Membaca
Arah Perekonomian
Tri Winarno ; Peneliti Senior Bank
Indonesia
|
KOMPAS,
25 Oktober
2017
Selama beberapa tahun silam,
perekonomian global telah mengalami pasang surut di antara periode akselerasi
(ketika tumbuh positif dan menguat) dan periode deselerasi (tumbuh positif
tetapi melemah). Setelah lebih dari setahun mengalami akselerasi, apakah
perekonomian global mengarah pada perlambatan atau menuju pada pemulihan yang
berkelanjutan?
Artikel ini mencoba
mengeksplorasinya. Pertumbuhan ekonomi dan pasar modal mengalami penguatan
sejak musim panas 2016. Walaupun sempat tersendat setelah referendum Brexit,
akselerasi perekonomian global tertahan, tidak hanya karena terpilihnya Donald
Trump sebagai presiden AS ke-45, tetapi juga oleh meningkatnya ketidakpastian
kebijakan dan kekacauan geopolitik yang dipicu oleh gaya kepemimpinannya.
Dalam rangka merespons
resiliensi ekonomi global saat ini, Dana Moneter Internasional (IMF) yang
sebelumnya telah melabel perekonomian global berada pada kondisi new
mediocre, baru-baru ini merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global secara
keseluruhan tahun 2017 dan 2018 lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya. Hal
ini mengindikasikan bahwa perekonomian global mengarah pada pemantapan
pemulihan.
Benarkah perekonomian mengarah
pada penguatan pemulihan, sebagaimana dinyatakan oleh IMF dalam pertemuannya
di Washington pada 11-14 Oktober 2017? Kalau memang menunjukkan arah
demikian, seberapa kuat arah pemulihan itu? Ataukah tanda-tanda penguatan
pemulihan ini hanya temporer, sebagaimana dialami oleh perekonomian dunia
pada musim panas 2015 dan awal 2016?
Ketika itu, atmosfer
perekonomian dunia diliputi bayang-bayang ketakpastian. Pertama, waktu itu
investor ketakutan akan terjadi perlambatan yang semakin tajam pada
perekonomian China. Kedua, pada awal 2016 dimungkinkan adanya percepatan
kebijakan pengetatan tingkat bunga di AS. Ketiga, adanya tanda-tanda
perlambatan pertumbuhan ekonomi AS, serta lemahnya harga minyak dunia. Semua
hal itu masih membayangi arah perekonomian ke depan.
Tiga skenario
Ada tiga skenario yang
menyertai cerita pertumbuhan ekonomi ke depan. Pertama, skenario optimistis.
Dalam skenario ini, keempat perekonomian terbesar dunia— China, Uni Eropa,
AS, dan Jepang—melakukan reformasi struktural dengan target meningkatkan
pertumbuhan potensial dan memastikan resiliensi sistem keuangan global.
Dengan memastikan bahwa siklus
pertumbuhan ekonomi yang menguat terkait dengan pertumbuhan ekonomi potensial
dan aktual yang semakin menguat, siklus akselerasi tersebut akan berujung
pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang berkelanjutan, laju inflasi
yang moderat, dan stabilitas keuangan global. Dengan demikian, pasar modal
global termasuk pasar modal AS akan mencapai keseimbangan baru (harganya
semakin meningkat) karena penguatan fundamental.
Kedua, skenario pesimistis,
yang merupakan kebalikan dari skenario optimistis. Dalam skenario ini,
keempat negara utama tersebut gagal mengimplementasikan reformasi struktural
guna meningkatkan pertumbuhan potensial. China gagal menjadikan kongres
Partai Komunis China, Oktober 2017, sebagai katalisator reformasi sehingga
perekonomian China terjebak pada overleverage dan over kapasitas.
Uni Eropa gagal memperkuat
integrasinya karena hambatan politis yang menghalangi reformasi struktural
guna memperkuat implementasi kebijakan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi.
Jepang masih terjebak pada arah pertumbuhan rendah karena strategi ekonomi Perdana
Menteri Shinzo Abe gagal mereformasi sisi suplai dan liberalisasi perdagangan
Jepang.
Untuk AS, pemerintahan Trump
dalam skenario ini masih berkutat dengan kebijakan yang berpotensi
mengerdilkan pertumbuhan potensialnya; yakni kebijakan pemotongan pajak (yang
lebih pro pada kelompok paling makmur/the most have), proteksi perdagangan,
dan pembatasan migrasi.
Stimulus fiskal yang berlebihan
berakibat pada pembengkakan defisit dan penumpukan utang sehingga memacu
kenaikan tingkat bunga dan penguatan dollar AS yang berujung pada semakin
melemahnya pertumbuhan ekonomi AS. Akan kian melemahkan prospek ekonomi AS
jika Trump memilih opsi konflik militer dengan Korea Utara dan Iran.
Dalam skenario pesimistis ini,
tidak adanya reformasi di negara-negara utama tersebut akan menyebabkan
siklus ekonomi yang sedang menguat terkendala oleh kecenderungan pertumbuhan
yang rendah. Kalau pertumbuhan potensial tetap rendah, kebijakan moneter dan
kredit yang longgar akan berujung pada inflasi harga barang dan aset, yang akhirnya
akan berakhir dengan perlambatan ekonomi yang semakin memprihatinkan. Dan,
kalau kondisi tersebut disertai dengan harga saham yang menukik dan
akselerasi inflasi, resesi ekonomi beserta krisis keuangan adalah akhir
cerita dari skenario tersebut.
Skenario ketiga adalah skenario
moderat, yaitu di antara optimistis dan pesimistis. Skenario ini di rasa
paling mungkin mengingat perkembangan global akhir-akhir ini. Karena ada
dorongan pertumbuhan temporer, siklus ekonomi dan pasar modal mengalami penguatan;
temporer pula. Walaupun negara-negara utama itu melakukan reformasi
struktural, langkahnya lambat dengan skala perubahan yang moderat, tak cukup
untuk memaksimalkan potensinya.
China hanya mampu menghindari
penurunan tajam perekonomiannya, tetapi tidak optimal sehingga pasar
keuangannya masih rentan terhadap guncangan dan tekanan pada ekonominya
semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Di Uni Eropa, integrasi ekonomi
terjadi, tetapi juga berjalan lamban. Jerman tetap menolak skema berbagi
risiko atau penggabungan fiskal sehingga memperlemah insentif bagi negara
anggota lainnya yang sedang berjuang melakukan reformasi.
Di Jepang, pemerintah Abe yang
semakin tidak efektif hanya mampu melakukan reformasi yang minimal sehingga
pertumbuhan potensialnya tertahan di kisaran kurang dari 1 persen.
Di AS, kepemimpinan Trump masih
tetap tak tentu serta kurang efektif, dan warga Amerika semakin terjebak
dalam nasionalisme sempit yang mengagung-agungkan supremasi kulit putih.
Kebijakan Trump kental pro kelompok atas. Ketimpangan semakin meningkat,
kelas menengah mengalami stagnasi, upah hampir tidak meningkat. Konsumsi dan
pertumbuhan tetap anemik, hanya di kisaran kurang dari 2 persen.
Risiko skenario medioker
Akan tetapi, risiko skenario
moderat ini melebihi risiko kinerja ekonomi ”medioker”. Dalam skenario ini,
tidak terjadi ekuilibrium ekonomi yang stabil, tetapi perekonomian berada
pada ketidakseimbangan yang labil; rentan terhadap guncangan ekonomi,
keuangan, dan geopolitik. Ketika terjadi guncangan, ekonomi akan melambat
atau kalau guncangan semakin membesar, akan terjadi resesi yang disertai
dengan krisis keuangan global.
Dengan kata lain, kalau
skenario moderat benar-benar mengemuka, perekonomian global ke depan akan
semakin memprihatinkan, seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak
mau.
Untuk keluar dari jebakan
tersebut, baik pimpinan politik maupun pengampu kebijakan harus mampu
menunjukkan kepemimpinan yang mumpuni, yang dibutuhkan untuk menjamin kinerja
perekonomian kedepan yang lebih menjanjikan. Kalau tidak, penguatan
pertumbuhan ekonomi yang sudah semakin nyata akan memudar sehingga risiko
pemburukan kinerja perekonomian akan semakin nyata dan berujung pada petaka
ekonomi, yang akan merambat hingga ke dimensi lain, seperti sosial, keamanan,
dan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar