Selalu
Kehilangan Momentum Ekspor
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif
Institute for
Development of
Economics and Finance (Indef)
|
KOMPAS,
23 Oktober
2017
Neraca perdagangan bulanan
Januari-September 2017 hampir selalu mencetak surplus. Satu-satunya defisit
terjadi pada Juli sebesar 271,1 juta dollar AS. Bahkan, neraca perdagangan
Agustus mencapai 1,72 miliar dollar AS dan memecahkan rekor bulanan tertinggi
sejak 2012. Sayangnya, surplus tidak menjadi indikasi perbaikan kinerja
perdagangan. Surplus bukan merupakan hasil peningkatan produktivitas dan daya
saing ekspor Indonesia.
Pertama, surplus neraca
perdagangan disebabkan oleh pelemahan impor, bukan peningkatan ekspor. Nilai
impor September 12,78 miliar dollar AS, turun 5,39 persen dibandingkan bulan
sebelumnya. Impor nonmigas turun 652,3 juta dollar AS karena penurunan impor
mesin (5,9 persen), kendaraan dan bagiannya (17,78 persen), dan bahan kimia
organik (12,8 persen). Bahkan impor serealia Januari-September turun 17,54
persen dari periode sama tahun lalu. Padahal, impor tersebut merupakan bahan
baku industri manufaktur di dalam negeri yang masih terlihat bergeliat. Jika
kinerja impor serealia jeblok, industri makanan yang memiliki kontribusi
terbesar juga akan melemah. Niscaya, pertumbuhan industri pengolahan pada
triwulan III-2017 sulit diharapkan dapat melampaui 4 persen, apalagi memenuhi
target pertumbuhan 5,4 persen pada 2017.
Kedua, kinerja ekspor masih
sangat fluktuatif. Ekspor September 2017 tercatat 14,54 miliar dollar AS,
naik 15,60 persen selama setahun, tetapi turun 4,51 persen dibandingkan bulan
sebelumnya. Lonjakan impor Juli 2017 yang mencapai 13,89 miliar dollar AS
atau naik 54,01 persen selama setahun tidak memiliki implikasi terhadap
peningkatan ekspor industri pada September. Padahal, pada Juli 2017, impor
bahan baku naik 52,94 persen dan barang modal naik 62,02 persen. Artinya,
peningkatan impor pada Juli bukan indikasi pemulihan industri manufaktur yang
berorientasi ekspor.
Ketiga, terjadi ketergantungan
ekspor komoditas. Determinan kenaikan nilai ekspor ditentukan oleh harga
komoditas. Ketika harga batubara, tembaga, nikel, minyak sawit mentah, karet,
dan kopi membaik, rapor ekspor membaik. Padahal, ketika harga komoditas
rendah, Indonesia mestinya mendorong hilirisasi industri. Dengan bahan baku
yang melimpah dan murah, terbuka kesempatan menciptakan ekspor produk yang
bernilai tambah dan daya saing tinggi.
Ini sekaligus dilakukan untuk
memperluas negara tujuan ekspor supaya tidak terpaku pada negara importir
komoditas mentah. Demikian juga era 1990-an ketika Indonesia menikmati harga
komoditas dan derasnya aliran modal masuk, mestinya pendanaan untuk membangun
berbagai industri manufaktur lebih dari cukup. Sayang, Indonesia selalu
menyia-nyiakan momentum emas itu.
Cetak biru
Keempat, lemahnya cetak biru
industri strategis nasional. Sebagai contoh, industri tekstil dan produk
tekstil (TPT) serta alas kaki pernah menjadi andalan ekspor yang kompetitif. Tidak
hanya mampu menembus pasar Amerika Serikat, tetapi juga mampu menundukkan
pasar Uni Eropa. Namun, kini, industri TPT makin terpuruk. Impor bahan baku
serat dan benang membuat industri padat karya ini makin kalah bersaing.
Nilai ekspor tekstil dan garmen
masih bisa meningkat seiring negosiasi tarif dagang dengan AS dan Uni Eropa
yang mengarah pada kesetaraan tarif dengan Vietnam dan Banglades. Ekspor
tekstil dan garmen sepanjang Januari-September 2017 mencapai 9,38 miliar
dollar AS, naik 4,69 persen.
Kelima, Indonesia gagal
memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA). Indonesia hanya mampu
memanfaatkan FTA dari kemudahan impor. Sementara ekspor kepada hampir semua
negara mitra FTA tidak berdampak signifikan. Dari skema FTA yang dijalin,
Indonesia memperoleh surplus neraca perdagangan dengan Korea Selatan, Jepang,
Pakistan, dan India. Adapun dengan Australia, Selandia Baru, ASEAN, dan
China, neraca perdagangan justru defisit. Pangsa pasar ekspor Indonesia di
beberapa negara mitra FTA makin turun dibandingkan dengan sebelum FTA. Pangsa
pasar di Jepang turun dari 4,17 persen sebelum FTA menjadi tinggal 3,00
persen pada 2016. Pangsa pasar negara mitra FTA di Indonesia meningkat. China
mendongkrak pangsa pasarnya dari 9,1 persen sebelum FTA menjadi 22,71 pada
2016.
Defisit perdagangan Indonesia
dengan China semakin besar. Januari-September 2017, nilai ekspor nonmigas ke
China 14,57 miliar dollar AS atau 13,02 persen dari total ekspor nonmigas.
Adapun impor nonmigas Indonesia dari China mencapai 24,81 miliar dollar AS
atau 26,07 persen dari total impor nonmigas. Impor dari China berupa mesin,
peralatan, besi, baja, plastik, dan barang-barang plastik. Sementara produk
yang diekspor ke China adalah komoditas mentah sebagai bahan baku barang yang
diimpor Indonesia.
Dengan kinerja ekspor yang
masih stagnan di kisaran 14 miliar dollar AS, nilai tukar rupiah masih rentan
sekalipun cadangan devisa 129,4 miliar dollar AS. Apalagi, menjelang akhir
tahun kebutuhan repatriasi devisa sangat tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar