Empat
Isu Penting Merespons
Pandangan
Prof Eddy OS Hiariej
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus
Unpad; Expert UNODC untuk UNCAC; Kepala Program Studi S3 Ilmu Hukum
Universitas Pasundan
|
KORAN
SINDO, 16 Oktober 2017
Pada awal artikel ini, penulis
mengapresiasi kesediaan redaksi KORAN SINDO untuk memuat secara
berturut-turut pendapat saya dan Prof Eddy OS Hiariej sekitar operasi tangkap
tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Penyadapan
dan Analogi.
Apresiasi penulis kepada rekan
Prof Eddy OS Hiariej, Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum (F FH UGMFH)
Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater penulis dalam melakukan studi doktor
ilmu hukum (1996), yang telah mengungkapkan bahwa sesama akademisi saya
sangat terbuka untuk diskusi hukum mengenai masalah hukum pidana dan hukum
pidana internasional. Bahkan saya menyampaikan usul kepada Pemimpin Redaksi
KORAN SINDO untuk diselenggarakan focus group discussion (FGD) perihal topik
ini. Tujuannya agar bisa terjaring berbagai pendapat lain selain kami berdua
untuk kepentingan masa depan hukum pidana dan langkah KPK yang lebih pasti,
baik, dan berkeadilan.
Ada empat isu penting bagi
penulis terhadap respons Prof Eddy OS Hiariej atas artikel penulis pekan
lalu. Pertama, Pemerintah RI telah meratifikasi UNCAC 2003 dengan UU RI Nomor
7 tahun 2006. Selain itu, juga telah dipersiapkan sejak tahun 2010, RUU
Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3
telah direvisi dan unsur kerugian keuangan negara telah dihilangkan, lebih
ketentuan suap diutamakan.
Ketentuan Pasal 12 B dibenahi
seperti bunyi draf awal sebelum disetujui DPR RI, yaitu berlaku pembuktian
terbalik murni tidak dikaitkan dengan jabatan atau kewenangan sehingga tidak tumpang
tindih dengan Pasal 11 UU RI Nomor 31 tahun 1999, suap pasif. Dalam RUU
perubahan tersebut yang merupakan tindak lanjut ratifikasi UNCAC 2003 telah
dikriminalisasi, termasuk antara lain trading in influence, illicit
enrichment, dan surveillance.
Namun, sampai tulisan ini
diturunkan, ketentuan UNCAC 2003 vide RUU Perubahan UU Tipikor belum bisa
diber lakukan sebagai undang-undang ber hubung sistem hukum Indonesia
menganut “nonself-implementing legislation “ dan memiliki justifikasi
konstitusional Pasal 11 UUD 1945: (2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Ketentuan UUD 1945 tersebut
merupakan alas konstitusional berlakunya hukum internasional ke sistem hukum
nasional menjadi hukum positif. Kedua, Prof Eddy kurang teliti membaca
ketentuan konvensi internasional—UNCAC 2003 khusus Pasal 50 karena jelas
dinyatakan secara eksplisit dalam kalimat awal dari pasal aquo yang
menyatakan: “..each State Party shall,
to the extent permitted by the basic principles of its domestic legal system
and in accordance with the conditions prescribed by its domestic law, take
such measures as may be necessary, within its means to allow for the
appropriate use...and where it deems appropriate, special investigative
technique, such as electronic surveillance and undercover operations,...to
allow for the admissibility in court of evidence derive therein..”.
Kata kunci (key-words) dalam
ketentuan pasal aquo adalah permitted
by the basic principles of its domestic legal system...in accordance with the
conditions prescribed by the its domestic law, dan to allow for the
admissibility in court of evidence. Secara keseluruhan kalimat tersebut
memiliki saling keterkaitan/hubungan sebab akibat. Jika tindakan penyadapan
tidak dilakukan secara benar dan apa lagi belum didasarkan pada suatu UU Penyadapan
ter sen diri atau UU KPK tidak direvisi memasukkan hukum acara penyadapan,
maka tindakan penyadapan dan OTT KPK mengandung cacat hukum dan batal demi
hukum (van rechtswege nieteg).
Akibatnya, bukti-bukti yang
diperoleh dari dan/atau berasal dari penyadapan dan OTT KPK tidak bisa
dijadikan bukti di muka pengadilan atau inadmissible
evidence. Atas dasar hal tersebut berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP, maka
penyadapan yang dilakukan melalui pengintaian dan OTT KPK sebelum UNCAC 2003
berlaku sebagai hukum positif, tidak memiliki alas hukum yang sah. Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa penyadapan tanpa tata cara yang benar hanya
cukup dengan SOPKPK dilanjutkan dengan pengintaian dan OTT KPK selama ini
dalam praktik melanggar, baik hukum nasional maupun hukum internasional.
Dua kekeliruan Prof Eddy dalam
menyikapi ketentuan Pasal 50 UNCAC 2003 Bab IV Kerjasama Internasional, yaitu
pertama, bahwa ratifikasi UNCAC 2003 dipandang ketentuan berlaku serta-merta
menjadi hukum positif. Konten pasal aquo itu sendiri justru memberikan sinyal
bahwa prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan tindakan penyadapan wajib dikedepankan
prinsip due process of law, prinsip
praduga tak bersalah dan the right to
privacy setiap orang agar tetap dilindungi, bukan sebaliknya. Kalimat
efektivitas pada awal kalimat Pasal 50 UNCAC 2003 adalah merupakan tujuan
bukan sarana untuk mencapai tujuan.
Prinsip kehati-hatian dan
perlindungan hak asasi tersangka juga dicantumkan dalam Pasal 65 Bab VII
UNCAC 2003 tentang Ketentuan Penutup yang menyatakan: 1. Each State Party shall take the necessary measures, including
legislative and administrative measures, in accordance with fundamental
principles of its domestic law, to ensure the implementation of its
obligation under this Convention. 2. Each State Party may adop t more strict
or severe measures than those provided for by this Convention for preventing
and combating corruption.
Dua ayat dari Pasal 65 menegaskan,
pertama, bahwa setiap negara peserta/peratifikasi kon vensi ini wajib (shall)
melakukan langkah legislasi dan administrasi sejalan dengan prinsip
fundamental dari hukum nasional masing-masing untuk menjamin implementasi
kewajiban yang diletakkan dalam konvensi. Kedua, setiap negara
peserta/peratifikasi boleh (may) mengadopsi tindakan yang tegas atau keras
dari apa yang diperbolehkan konvensi untuk tujuan pencegahan dan penindakan
korupsi, tetapi tetap harus didasarkan pada alas hukum yang sah.
Dua kata kunci dalam setiap
perjanjian internasional yang penulis ketahui, yaitu penggunaan kalimat
“shall “ dan “may “atau “shall adopt“ dan “shall consider adopting“. Dalam
praktik negosiasi, draf suatu konvensi perdebatan mengenai kalimat-kalimat
tersebut telah menyita banyak waktu dan energi anggota delegasi karena
merupakan kalimat yang strategis dan berdampak signifikan bagi kepentingan
setiap negara peserta konvensi. Setiap konvensi inter nasional dipastikan
meng guna kan bahasa diplomatik (diplomatic
language). Setiap keputusan dalam negosiasi tidak bersifat unilateral,
melainkan hasil negosiasi antarnegara yang berasal dari berbagai sistem hukum
yang berbeda-beda untuk tujuan menemukan “common denominator“ di antara
peserta konvensi.
Termasuk juga Pemerintah
Indonesia yang ketika itu diwakili penulis sebagai ketua delegasi pemri (alternate)
pembahasan sidang negosiasi draft text UNCAC 2003. Intinya, ketentuan setiap
konvensi internasional mengikat penuh terhadap setiap negara peratifikasi,
tetapi implementasi konvensi sangat tergantung pada sistem hukum yang berlaku
di masing-masing negara.
Ketiga, Prof Eddy kurang
memahami bahwa UNCAC 2003 ter ma - suk “reserved convention“ yang berbeda
dengan Statuta ICC (1998) yang merupakan “repressive convention“ dan “nonreserved
convention“. Hal ini di tegaskan dalam Bab VII Klausula Penutup Pasal 67 para
3 yang menyatakan: “this Con vention is subject to ratification, acceptance
or approval...“. Dalam posisi UNCAC 2003 dengan karakter yang non repressive
measures dan konvensi yang boleh direservasi negara peserta menunjukkan bahwa
dasar kekuatan mengikat UNCAC 2003 sangat lemah terutama ditinjau dari aspek
hubungan kerja sama internasional.
Selain itu, harus diketahui
bahwa negara peserta UNCAC 2003 telah sepakat untuk melaksanakan two-pronged
approach dalam pemberantasan korupsi, yaitu pencegahan (BAB yang ditempatkan
pada Bab II dan kriminalisasi dan penegakan hukum pada Bab III. Ber dasar kan
kesepakatan tersebut, maka pola penindakan (penegakan hukum) bukan lagi
andalan utama dalam pemberantasan korupsi. Pola pendekatan inilah yang dianut
dalam UU KPK khusus Pasal 6 sampai dengan Pasal 12, UU KPK karena dipercaya
bahwa pencegahan yang diabaikan berarti menambah/memperberat beban penindakan
karena selalu tidak terbangun sistem penyelenggaraan negara yang sehat dan
bebas KKN.
Contoh China sejak tahun 2010
telah mulai membangun sistem pencegahan yang andal didukung dengan teknologi
IT canggih dengan mengambil model Korea Selatan dan KPK dibubarkan dan
diganti Ombudsman serta fungsi penyidikan dan penuntutan dikembalikan ke
instansi masing-masing.
Keempat, soal analogi, tidak
ada komentar atas penjelasan Prof Eddy mengenai pro atau kontra pada analogi
yang membentuk tindak pidana. Karena Prof Eddy sendiri telah menyatakan
sikapnya sebagaimana telah diuraikan dalam artikelnya. Dalam praktik
peradilan di Indonesia sepanjang yang diketahui penulis, telah ada upaya
menggunakan tafsir analogi dalam kasus persetubuhan dengan janji untuk
dikawin dan tidak terjadi perkawinan sehingga atas inisiatif Hakim Bismar
Siregar, perbuatan laki-laki yang bersangkutan digolongkan ke dalam delik
penipuan di mana kalimat “barang” dipersamakan dengan “keperawanan” dari
korban.
Namun, kemudian MA RI telah
menolak dan membatalkan putusan Hakim Bismar sehingga belum ada yurisprudensi
tetap MA RI yang menghalalkan tafsir analogi. Fokus diskusi selama ini dengan
Prof Eddy adalah tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 12 UU KPK khusus tentang
wewenang penyadapan dan OTT KPK bukan tafsir terhadap ketentuan tentang
penyadapan yang dilanjutkan dengan tin - dak an OTT KPK.
Prof Eddy juga mengkritisi
penulis mengenai wewenang KPK melakukan penyadapan tanpa mengatur tentang
tata caranya. Lazim dan telah diatur dalam UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa pelaksanaan teknis diatur di
dalam antara lain peraturan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar