Negara
dalam Kondisi Lemah
Prabowo Subianto ; Ketua Umum Partai
Gerindra
|
JAWA
POS, 23 Oktober 2017
KITA harus mengerti tujuan
bernegara itu apa. Mari kita sepakat, tujuan
setiap pemerintah di seluruh dunia itu adalah mencari keamanan bersama, dan
tentunya kesejahteraan bersama. Kalau negara itu tidak bisa memberikan keamanan dan
kesejahteraan, sesungguhnya harus kita akui negara itu tidak berhasil alias
gagal. Dari tolok ukur itu, marilah kita menilai diri kita sendiri
apakah negara kita sudah mampu menjamin keamanan rakyatnya. Aman dari
penyalahgunaan kekuasaan, aman dari penindasan, aman dari perlakuan tidak
adil, aman dari usaha-usaha untuk mengurangi hak-hak hidup rakyat kita.
Kita harus ingat bahwa bangsa
kita sekarang ini hidup di dunia yang jumlah penduduknya tambah banyak. Kita
ada ledakan penduduk di dunia. Sekarang ada perebutan air, lahan, tanaman,
hingga makanan. Berarti bangsa-bangsa itu nanti akan bertikai, akan berebut
air dan ruang hidup.
Di republik ini, kita sudah
mengetahui bahwa sebagian besar kekayaan hanya dikuasai oleh satu persen
paling atas. Itu dibuktikan oleh gini ratio yang diakui Bank Dunia. Gini
ratio kita sekitar 4,1. Artinya, satu persen menguasai 41 persen kekayaan
republik kita. Kalau dalam bidang tanah, gini ratio-nya lebih parah. Satu
persen menguasai 80 persen tanah. Kalau kondisinya begini, bagaimana kita
bisa sejahtera?
Inti dari gini ratio itu,
bagaimana dampaknya kepada kita. Mampukah kita sebagai bangsa memberikan
keamanan dan kesejahteraan bagi bangsa kita di tengah persaingan
negara-negara. Kondisi bangsa harus kita akui lemah. Menurut saya, negara
kita berada dalam kondisi yang lemah. Harus kita akui kelemahan kita.
Lemah dari tolok ukur apa? Dari
ukuran pendidikan. Menurut studi lembaga internasional, di bidang pendidikan
nomor urut kita 65 dari 73 negara yang disurvei. Nomor 65 itu masuk peringkat
bawah. Prestasi matematika Indonesia berada pada ranking 36 dari 49 negara.
Kita kalah dari Bahrain, Iran, apalagi Korea Selatan, Thailand, dan
sebagainya.
Lalu, kondisi anak-anak kita di ibu kota yang sudah 72 tahun
merdeka. Negara kita yang 72 tahun merdeka, di ibu kota, tidak jauh dari
tempat kita berkumpul, sepertiga anak-anak DKI berada dalam keadaan kurang
gizi. Istilah sebetulnya kelaparan. Tapi, bangsa
Indonesia lebih senang untuk bicara tidak apa adanya.
Pantas kita bertanya,
berhasilkah negara Indonesia memberikan kesejahteraan? Kalau kita lihat di NTT, dua dari tiga anak, dua pertiga anak-anak di NTT
kelaparan setiap hari. Kurang gizi, artinya kurang
protein. Artinya apa? Di bawah usia lima tahun, perkembangan sel otak, otot,
dan sel tulang akan berkurang.
Kita sebetulnya menuju pada
bangsa kalahan. Kalau bangsa kita kurang protein, pantas sepak bola kita
kalah terus dari negara mana pun. Jadi kuli aja akan kalah. Enggak usah jadi
insinyur, jadi kuli saja kalah.
Saya juga mau tanya, bidang
apa saja yang kita tidak kalah? Di SEA Games,
negara terbesar di Asia Tenggara, kita di urutan berapa, nomor 5 atau 6? Kita
kalah dengan Singapura dengan penduduk 5 juta, yang wilayahnya sebesar Kota
Bogor.
Kalau sistem pemerintahan
kita lemah, tidak efisien, pengangguran, kita buang uang untuk hal yang tidak
penting. Mari kita nilai, ada nggak korupsi di
negara kita. Kalau akibat inefisiensi, korupsi, pembangunan itu minim, tidak
menetes ke rakyat paling bawah, tidak dirasakan kesejahteraan oleh rakyat
paling bawah, maka terjadi instabilitas, juga menambah kesenjangan antara
yang kaya dan miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar