keadaan. Seperti yang disampaikan Deniel Lepziger dan Victoria Dodev dari
George Washington University, ke depan dibutuhkan kebijakan publik yang
agile, menyesuaikan dengan perubahan (Basri, Kompas, 6/9).
Ke depan, agar kebijakan publik
cocok dengan perubahan, tak perlu lagi mengatur hal-hal yang bersifat detail
dan teknis. Pada dimensi itu, kreativitas individu yang jadi tumpuan,
asosiasi industri, dan aturan komunitas yang memegang peran penting.
Sebagai pelaku, mereka memang
yang lebih memahami karakter masing-masing. Kebijakan menjadi makin fleksibel
meski tetap harus bersifat preventif dan antisipatif. Sumber data yang
melimpah dan didukung kecanggihan teknologi semestinya membuat pengambil
kebijakan makin cepat dan akurat dalam mengeluarkan kebijakan. Kondisi ini
bisa terjadi jika sumber data raksasa (big data) sudah dikelola dengan baik
dan terintegrasi.
Di tengah perubahan dinamis
yang sulit diterka, kebijakan nantinya hanya berfungsi sebagai bingkai yang
berbahan baku nilai-nilai yang bersumber dari nilai dasar UUD 1945 dan
Pancasila sehingga bangsa ini tetap memiliki identitas yang jelas di tengah
arus perubahan. Namun, ada beberapa rambu yang bisa dijadikan acuan untuk
menilai apakah suatu kebijakan itu memberikan efek positif atau malah
sebaliknya.
Pertama, efisien, karena
kebijakan harus berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi. Kemudian
berkeadilan karena kebijakan menyasar ke seluruh lapisan masyarakat. Semua
lapisan harus merasakan dampak dari hadirnya kebijakan.
Selanjutnya, insentif. Salah
satu fungsi kebijakan adalah memberikan stimulus kepada masyarakat untuk
melakukan tindakan yang menciptakan benefit. Berikutnya, law enforcement.
Kebijakan menjadi tak bertaji apabila tidak disokong tegaknya hukum. Dan,
yang tidak kalah penting adalah kebijakan haruslah mengandung nilai-nilai
kultural (moral) karena setiap kebijakan harus mengacu kepada karakter
dasarnya: bertumpu pada legitimasi rasional, tetapi tetap beralaskan
kebenaran etis.
Akhirnya, tujuan dari setiap
kebijakan harus mengerucut pada kepentingan rakyat. Dalam hal ini tak lain
adalah kesejahteraan meski untuk mewujudkannya tak jarang negara harus
defisit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar