Senin, 16 Oktober 2017

Mengurai Tekanan Fiskal

Mengurai Tekanan Fiskal
A Prasetyantoko  ;   Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
                                                      KOMPAS, 16 Oktober 2017



                                                           
Memasuki kuartal IV-2017, situasi keuangan negara terlihat ketat. Penerimaan pajak agak jauh dari target. Di sisi lain, rencana pengeluaran terus meningkat seiring dengan ekspansi pembangunan infrastruktur. Hingga akhir Agustus, seperti dirilis Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan pajak baru sebesar Rp 686 triliun atau sekitar 53 persen dari target Rp 1.283 triliun. Kinerja ini sudah lebih baik daripada pencapaian tahun lalu dengan peningkatan 7,5 persen.

Realisasi pengeluaran dari pos pembangunan infrastruktur fisik, menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada akhir Agustus mencapai 46,8 persen dari total anggaran infrastruktur di bawah Kementerian PUPR sebesar Rp 104,3 triliun. Pencapaian tersebut lebih tinggi sekitar 5 persen daripada tahun lalu.

Sementara itu, defisit anggaran pada periode yang sama mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen terhadap produk domestik bruto. Lagi-lagi, angka tersebut lebih baik atau turun dibandingkan dengan defisit pada periode yang sama tahun lalu, yaitu 2,09 persen.

Meski sampai Agustus situasi anggaran tampak aman, dalam tiga bulan ke depan diperkirakan situasinya akan berubah drastis. Pola penerimaan biasanya melambat pada akhir tahun. Sebaliknya, pengeluaran justru melonjak. Hingga akhir tahun nanti, defisit anggaran diprediksi bisa mencapai 2,9 persen.

Seperti kita ketahui, angka besaran defisit yang diperbolehkan dalam undang-undang adalah 3 persen. Dengan kata lain, ada risiko pemerintah akan melanggar undang-undang. Sesuatu yang harus dihindari memasuki tahun keempat pemerintahan.

Benar bahwa hampir semua indikator kinerja keuangan pemerintah menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, perbaikan tak mencukupi untuk menopang kenaikan kebutuhan. Situasi keuangan yang sedikit membaik juga tak mampu mengimbangi ambisi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur fisik. Inilah situasi baik saja tak lagi cukup. Memperhatikan situasi ini, memang diperlukan cara baru yang tak biasa (nonkonvensional) guna keluar dari keadaan yang menyulitkan ini meski harus tetap penuh kehati-hatian.

Saling mengunci

Persoalan ekonomi terkadang pelik karena digerakkan oleh begitu banyak faktor yang saling terkait (mengunci) satu sama lain. Itulah mengapa mengubah keseimbangan perekonomian tak bisa drastis, tetapi harus bertahap dan sistematis. Di situlah terkadang perspektif teknokratis berbenturan dengan pendekatan politis yang cenderung tak sabar.

Dari sisi teknokratis, berbagai cara tetap harus dilakukan guna memastikan defisit berada pada batas aman. Menuju akhir tahun, masih ada potensi penambahan penerimaan dari pajak ekspor minyak dan gas bumi akibat kenaikan harga minyak dunia. Namun, efeknya boleh dibilang tak berarti. Nominal penambahan penerimaan ini tak seberapa dibandingkan penambahan pengeluaran. Selain itu, kenaikan harga minyak juga akan menekan neraca keuangan, khususnya PT Pertamina (Persero), akibat kebijakan satu harga bahan bakar minyak di seluruh Indonesia.

Menghadapi situasi dilematis tersebut, solusi klasik yang tersisa adalah menambah utang melalui penerbitan surat utang negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah menyampaikan skenario tersebut mengingat defisit akan naik dari Rp 320 triliun menjadi sekitar Rp 370 triliun atau ada tambahan defisit sekitar Rp 50 triliun.

Ekspektasi defisit anggaran sebesar 2,9 persen muncul karena ada tambahan utang sekitar Rp 40 triliun-Rp 50 triliun guna menutup tambahan defisit.

Tekanan fiskal bisa ditangani dengan pendekatan teknokratis keuangan, tetapi ruangnya sangat terbatas. Untuk itu perlu dukungan dari sisi politis. Konkretnya adalah dengan mengelola berbagai proyek besar agar beban fiskalnya jatuh di tahun anggaran berikutnya. Pada akhirnya, target pembangunan infrastruktur yang terlalu ambisius juga harus dikoreksi agar bisa lebih berkelanjutan.

Dulu, banyak pengamat mengkritik pemerintah yang lambat membangun infrastruktur. Kini banyak pula kritik terhadap kebijakan yang terlalu agresif. Tentu saja ada unsur politis dalam setiap debat publik. Namun, tidak dapat dimungkiri perlunya keseimbangan dalam pembangunan (infrastruktur) ekonomi. Untuk itu, diperlukan perangkat teknokratis guna memastikan risikonya bisa dikelola.

Meskipun arahnya sudah benar, kalkulasi teknis dengan pendekatan teknokratis wajib dilakukan. Jika tidak, justru bisa berdampak kontraproduktif, apalagi menjelang tahun politik.

Jangan beri ruang terlalu lebar serta amunisi terlalu banyak bagi pihak oposisi untuk menyerang. Meski legitimasi pembangunan infrastruktur itu sendiri sangat valid, jangan biarkan legitimasi pemerintahlah yang akhirnya justru digerogoti. Taruhannya akan terlalu besar menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar