Menjunjung
Bahasa Persatuan
P Ari Subagyo ; Penggulat Linguistik;
Dekan Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
|
KOMPAS,
21 Oktober
2017
”Kami, putra dan putri Indonesia,
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Demikian ikrar ketiga Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. Setelah 89 tahun, ikrar ketiga itu perlu kita
refleksikan.
Sumpah Pemuda dirumuskan dalam
Kongres Pemuda I, 30 April-2 Mei 1926, di Batavia. Berkenaan dengan ikrar
ketiga, mencuat dua hal penting. Pertama, ihwal nama ”bahasa Indonesia” yang
sebelumnya tidak dikenal. Kedua, pernyataan ”menjunjung bahasa persatuan”
yang mendahului nama ”bahasa Indonesia”.
Ihwal penamaan bahasa
Indonesia—bukan bahasa Melayu—banyak tulisan telah menyejarahkannya. Namun,
tentang ”menjunjung bahasa persatuan” inilah soal yang penting kita
refleksikan di tengah suasana menegara dan membangsa Indonesia termutakhir.
Pembelokan ikrar
Pada penggal sejarah bangsa
ini, ikrar ketiga Sumpah Pemuda pernah dibelokkan menjadi, ”Kami, putra dan
putri Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia.” Telah terjadi
salin-tempel (copy-paste) dari dua ikrar sebelumnya. Akibatnya, ”menjunjung
bahasa persatuan” berbelok menjadi ”mengaku berbahasa satu”.
Apa maksud pembelokan itu? Bisa
jadi sekadar memudahkan penghafalan, terutama bagi siswa sekolah dasar. Toh
yang dipentingkan satunya tanah air, bangsa, dan bahasa sehingga pernyataan
sebelumnya tak dianggap penting. Namun, bisa jadi maksudnya tidak
main-main—bahkan politis—meskipun dilandasi niat mulia menyegerakan
bersatunya Indonesia.
Yang pasti, akibatnya sungguh
tak main-main. Setelah puluhan tahun ikrar dihafal, dibatinkan, dan dihidupi,
tersingkirlah ratusan bahasa daerah—yang identik dengan bahasa ibu—karena
penuturnya tidak (sudi) mengakui. Yang diakui hanya bahasa Indonesia.
Ratusan bahasa daerah makin
terasa tak berguna. Pamornya jatuh, gengsinya runtuh. Coba tengok sejumlah
sinetron di layar kaca Indonesia: bahasa daerah diperlakukan kurang senonoh,
semata-mata untuk menonjolkan kekurangterpelajaran atau ketertinggalan.
Masih untung bahasa daerah tak
dicap sebagai tanda kehendak memisahkan diri. Kenyataan bahwa bahasa ibu
penting untuk pendidikan di kelas rendah juga kian terlupakan. Kebijakan
tentang penggunaan bahasa ibu sudah dibuat, tetapi sulit dilaksanakan sebab
guru tidak lagi mampu berbahasa ibu, atau guru menuturkan bahasa ibu yang
berbeda dari siswa-siswinya.
Pembelokan tersebut jelas-jelas
mengabaikan harapan pencetus Sumpah Pemuda. Pernyataan ”menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia” memberikan ruang bagi bahasa Indonesia—yang
masih baru—untuk meng-ada dan berkembang; di pihak lain menjamin terus
hidupnya ratusan bahasa daerah di Nusantara.
Pernyataan itu membuktikan
kepiawaian Angkatan 1928 yang oleh YB Mangunwijaya disebut angkatan paling
cerdas dan berkualitas dalam sejarah bangsa ini. Yamin, Soegondo, Soenario,
WR Soepratman, Djoko Marsaid, Amir Sjarifuddin, Sarmidi, dan sebayanya
merupakan generasi pertama kaum pribumi terdidik, buah politik etis Belanda
yang ternyata menjadi senjata makan tuan.
Angkatan 1928 memilih strategi
diplomatik dan meninggalkan strategi perang sejak abad ke-17, 18, dan 19 yang
terbukti tak berhasil. Sejarawan Sartono Kartodirdjo mencatat, visi
kebangsaan Angkatan 1928 merupakan perkembangan penting dari angkatan
sebelumnya (Angkatan 1908, pendiri Boedi Oetomo) yang masih berkutat pada
nasionalisme kesukuan dan keagamaan.
Adapun teks Sumpah
Pemuda—sebagai strategi diplomatik—dikagumi penyair Sutardji Calzoum Bachri
karena memenuhi kaidah persesuaian bunyi, pengulangan, dan pilihan kata yang
puitis. Isinya menyentuh rasa dan menggugah khayalan. Lewat puisi ”Sumpah
Pemuda”, dihadirkan sosok tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia yang
senyatanya belum ada.
Pembalikan ikrar
Ikrar ”menjunjung bahasa
persatuan” menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dalam
”Seminar Politik Bahasa Nasional” (1975), bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan diembani fungsi sebagai lambang kebanggaan nasional, lambang
identitas nasional, alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar
sosial-budaya dan bahasa berbeda, serta alat perhubungan antardaerah dan
antarbudaya yang memiliki bahasa daerah yang berbeda.
Empat fungsi itu diawali kata
”lambang” dan ”alat”. Keduanya mengandaikan bahasa Indonesia sebagai benda
mati: ada dan meng-ada-nya bergantung pada penggunanya. Sampai detik ini,
empat fungsi tersebut sudah dan terus mewujud. Bahasa Indonesia berhasil
menjadi alat perjuangan yang menyatukan tekad para pendiri bangsa
memerdekakan Indonesia. Pekik ”Merdeka!” dan ”Sekali merdeka, tetap
merdeka!”, lagu ”Indonesia Raya”, serta kemampuan Indonesia menyelenggarakan
pemerintahan selama 72 tahun membuktikan keberhasilan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan.
Persoalan justru mencuat
belakangan. Penjajahan politis sudah terlewati, tetapi kita malah saling
menjajah lewat perkakas teknologi. Tengoklah silang pendapat di media sosial.
Ada ribuan ujaran kebencian yang kasar dan hampa budi. Inikah buah 89 tahun
Sumpah Pemuda?
Angkatan 1928 berhak marah
sebab ikrar ”menjunjung bahasa persatuan” tak sekadar dibelokkan, tetapi
dibalikkan: bahasa Indonesia justru menjadi bahasa pemecah belah persatuan.
Haruskah bahasa Indonesia meratapi takdirnya sebagai bilah-bilah penusuk
sesama anak bangsa?
Kita harus berani menanggalkan
dan meninggalkan ego masing-masing, lalu berpikir dan bertindak cerdas
seperti Yamin dkk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar