Minggu, 22 Oktober 2017

Menjunjung Bahasa Persatuan

Menjunjung Bahasa Persatuan
P Ari Subagyo ;   Penggulat Linguistik;
Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 21 Oktober 2017



                                                           
”Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Demikian ikrar ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Setelah 89 tahun, ikrar ketiga itu perlu kita refleksikan.

Sumpah Pemuda dirumuskan dalam Kongres Pemuda I, 30 April-2 Mei 1926, di Batavia. Berkenaan dengan ikrar ketiga, mencuat dua hal penting. Pertama, ihwal nama ”bahasa Indonesia” yang sebelumnya tidak dikenal. Kedua, pernyataan ”menjunjung bahasa persatuan” yang mendahului nama ”bahasa Indonesia”.

Ihwal penamaan bahasa Indonesia—bukan bahasa Melayu—banyak tulisan telah menyejarahkannya. Namun, tentang ”menjunjung bahasa persatuan” inilah soal yang penting kita refleksikan di tengah suasana menegara dan membangsa Indonesia termutakhir.

Pembelokan ikrar

Pada penggal sejarah bangsa ini, ikrar ketiga Sumpah Pemuda pernah dibelokkan menjadi, ”Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Telah terjadi salin-tempel (copy-paste) dari dua ikrar sebelumnya. Akibatnya, ”menjunjung bahasa persatuan” berbelok menjadi ”mengaku berbahasa satu”.

Apa maksud pembelokan itu? Bisa jadi sekadar memudahkan penghafalan, terutama bagi siswa sekolah dasar. Toh yang dipentingkan satunya tanah air, bangsa, dan bahasa sehingga pernyataan sebelumnya tak dianggap penting. Namun, bisa jadi maksudnya tidak main-main—bahkan politis—meskipun dilandasi niat mulia menyegerakan bersatunya Indonesia.

Yang pasti, akibatnya sungguh tak main-main. Setelah puluhan tahun ikrar dihafal, dibatinkan, dan dihidupi, tersingkirlah ratusan bahasa daerah—yang identik dengan bahasa ibu—karena penuturnya tidak (sudi) mengakui. Yang diakui hanya bahasa Indonesia.

Ratusan bahasa daerah makin terasa tak berguna. Pamornya jatuh, gengsinya runtuh. Coba tengok sejumlah sinetron di layar kaca Indonesia: bahasa daerah diperlakukan kurang senonoh, semata-mata untuk menonjolkan kekurangterpelajaran atau ketertinggalan.

Masih untung bahasa daerah tak dicap sebagai tanda kehendak memisahkan diri. Kenyataan bahwa bahasa ibu penting untuk pendidikan di kelas rendah juga kian terlupakan. Kebijakan tentang penggunaan bahasa ibu sudah dibuat, tetapi sulit dilaksanakan sebab guru tidak lagi mampu berbahasa ibu, atau guru menuturkan bahasa ibu yang berbeda dari siswa-siswinya.

Pembelokan tersebut jelas-jelas mengabaikan harapan pencetus Sumpah Pemuda. Pernyataan ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” memberikan ruang bagi bahasa Indonesia—yang masih baru—untuk meng-ada dan berkembang; di pihak lain menjamin terus hidupnya ratusan bahasa daerah di Nusantara.

Pernyataan itu membuktikan kepiawaian Angkatan 1928 yang oleh YB Mangunwijaya disebut angkatan paling cerdas dan berkualitas dalam sejarah bangsa ini. Yamin, Soegondo, Soenario, WR Soepratman, Djoko Marsaid, Amir Sjarifuddin, Sarmidi, dan sebayanya merupakan generasi pertama kaum pribumi terdidik, buah politik etis Belanda yang ternyata menjadi senjata makan tuan.

Angkatan 1928 memilih strategi diplomatik dan meninggalkan strategi perang sejak abad ke-17, 18, dan 19 yang terbukti tak berhasil. Sejarawan Sartono Kartodirdjo mencatat, visi kebangsaan Angkatan 1928 merupakan perkembangan penting dari angkatan sebelumnya (Angkatan 1908, pendiri Boedi Oetomo) yang masih berkutat pada nasionalisme kesukuan dan keagamaan.

Adapun teks Sumpah Pemuda—sebagai strategi diplomatik—dikagumi penyair Sutardji Calzoum Bachri karena memenuhi kaidah persesuaian bunyi, pengulangan, dan pilihan kata yang puitis. Isinya menyentuh rasa dan menggugah khayalan. Lewat puisi ”Sumpah Pemuda”, dihadirkan sosok tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia yang senyatanya belum ada.

Pembalikan ikrar

Ikrar ”menjunjung bahasa persatuan” menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam ”Seminar Politik Bahasa Nasional” (1975), bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan diembani fungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar sosial-budaya dan bahasa berbeda, serta alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya yang memiliki bahasa daerah yang berbeda.

Empat fungsi itu diawali kata ”lambang” dan ”alat”. Keduanya mengandaikan bahasa Indonesia sebagai benda mati: ada dan meng-ada-nya bergantung pada penggunanya. Sampai detik ini, empat fungsi tersebut sudah dan terus mewujud. Bahasa Indonesia berhasil menjadi alat perjuangan yang menyatukan tekad para pendiri bangsa memerdekakan Indonesia. Pekik ”Merdeka!” dan ”Sekali merdeka, tetap merdeka!”, lagu ”Indonesia Raya”, serta kemampuan Indonesia menyelenggarakan pemerintahan selama 72 tahun membuktikan keberhasilan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Persoalan justru mencuat belakangan. Penjajahan politis sudah terlewati, tetapi kita malah saling menjajah lewat perkakas teknologi. Tengoklah silang pendapat di media sosial. Ada ribuan ujaran kebencian yang kasar dan hampa budi. Inikah buah 89 tahun Sumpah Pemuda?

Angkatan 1928 berhak marah sebab ikrar ”menjunjung bahasa persatuan” tak sekadar dibelokkan, tetapi dibalikkan: bahasa Indonesia justru menjadi bahasa pemecah belah persatuan. Haruskah bahasa Indonesia meratapi takdirnya sebagai bilah-bilah penusuk sesama anak bangsa?

Kita harus berani menanggalkan dan meninggalkan ego masing-masing, lalu berpikir dan bertindak cerdas seperti Yamin dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar