Sumpah
Kebudayaan
Damhuri Muhammad ; Sastrawan;
Alumnus Pascasarjana
Filsafat UGM; Staf Ahli UKP-PIP
|
KOMPAS,
27 Oktober
2017
Apabila merujuk pada alam
pikiran Barat, silsilah linguistik kata ”budaya” lazim disebut dengan
culture. Akar kata culture sama dengan cultivation, yang berarti
’menumbuhkan’ (growing) atau ’membudidayakan’ (cultivation). Dari sana
kemudian ”budaya” dipahami sebagai budi dan daya.
Budi bisa bermakna ’kearifan’
(wisdom), tapi bisa pula berarti ’akal budi’, yang dalam tradisi filsafat
Barat disebut reason. Jika ”budi”
dipahami sebagai ”kearifan”, maka ”budaya” akan bermakna; kearifan
yang diberdayakan, yang terus ditumbuhkan, yang selalu bertenaga guna menggapai
kemajuan. Kearifan yang tak diberdayakan akan tergeletak sebagai kearifan
usang, sia-sia, dan tak berguna.
Tapi, kalau ”budi” dimaknai
sebagai akal sehat—bukan akal yang sakit—maka ”budaya” dapat berarti pikiran
yang tiada henti-henti dikerahkan, yang tiada sudah-sudah digunakan, yang
senantiasa ditumbuhsuburkan guna meraih pencerahan. Akal budi yang tak
diberdayakan akan terpelanting sebagai akal yang lapuk dalam keusangan. Akal
yang tak ditumbuhkembangkan, alih-alih akan mengantarkan kita ke puncak
kejayaan, justru akan membuat kita meringkuk di lubang kejahiliahan.
Dikerdilkan
Namun, beberapa dekade
belakangan makna kebudayaan dikerdilkan. Kebudayaan disederhanakan sebagai
rupa-rupa karya seni dari berbagai disiplin, baik seni tradisi maupun modern.
Kebudayaan kerap pula diidentikkan dengan dunia pendidikan dengan segenap
aktivitasnya. Itu sebabnya kita punya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Makna kebudayaan tak lebih dari pelembagaan dan konservasi bahasa, adat
istiadat dan tradisi, yang seiring dengan perkembangan zaman makin kewalahan
menghadapi arus modernitas dengan sederet produk unggulan seperti
rasionalisme, humanisme, liberalisme, dan tentu saja kapitalisme.
Apa yang dipersepsikan sebagai
kebudayaan itu tak lebih dari cultural product (produk kebudayaan) ketimbang
makna asali dari kebudayaan itu sendiri. Di kurun ini, banyak orangtua
memercayakan anaknya untuk belajar di sanggar-sanggar tari tradisi—di sela
kesibukan sekolah formal—dengan harapan agar generasi tak tercerabut dari akar
budaya. Begitu juga politisi, birokrat, atau artis terkemuka yang menyediakan
waktu khusus guna menonton pertunjukan teater atau pameran seni rupa agar
tampak sebagai insan yang berbudaya. Bagi sebagian besar orang, ranah
kebudayaan tak lebih dari oase yang sejuk di tengah padang gersang kehidupan
yang makin meletihkan.
Tubuh kebudayaan tak sekerdil
yang kita lihat, tak seleceh dan seremeh yang kita perlakukan. Ia adalah
sistem nilai, cara berpikir, jalan hidup, dan welstanschaung, yang tumbuh dan
mengakar dalam sebuah komunitas masyarakat, dan membawa warganya bergerak
menuju kegemilangan. Kebudayaan yang tangguh adalah kebudayaan yang mampu
menghela masyarakatnya menuju kehidupan bermutu, makmur, dan berkeadaban.
Tarikh kebudayaan paling purba
bermula dari kebiasaan. Misalnya, kebiasaan orang-orang dahulu membaca
tanda-tanda alam dalam berbagai tabiat alamiahnya, hingga leluhur kita
mewasiatkan sebuah pesan perenial alam terkembang jadi guru. Jadilah padi,
yang semakin berisi semakin merunduk, jangan jadi tebu yang semakin ke pucuk
semakin hambar. Kebiasaan yang dilakukan banyak orang secara terus-menerus,
pada fase sejarah tertentu, akan mengkristal menjadi norma. Itu sebabnya kita
kerap mengatakan setiap perilaku yang sudah biasa dan lazim sebagai ”perilaku
yang normal”.
Tapi, norma tidak selalu
konstruktif, ia bisa juga destruktif, bahkan tercela. Misalnya, kebiasaan
menghukum seseorang yang tertangkap tangan mencuri, katakanlah pelaku ”begal”
sepeda motor yang belakangan marak dikabarkan. Kita membakar begal itu
hidup-hidup, lalu beralibi di balik ”hukum massa”, padahal kita punya aturan
hukum yang mesti dipatuhi. Atau keculasan yang kadang kita anggap lumrah
dalam etos kegotongroyongan; ”saat bekerja cangkul selalu berlebih, tapi saat
makan, piring selalu kurang”. Dalam dinamika kebudayaan, ini tidak bisa
dibiarkan, mesti diganti dengan norma baru yang konstruktif.
Selanjutnya, norms
(norma-norma) akan meningkat menjadi customs (adat istiadat). Adat istiadat
yang terus diberdayakan akan meningkat ke level values (nilai-nilai). Ia
dapat melahirkan nilai-nilai seperti kegotongroyongan, keguyuban, toleransi,
kemandirian, dan keadilan. Nilai-nilai akan beranjak menuju etics (etika).
Dari sinilah kita mengenal kesantunan, etos penghormatan kepada orangtua,
termasuk etika pemimpin kepada masyarakatnya.
Norms, customs, values, etics
akan berujung pada puncak pengalaman berkebudayaan, yakni estetika. Proses
pembentukan kebudayaan yang sudah sampai pada titik estetika inilah yang
kemudian melahirkan karya seni adiluhung, yang hingga kini kita catat sebagai
bukti kejayaan peradaban masa silam, seperti peradaban Mesir Kuno, Romawi
kuno, peradaban Islam masa golden age—imperium Abbasiyah di Cordoba,
Andalusia hingga Turki Usmani—termasuk peradaban Nusantara yang kita
warisi. Tanpa kebudayaan,
kecemerlangan masa kini hampir tak mungkin.
Embrio nilai kepancasilaan
Kelima fase kebudayaan di atas
bermuasal dari satu sumur, yaitu akal budi, atau pikiran. Tanpa pikiran tak
ada kebudayaan. Tanpa kebudayaan, sebuah bangsa tak mungkin ditegakkan.
Dengan begitu, teks Pancasila
yang dirumuskan oleh para ideolog
republik ini lebih terang sebagai produk kebudayaan ketimbang produk politik.
Atas dasar kebudayaan yang dikendarai oleh pikiran, sidang BPUPK 1 Juni 1945
menyepakati sebuah philosophische gronslag (falsafah dasar), yang hingga kini
masih menopang keberlangsungan hidup bernegara. Oleh karena Pancasila adalah
produk kebudayaan, para ahli memosisikannya sebagai Grundnorm (norma dasar),
dan pada gilirannya diterima sebagai Staatsfundamentalnorm (kaidah
fundamental negara) sebagaimana tercantum dalam konstitusi.
Tujuh belas tahun sebelumnya,
tepatnya pada 28 Oktober 1928, kaum muda yang mewakili segenap organisasi
kepemudaan memaklumatkan sebuah sumpah guna memancangkan fondasi pemahaman
tentang sebuah bangsa, tanah air, dan bahasa, yang tak diragukan sebagai
embrio dari nilai-nilai kepancasilaan. Ikrar itu juga lebih terdengar sebagai
sumpah kebudayaan ketimbang pernyataan politik. Selepas sumpah kebudayaan itu,
kita dikenal sebagai manusia yang berdaulat, berdikari, berkepribadian, dan
berkebudayaan…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar