Senin, 23 Oktober 2017

Selalu Kehilangan Momentum Ekspor

Selalu Kehilangan Momentum Ekspor
Enny Sri Hartati ;   Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and Finance (Indef)
                                                      KOMPAS, 23 Oktober 2017



                                                           
Neraca perdagangan bulanan Januari-September 2017 hampir selalu mencetak surplus. Satu-satunya defisit terjadi pada Juli sebesar 271,1 juta dollar AS. Bahkan, neraca perdagangan Agustus mencapai 1,72 miliar dollar AS dan memecahkan rekor bulanan tertinggi sejak 2012. Sayangnya, surplus tidak menjadi indikasi perbaikan kinerja perdagangan. Surplus bukan merupakan hasil peningkatan produktivitas dan daya saing ekspor Indonesia.

Pertama, surplus neraca perdagangan disebabkan oleh pelemahan impor, bukan peningkatan ekspor. Nilai impor September 12,78 miliar dollar AS, turun 5,39 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Impor nonmigas turun 652,3 juta dollar AS karena penurunan impor mesin (5,9 persen), kendaraan dan bagiannya (17,78 persen), dan bahan kimia organik (12,8 persen). Bahkan impor serealia Januari-September turun 17,54 persen dari periode sama tahun lalu. Padahal, impor tersebut merupakan bahan baku industri manufaktur di dalam negeri yang masih terlihat bergeliat. Jika kinerja impor serealia jeblok, industri makanan yang memiliki kontribusi terbesar juga akan melemah. Niscaya, pertumbuhan industri pengolahan pada triwulan III-2017 sulit diharapkan dapat melampaui 4 persen, apalagi memenuhi target pertumbuhan 5,4 persen pada 2017.

Kedua, kinerja ekspor masih sangat fluktuatif. Ekspor September 2017 tercatat 14,54 miliar dollar AS, naik 15,60 persen selama setahun, tetapi turun 4,51 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Lonjakan impor Juli 2017 yang mencapai 13,89 miliar dollar AS atau naik 54,01 persen selama setahun tidak memiliki implikasi terhadap peningkatan ekspor industri pada September. Padahal, pada Juli 2017, impor bahan baku naik 52,94 persen dan barang modal naik 62,02 persen. Artinya, peningkatan impor pada Juli bukan indikasi pemulihan industri manufaktur yang berorientasi ekspor.

Ketiga, terjadi ketergantungan ekspor komoditas. Determinan kenaikan nilai ekspor ditentukan oleh harga komoditas. Ketika harga batubara, tembaga, nikel, minyak sawit mentah, karet, dan kopi membaik, rapor ekspor membaik. Padahal, ketika harga komoditas rendah, Indonesia mestinya mendorong hilirisasi industri. Dengan bahan baku yang melimpah dan murah, terbuka kesempatan menciptakan ekspor produk yang bernilai tambah dan daya saing tinggi.

Ini sekaligus dilakukan untuk memperluas negara tujuan ekspor supaya tidak terpaku pada negara importir komoditas mentah. Demikian juga era 1990-an ketika Indonesia menikmati harga komoditas dan derasnya aliran modal masuk, mestinya pendanaan untuk membangun berbagai industri manufaktur lebih dari cukup. Sayang, Indonesia selalu menyia-nyiakan momentum emas itu.

Cetak biru

Keempat, lemahnya cetak biru industri strategis nasional. Sebagai contoh, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki pernah menjadi andalan ekspor yang kompetitif. Tidak hanya mampu menembus pasar Amerika Serikat, tetapi juga mampu menundukkan pasar Uni Eropa. Namun, kini, industri TPT makin terpuruk. Impor bahan baku serat dan benang membuat industri padat karya ini makin kalah bersaing.

Nilai ekspor tekstil dan garmen masih bisa meningkat seiring negosiasi tarif dagang dengan AS dan Uni Eropa yang mengarah pada kesetaraan tarif dengan Vietnam dan Banglades. Ekspor tekstil dan garmen sepanjang Januari-September 2017 mencapai 9,38 miliar dollar AS, naik 4,69 persen.

Kelima, Indonesia gagal memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Indonesia hanya mampu memanfaatkan FTA dari kemudahan impor. Sementara ekspor kepada hampir semua negara mitra FTA tidak berdampak signifikan. Dari skema FTA yang dijalin, Indonesia memperoleh surplus neraca perdagangan dengan Korea Selatan, Jepang, Pakistan, dan India. Adapun dengan Australia, Selandia Baru, ASEAN, dan China, neraca perdagangan justru defisit. Pangsa pasar ekspor Indonesia di beberapa negara mitra FTA makin turun dibandingkan dengan sebelum FTA. Pangsa pasar di Jepang turun dari 4,17 persen sebelum FTA menjadi tinggal 3,00 persen pada 2016. Pangsa pasar negara mitra FTA di Indonesia meningkat. China mendongkrak pangsa pasarnya dari 9,1 persen sebelum FTA menjadi 22,71 pada 2016.

Defisit perdagangan Indonesia dengan China semakin besar. Januari-September 2017, nilai ekspor nonmigas ke China 14,57 miliar dollar AS atau 13,02 persen dari total ekspor nonmigas. Adapun impor nonmigas Indonesia dari China mencapai 24,81 miliar dollar AS atau 26,07 persen dari total impor nonmigas. Impor dari China berupa mesin, peralatan, besi, baja, plastik, dan barang-barang plastik. Sementara produk yang diekspor ke China adalah komoditas mentah sebagai bahan baku barang yang diimpor Indonesia.

Dengan kinerja ekspor yang masih stagnan di kisaran 14 miliar dollar AS, nilai tukar rupiah masih rentan sekalipun cadangan devisa 129,4 miliar dollar AS. Apalagi, menjelang akhir tahun kebutuhan repatriasi devisa sangat tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar