Pribumi
vs non Pribumi
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation
|
REPUBLIKA,
18 Oktober
2017
Sebagaimana sangkaan banyak
orang bahwa kemenangan Anies-Sandi di Jakarta menarik banyak perhatian.
Orang-orang akan memperhatikan dari dekat setiap gerak-geriknya, bahkan
setiap kata yang diungkapkannya. Perhatian itu tentunya bisa positif jika
bertujuan positif dan boleh jadi negatif jika didasari i’tikad negatif dengan
tujuan negatif pula.
Negatifnya adalah ketika
perhatian itu memang didasari oleh ketidakpuasan dan didorong untuk
mencari-cari kesalahan atau hal yang
dianggap bisa disalahkan. Ketika hal ini terjadi maka yang tidak salah pun
bisa salahkan. Kata sebagian orang “jangankan salah. Benar saja akan dilihat
salah”.
Dalam pidato publik pertamanya
setelah pelantikan, gubernur Jakarta menyampaikan satu kalimat yang dianggap
“divisive” (memecah belah) bahkan rasis oleh sebagian. Pernyataan beliau
tentang pribumi dengan tanggap ditangkap sebagai peluang untuk menyalahkan.
Padahal, pada pidato yang sama disampaikan bahwa di Jakarta inilah konsep
keadilan sosial bagi seluruh warga harus diwujudkan.
Salahkah pernyataan itu? Bisa
salah, tapi bisa juga tidak salah. Tergantung dari sudut mana motif dan
defenisi dari pengistilahan itu.
Sejujurnya sejak lama saya
kurang setuju dengan pengistilahan pribumi dan non pribumi, jika kata itu
dikaitkan dengan etnis dan ras. Persis ketidak setujuan saya dengan istilah
native dan non native American, bahkan imigran dan non imigran di Amerika.
Hal itu dikarenakan baik Indonesia maupun Amerika keduanya adalah negara
dengan penduduk pendatang.
Mungkin mereka datang ke negara
ini beratus-ratus tahun silam. Tapi, namanya imigran ya tetap imigran. Persis
dengan kesalahan kaum putih di bawah kepemimpinan Trump yang merasa sebagai
penduduk asli Amerika. Sementara orang-orang Amerika lainnya dikategorikan
imigran atau pendatang. Padahal, kenyataannya mereka juga adalah imigran dari
Eropa ke negara ini.
Bagi saya pengistilahan pribumi
atau native di sebuah negara tidak selalu identik dengan ras dan etnis. Toh
dalam kasus Indonesia etnis asli itu siapa? Melayu? Boleh jadi mereka adalah
gabungan Cina dan India. Bahkan, saudara-saudara kita di Aceh banyak yang
berwajah India, bahkan Eropa. Etnis Cina di Aceh banyak yang tetap bermata
sipit, tapi berkulit sawo matang.
Saya justeru lebih cenderung
memahami pengistilahan ini dalam perspektif sosio ekonomi masyarakat. Bahwa
istilah pribumi dan non pribumi, native vs non native itu lebih kepada
tatanan sosial ekonomi kemasyarakatan. Inti sesungguhnya ada pada “keadilan
sosial vs ketidak adilan sosial” yang ada dalam masyarakat. Maka ketika
istilah tersebut timbul sejatinya dilihat dulu kepada aspek keadilan vs ketidak
adilan yang ada di masyarakat.
Ada kecenderungan persepsi yang
tumbuh selama ini bahwa segmen masyarakat yang dianggap non pribumi itu
adalah etnis Cina. Tapi benarkah hanya etnis Cina yang non pribumi? Tentu
tidak demikian. Tapi kenapa etnis Cina selalu diidentikkan dengan non
pribumi?
Jawabannya bisa dilihat pada
tatanan “socio economic justice” (keadilan sosial ekonomi) dalam masyarakat.
Tentu hal ini bukan sesuatu yang baru di masyarakat. Ambillah Jakarta sebagai
contoh. Berapa persen perekonomian di tangan etnis tertentu?
Kita ambil isu lokal di Papua
misalnya. Para pendatang Bugis Makassar adalah segmen masyarakat yang
mendominasi perekonomian di daerah itu. Bisnis dan perdagangan rata-rata
dikuasai oleh warga Bugis Makasar. Maka, tidak jarang terjadi gesekan sosial
antara mereka yang kerasa orang asli Papua dan mereka yang dianggap non
Papua. Padahal, warga Bugis Makasar di daerah ini sudah beranak cucu, ber KTP
Papua, tapi masih juga dianggap bukan orang-orang Papua.
Oleh karenanya, saya melihat
perlu keseimbangan yang dibarengi oleh kejujuran i’tikad dalam memahami
setiap kata atau istilah. Kata imigran di Amerika jika diidentikkan dengan
“non white” maka itulah rasisme. Karena sejatinya mereka yang berkulit putih,
termasuk Presiden Donald Trump adalah imigran atau cucu seorang imigran dari
Eropa. Tapi, kalau kata ini dipakai sebagai sebuah pengistilahan sosial,
misanya tentang pentingnya bagi pendatang di Amerika untuk berintegrasi
secara positif ke dalam masyarakat Amerika, maka saya melihat sah-sah saja.
Oleh sekali lagi, istilah
pribumi dan non pribumi dipakai yang dipakai di Indonesia kitanya dipahami
sebagai bukan statemen ras dan etnis. Tapi sebuah ungkapan tentang realita
“ketidak adilan sosial ekonomi” yang cenderung dimonopoli oleh sebagian etnis
tertentu.
Ada pula yang merespon dengan
merujuk kepada sang gubernur yang keturunan Arab (Yaman). Respons ini justeru
jawaban langsung terhadap isu itu sendiri. Kenapa orang-orang Arab/Yaman
tidak diidentikkan dengan non pribumi? Jawabannya karena mereka telah ikut
berjuang memerdekakan, bahkan terlibat dalam membangun bangsa dan negara ini.
Salah seorang pejuang bangsa, khususnya di bidang pendidikan adalah ayah sang
gubernur AR Baswedan.
Saya sangat yakin jika semua
etnis di negara ini, apapun itu, mampu meleburkan diri (tanpa kehilangan
identitas pribadi/kelompok) menjadi bagian bangsa ini, mengambil tanggung
jawab dalam membangun, dan tentunya yang terpenting tidak memonopoli kekayaan
negara, maka istilah pribumi dan non pribumi tidak perlu terjadi.
Maka, kita tidak perlu over
sensitif dengan sebuah istilah. Sebaliknya kita harusnya membangun
sensitifitas tinggi terhadap “ketidak adilan sosial dan ekonomi” di negara
ini. Sebab keragaman adalah keniscayaan dan alami. Hanya saja keragaman itu
perlu diikat oleh tenggang rasa yang terbangun di atas kesadaran “social
justice” (keadilan sosial) yang memang menjadi tujuan utama pembangunan
negara.
Ingat, istilah ini juga
harusnya berlaku bagi warga non Cina, termasuk Makassar Bugis, Minang, Jawa,
Sunda, dan seterusnya. Jika tidak peduli dengan keadilan ekonomi sosial, maka
mereka juga harusnya masuk dalam kategori non pribumi. Tinggal di Indonesia,
tapi hatinya tidak sepenuhnya cinta bangsa dan negara. Atau dalam bahasa
seorang konglomerat: “Indonesia itu hanya Ibu tiri”. Orang seperti ini
bagaikan benalu yang menghisap batang negara ini hingga meradang.
Tapi, begitulah jika keinginan
“move on” (legowo atau nrimo) sulit terbangun. Baru sehari sang gubernur
dilantik, bahkan sebelum dilantik pun sudah pada ingin melihat semua masalah
Jakarta diselesaikan. Cmon man! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar