Machiavellianisme
Pascakebenaran
Aditya Permana ; Departemen Hubungan
Internasional
Universitas Bina
Nusantara Jakarta
|
REPUBLIKA,
25 Oktober
2017
Pidato pelantikan Gubernur baru
Jakarta, Anies Baswedan, 16 Oktober 2017 menimbulkan polemik karena dianggap
bertendensi rasis, fasis, dan berpotensi memecah-belah. Dalam asumsi ini,
salah satu yang dipolemisasi adalah integritas moral Gubernur Anies yang
dianggap berpotensi merusak sendi-sendi kebhinnekaan dan toleransi yang
demikian rapuh dan sedang diperjuangkan mati-matian oleh kalangan nasionalis.
Pidato tersebut juga memunculkan polarisasi antara kalangan yang menapaki
ideal politik Platonis-Aristotelian (yang tidak memisahkan etika dan politik)
dan kalangan realis politik yang tidak mempertimbangkan etika dan moralitas
sebagai kondisi politik real – setidaknya dari pengamatan sekilas dalam media
sosial dan group-group berplatform digital.
Pidato tersebut juga menjadi
sesuatu yang unik. Dalam sejarah pelantikan gubernur di Indonesia, amat
jarang terjadi pidato yang sedemikian politis – “presidensial”. Aspek politis
ini dapat dianggap sebagai kelanjutan dari konflik horizontal masa Pilkada
Jakarta sebelumnya, sekaligus dapat ditafsirkan sebagai sebuah pesan bagi
agenda lebih jauh di depan. Bukan rahasia apabila jabatan Gubernur DKI
Jakarta tak ubahnya batu loncatan politik menuju jenjang yang lebih tinggi.
Dalam kasus pidato Gubernur
Anies, tendensi ini muncul dalam kutipan-kutipan pepatah dari berbagai suku
bangsa di Indonesia, Batak hingga Minahasa. Secara semiotis kutipan-kutipan
ini dapat dimaknai sebagai upaya “menenun” seluruh entitas kebangsaan
Indonesia menjadi satu. Dengan ungkapan lain, pidato tersebut merefleksikan
kehendak untuk merangkul populi. Namun, niat ini, segera batal dengan untaian
teks yang diklaim memuat penggunaan istilah “pribumi” yang justru
melestarikan warisan era kolonial yang ingin dihapus.
Sudah bukan rahasia pula jika
politik Indonesia adalah politik dagang; politik yang ditelan oleh kuasa
kapital dan dijalankan dengan logika dagang.
Ada demand dan supply dalam transaksi-transaksi politik yang memihak
pasar dalam situasi global yang digerakkan oleh liberalisasi ekonomi yang
luar biasa. Dari sudut pandang hubungan internasional, politik domestik tidak
mungkin dibicarakan di luar interkonektivitasnya dari rezim globalisasi
ekonomi. Kemajuan pesat teknologi pula yang menjadikan batas-batas tiap kota
dalam suatu negara, bukan lagi hanya batas-batas antar negara, makin melebur.
Kondisi ini sering disebut
sebagai perluasan makna dari paradiplomasi (paradiplomacy), yakni aktivitas
yang merujuk pada pada hubungan internasional yang dilakukan oleh institusi
subnasional, regional, maupun lokal, untuk kepentingannya (Ivo Duchacek &
Soldatos, 1990). Terlebih dalam kondisi otonomi daerah di Indonesia, dalam UU
Pasal 37 1999 disebutkan bahwa aktor hubungan internasional dapat berupa
pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga
negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau warga negara. Artinya sebuah kota pun dapat menjadi
aktor hubungan internasional.
Kaitannya adalah, kita tidak
dapat memandang pidato kontroversial Gubernur Anies hanya sebagai upaya
strategi konsolidasi siapapun yang ia sebut sebagai “pribumi” dan peliyanan
(otherization) yang lain, atau sebagai upaya konsolidasi
konstituen-konstituennya, atau sebagai batu loncatan menuju 2019, melainkan
pula sebagai konsolidasi kapital. Kita semua mahfum bahwa tidak ada negara di
dunia ini yang dapat merealisasikan cita-cita konstitusionalnya tanpa
terlibat dalam arus kapital global, entah melalui pasar saham global, bantuan
moneter, dan lain-lain. Jakarta adalah barometer Indonesia, tempat di mana 70
persen arus kapital nasional berputar. Kita mahfum isu-isu apa yang diserang
Anies saat kampanye Pilgub DKI. Semua berhubungan dengan arus kapital global,
langsung maupun tidak.
Dari pemahaman mengenai
“keharusan” untuk terlibat dalam arus kapital global, kita dapat mengerti
bahwa kondisi yang stabil pada suatu bangsa menjadi syarat penting bagi
keterlibatan itu. Stabilitas dapat dicapai salah satunya adalah dengan
merangkul populi. Populi yang disinggung di sini merepresentasikan
“mayoritas”, yang dalam konteks kita ini dikaitkan dengan “pribumi”.
Namun, politik yang dijalankan
belakangan ini seolah-olah saja populis. Akan tetapi sesungguhnya populi
sendiri tidak pernah mengetahui lobi-lobi di balik tindakan-tindakan politik
para elit. Populi menjadi tidak berbeda dengan komoditi, yakni objek yang
memiliki daya tukar untuk ditransaksikan di pasar politik. Namun demikian
kekuatan populi adalah pada kuantitas (jumlah).
Berbeda dengan populasi yang
menggambarkan totalitas penduduk yang mendiami suatu teritori. Namun
“perbedaan epistemologis” lah yang akan membuat populi menjadi kerumunan
(mob), massa, atau publik. Di sisi lain, populi acap menjelma menjadi silent
majority yang misterius, yang (syukur-syukur) baru bangkit dari kubur
pasifisme politiknya ketika hari pemilihan tiba.
Merangkul dan memuaskan populi
merupakan cara paling realistis untuk mencapai tujuan kekuasaan. Problemnya
adalah bagaimana cara melakukannya. Dalam konteks ini, mungkin kita dapat
menafsirkan pidato kontroversial Gubernur Anies tersebut sebagai strategi
politik yang “wajar” – jika kita familiar dengan Realpolitik Machiavellian.
Sebelum menuai kesalahpahaman
lebih jauh – tuduhan bahwa Gubernur Anies adalah pemimpin yang anti-moral dan
menghalalkan segala cara – ada baiknya kita membaca ulang Machiavellianisme
dari sudut pandang lain.
Menafsir ulang Machiavelli: amoral atau immoral?
Machiavelli, dengan magnum
opus-nya berjudul The Prince (Sang Pangeran), sering dianggap mengajarkan
praktik politik yang oportunis, tidak mengindahkan moralitas, agama, dan
hanya berfokus kepada bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan
dengan menghalalkan segala cara. The Prince lantas menjadi semacam “kitab
suci” politik realis (Realpolitik), sebagai antitesis bagi “politik ideal” yang
tidak memisahkan etika dan politik ala Platon atau Aristoteles.
Hitler sering dianggap sebagai
figur yang mampu merealisasikan visi Realpolitik Machiavellian secara
efektif, sehingga pemerintahan totalitarian model Führerprinzip Hitler sering
diidentikkan dengan praktik politik Machiavellian. Nyatanya Machiavelli bukan
praktisi politik yang mumpuni. Ia bahkan gagal merayu keluarga Medici di
Florence abad-16 agar mendapatkan kembali reputasi dan posisinya di keluarga
merchant ultra-makmur tersebut, meskipun The Prince dipersembahkan sebagai
dedikasi Machiavelli kepada keluarga Medici.
The Prince tentunya tidak
muncul dari ruang kosong. Namun, tidak banyak yang bersedia memahami bahwa
The Prince muncul dalam kondisi kompleksitas konflik politik, era peperangan
tak berkesudahan di antara polis-polis di semenanjung Italia abad 16-17,
kemunculan republik-republik baru, pencaplokan teritori, politisasi agama,
sekularisme yang menggerogoti sendi-sendi sosio-kultural masyarakat abad
pertengahan, kemunculan kelas merchant makmur yang mendominasi kehidupan
sosio-politik-ekonomi, ancaman aneksasi dari negara-negara lain, dan
seterusnya.
Pendek kata, chaos. Tak banyak
juga yang bersedia mempertimbangkan Machiavelli sebagai seorang humanis yang
muncul di era baru Eropa yang lebih bebas. Di sisi lain, di bawah
bayang-bayang immoralitas politiknya, para pemikir seperti Baruch Spinoza,
Denis Diderot, dan Jean-Jacques Rousseau justru meninggikan Machiavelli
sebagai seorang republikan tulen. Di sisi lain pula, muncul penafsiran The
Prince sebagai satire yang menunjukkan kekecewaan Machiavelli terhadap
terhadap moralitas penguasa dan pemimpin agama waktu itu.
Pembacaan Machiavellianisme
dari sudut pandang yang penulis tawarkan ini ada baiknya dimulai dari
pembahasan mengenai dua aspek penting yang menjadi tulang punggung The
Prince, yakni mengenai virtù dan fortuna. Virtù sederhananya adalah
“prudence” (kehati-hatian), “prowess” (kecakapan), dan “capability”
(kesanggupan) secara teknis-pragmatis untuk mengatur dan menaklukkan fortuna.
Fortuna sendiri adalah daya alamiah tak terduga, kesempatan untuk dimainkan
dalam percaturan kekuasaan.
Gagasan Machiavelli bahwa
fortuna memberi materi untuk dibentuk oleh virtù sangat Aristotelian. Namun
Machiavelli mengklaim dirinya anti-Aristotelianisme. Terkait hubungan etika
dan politik, dalam realisasi eudaimonia (kehidupan yang bahagia dan bermutu),
Aristoteles menekankan virtue atau keutamaan dalam dua aspek: intelektual dan
moral.
Cara pandang terhadap etika
secara fundamental dapat dibedakan menjadi dua: apakah keutamaan dipandang
sebagai tujuan atau sarana. Manusia berkeutamaan Aristotelian adalah mereka
yang menjadikan keutamaan tertinggi (keutamaan intelektual) sebagai tujuan,
dengan keutamaan-keutamaan lain (keutamaan praktis) sebagai sarana meraih
tujuan. Namun bagi Machiavelli, tujuan kekuasaan adalah kekuasaan itu
sendiri, yakni pemenuhan hasrat untuk berkuasa.
Virtù Machiavellian bukanlah
kapasitas untuk menjadi bijaksana, melainkan keutamaan instrumental atau
keutamaan praktis. Virtù dalam bahasa Latin berakar dari kata vir: laki-laki,
yang di dalamnya mengandung karakter ketegasan, keberanian, inisiatif,
ketabahan, kemampuan memprediksi apa yang akan terjadi di depan, kemampuan
beradaptasi, kebengisan, dan kebesaran jiwa, bersamaan dengan élan untuk
menampakkan semua kualitas itu atau virtuositas (McIntosh, 1984). Secara
awam, virtuositas diartikan sebagai kelihaian dalam hal teknis, penguasaan
teknis atas suatu alat sebagai sarana aktualisasi kita. Istilah ini terutama
dipakai dalam bidang seni dan lebih spesifik lagi seni pertunjukan
(performance art). Michaelangelo adalah virtuoso seni pahat dan lukis,
Niccolò Paganini adalah virtuoso violin.
Dengan demikian Machiavelli
meyakinkan bahwa virtù tidak terkait dengan transendensi maupun justifikasi
moral. Dapat dipertimbangkan bahwa virtù adalah sesuatu yang amoral. Di sini
kita perlu membedakan istilah amoral dan immoral. Amoral diartikan sebagai
“tidak berhubungan dengan moral”, atau dengan kata lain, ekstra-moral, tidak
dapat dikenai justifikasi moral. Makan, misalnya, adalah perbuatan amoral.
Sedangkan immoral berarti “tidak bermoral, tidak mengindahkan kaidah moral
(pertimbangan baik dan buruk). Korupsi, misalnya.
Melalui ini menurut tafsiran
penulis, Machiavelli memutar balik prioritas etika Aristotelian: manusia yang
berkeutamaan adalah mereka yang mampu memakai kapasitas intelektualnya untuk
berkuasa, sehingga dia dapat menentukan moralitas (dalam arti standar baik
dan buruk) bagi rakyatnya. Yang baik bagi rakyat adalah, meminjam frasa
satire Juvenal, penyair Yunani-Romawi abad awal Masehi, panem et circenses
(roti dan sirkus): kenyang dan terhibur. Sedangkan yang baik bagi penguasa
adalah berkuasa. Namun dalam konteks ini Machiavelli memberikan rambu-rambu
tegas. Bagi penulis ini yang terpenting, yang justru banyak diabaikan orang
ketika membaca Machiavelli.
Berkuasa dan berjaya
Dalam banyak bagian di The
Prince, Machiavelli menekankan pentingnya berkuasa secara total, tetapi
usahakan berkuasa dengan agung dan jangan sampai dibenci atau dikutuk.
Machiavelli menganggap penting bahwa pangeran semestinya tidak sekedar
memperturutkan hasratnya, melainkan perlu menjaga reputasi diri dan
pemerintahannya. Itulah sebabnya Machiavelli menganggap penting seorang
pangeran jangan sampai dibenci rakyatnya. Berlawanan dengan pendapat umum
tentang Machiavelli, penulis menafsirkan bahwa Machiavelli justru
menganjurkan bahwa penguasa lebih baik dicintai daripada dibenci. Atau
setidaknya, ditakuti. Dalam The Prince, hal-hal semacam ini menjadi konten
yang penting (The Prince, Bab XV, XVII, XVIII, XIX, XXI).
Machiavelli tidak mengharapkan
pemenuhan hasrat berkuasa secara buta. Misalnya, ia mengatakan bahwa meskipun
seseorang menguasai suatu wilayah, ia “jangan agresif dan tamak terhadap harta
orang atau wanita-wanita mereka” (The Prince, 1961: 102). Pemenuhan hasrat
untuk berkuasa itu mudah, menurutnya. Yang sulit adalah bagaimana seseorang
berkuasa namun sekaligus jaya dan agung (glorious).
Machiavelli tidak menyarankan
seorang penguasa mengikuti cara Agathocles, anak tukang gerabah yang lihai
bertempur dan berkuasa menjadi tiran di Sirakusa (317-289 SM). Agathocles
mampu meraih kekuasaan karena kekejaman dan kebrutalannya. Namun kekuasaannya
lekas runtuh akibat pengkhianatan dan ketidakmampuan menahan brutalitasnya.
Ia kemudian dikenang sebagai pemimpin yang terkutuk.
Machiavelli mengatakan “tidak
dapat disebut sebagai lihai dan bijak untuk membunuhi rakyat, mengkhianati
teman, tidak dapat dipercaya, tak kenal belas kasihan, dan tidak religius []
…hal-hal ini dapat membuat seseorang berkuasa, namun tidak dapat menjadi
penguasa yang jaya dan agung” (The Prince, 1961: 63).
Untuk itu pangeran mesti
mengerti bagaimana bertindak layaknya singa dan, terutama, rubah.
Machiavelli, melalui kutipannya yang paling sohor, “seorang pangeran harus
cerdik seperti rubah dan bengis seperti singa”, menuntut pangeran menjadi
seorang penipu dan tukang muslihat ulung (great liar and deceiver) sekaligus
dapat kejam. Namun sejak politik lokal di ibukota kita sejauh ini tidak
menunjukkan tendensi kekerasan dan kekejaman “fisik” (bukan kekerasan
epistemik, kultural, dan sejenisnya), maka sisi “singa” Machiavellian ini
dapat sedikit diabaikan.
Bagi Machiaveli, secara natural
rakyat yang virtù-nya tipis mudah ditipu. Setiap penipu akan selalu menemukan
orang untuk ditipu (The Prince, 1961: 100). Alexander IV menjadi contoh
penipu ulung yang selalu berhasil mencapai apa yang ia inginkan. Untuk yang
dilakukannya, Machiavelli mengklaim Alexander IV sebagai master in the art
(The Prince, 1961: 100). Politik, dengan demikian, adalah seni menipu tanpa
terlihat sebagai penipu, alias seni muslihat.
Seni muslihat sangat penting
dalam rangka akuisisi dan mempertahankan kekuasaan. Pengertian muslihat
sendiri, menurut KBBI adalah “daya upaya atau siasat atau taktik (untuk
menjebak dan sebagainya).” Sedangkan dalam Bahasa Inggris, istilah deception
memiliki makna di antaranya sebagai “tindakan menyembunyikan kebenaran yang
dilakukan terutama untuk memperoleh keuntungan pribadi”, “trik atau skema
(jebakan) yang digunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau”, “kesalahan
yang menyesatkan”, atau “tindakan untuk membuat orang lain menerima hal-hal
yang tidak benar atau invalid sebagai benar dan valid”.
Muslihat acap diasosiasikan dengan
perbuatan yang melanggar moralitas karena kandungan dusta. Tidak ada Kitab
Suci manapun yang mengajarkan umatnya berdusta. Namun dalam pengertian yang
lain, muslihat dapat dilepaskan dari “beban moralnya”, yakni dengan
mengandaikannya sebagai strategi atau taktik dalam permainan. Namun sekali
lagi, seni menipu ini ektra-moral. Seni ini mengindikasikan watak yang
fleksibel (flexible disposition), terutama bagi penguasa baru yang dituntut
untuk (setidaknya untuk tampil) berkeyakinan, dermawan, baik, dan religius.
Momentum Machiavellian dalam era pascakebenaran
Beragam literatur, misalnya
Ralph Keyes (2004) mendefinisikan era pasca-kebenaran (post-truth era)
sebagai era melebur dan memudarnya batasan antara yang benar dan yang keliru,
kejujuran dan kebohongan, keaslian dan kepalsuan, kebenaran dan dusta, fiksi
dan nonfiksi. Dalam konteks politik, politik pasca-kebenaran, menurut Davies
(2016), mengandaikan adanya gerakan yang dipimpin oleh pemimpin populis yang
memanfaatkan adanya over-suplai fakta, banyaknya sumber informasi, metode
pengambilan data dengan beragam level kredibilitas, tergantung kepada pihak
mana yang membiayai studi dan bagaimana sampel yang eye-catching dipilih
sebagai responden. Semua diramu melalui media sosial, ranah di mana individu berhak
membentuk konsumsi media mereka sendiri melalui basis opini dan prasangka
pribadi.
Yang terjadi dalam era
pasca-kebenaran adalah fabrikasi ketidaktahuan/ketidakpedulian (the
fabrication of ignorance). Akuilah, sepanjang sejarah peradaban manusia, pernahkah
politik itu tanpa muslihat?
Kerumunan dan massa adalah
tipikal kuantitas dan kualitas orang yang paling mudah dimanipulasi atau
dikontrol dengan cara-cara muslihat. Dalam konteks ini, tanpa bermaksud
menuduhnya sebagai penipu, Gubernur Anies sedang memainkan strategi cerdas di
berbagai level permainan.
Untuk level terbawah, Anies
memainkan semiotika yang cerdik untuk merangkul populi. Ia sangat paham bahwa
bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat moralis. Sumber moralitas terbesar
bagi manusia Indonesia adalah primordialisme, dalam bentuk ikatan kesukuan,
ras, agama, dan bayangan mengenai kejayaan masa lalu nenek moyangnya. Ini
identitas dan simbol penting yang lezat untuk dikapitalisasi dan
dikomodifikasi sebagai alat kontrol.
Rakyat adalah mereka yang
kurang memiliki keutamaan-keutamaan dan akses langsung ke pusat kekuasaan.
Rakyat memiliki gradasi virtù yang tipis. Mereka hanya mampu menilai dari apa
yang tampak dan apa hasil yang diperoleh. Kata Machiavelli, “orang-orang
biasa selalu terkesan oleh penampakan-penampakan dan hasil-hasil”, karena
“umumnya orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat daripada apa yang
diusahakan, karena semua orang dalam posisi sebagai penonton, beberapa ingin
mendekati penguasa”, dan “semua orang melihat tampak seperti apa dirimu,
hanya sedikit yang betul-betul mengenalmu dengan dekat” (The Prince, 1961:
101).
Populi kelas menengah Jakarta
bukan kategori orang-orang yang kelaparan. Mereka hanya butuh sirkus.
Hiburan. Sesuatu yang mampu meyakinkan mereka bahwa kepentingan mereka, roti
dan sirkus, tidak terganggu.
Di tengah masyarakat yang
didominasi kelas menengah yang kenyang perutnya dan dikepung oleh
kemelimpah-ruahan barang konsumsi, politik macam apa yang diperjuangkan?
Menurut buku “Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat”, yang
diterbitkan Sekretariat Kabinet pemerintahan SBY, selama satu dekade
pemerintahannya SBY berhasil meningkatkan angka kelas menengah sebanyak 25
persen.
Mereka adalah kelompok yang
mengeluarkan uang untuk konsumsi harian minimal US$2 per hari, pemilik
kendaraan bermotor pribadi, penumpang pesawat terbang, pemilik telepon
genggam, pemilik komputer, serta pengakses internet. Bank Dunia mencatat
kelompok ini berjumlah 134 juta jiwa (data tahun 2012). Sampai detik ini jumlah
ini tidak berubah banyak. Artinya kelas menengah menempati status sebagai
kelompok mayoritas di Indonesia. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan apa
yang terjadi di level global.
Kelas menengah dianggap sebagai
kuasa global sekaligus kuasa pasar karena kelas ini merupakan kelas konsumen
aktif terbesar, terlepas dari apapun preferensi politik mereka. Apapun
preferensi politiknya, kelas menengah akan kembali mengonsumsi komoditi yang
ditawarkan di pasar. Kelas menengah yang memiliki “kuasa” semacam ini, ironisnya,
justru adalah kelas yang dituduh apatis dan apolitis.
Kelas ini dituduh egosentris,
hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan perjuangan kelas di bawahnya.
Bagi orang-orang yang tidak pernah lapar perutnya, kelaparan adalah sesuatu
yang tak terbayangkan. Ketika kelas ini bicara tentang kelaparan, mungkin itu
tidak lebih dari sekadar simulakrum. Ketika mereka membicarakan mengenai
penggusuran, penggusuran adalah soal klik “like”, “share”, atau komentar
seperlunya terhadap ketidakadilan yang dimunculkan melalui meme-meme
sosial-politik di media sosial.
'Trump effect': simulakrum politik
Dalam ranah pasca-kebenaran,
kita mulai familiar dengan istilah “Trump Effect”. Trump effect dalam konteks
ini didefinisikan sebagai omong kosong (bullshit) yang sangat efektif dalam
membentuk opini. Opini. Doxa.Bukan pengetahuan (episteme), bukan kebenaran
(aletheia). Di sini kebenaran bukan menjadi soal. Yang penting apakah
fabrikasi dusta yang dibungkus seolah-olah menjadi kebenaran itu laku dijual
atau tidak.
Dalam masyarakat yang kurang
terbiasa berpikir kritis, bermental kawanan, konservatif, dan dogmatis, tentu
kondisi ketika tak ada satu pun yang dapat dipegang dan dipercaya akan
menjadi momok mengerikan. Sedikit-banyak ini menjelaskan secara umum tendensi
kembalinya (atau bangkitnya) konservatifisme di Indonesia karena bagaimanapun
populi butuh pegangan. Anies dan Sandi mengisi celah ini dengan sempurna.
Moralitas pun menjadi semacam
komoditi untuk diperdagangkan. Ada demand dan supply.Sejak logika pasar
memiliki postulat akumulasi keuntungan, maka siapapun yang mampu menciptakan
simulakrum bahwa ada urgensi immoralitas yang perlu diselesaikan di negeri
ini akan memperoleh keuntungan terbesar. Baru-baru ini Trump memulai
kebijakan untuk mendeportasi keturunan Cina Indonesia yang melarikan diri ke
Amerika karena konflik Mei 1998.
Apakah ini berkaitan dengan
janji dalam kampanye politiknya yang ingin mengusir imigran dan kaum muslim
ataukah Trump terikat oleh janji kepada konstituen-konstituennya yang harus
ia penuhi sebagai syarat dirinya menjadi politikus sejati? Ataukah kebijakan
itu harus diambil untuk mempertahankan kepentingan nasional yang terancam
oleh kondisi arus kapital global yang melemahkan hegemoni Amerika? Dilema
yang serupa dapat kita lihat pula dalam pemerintahan Anies-Sandi yang mulai
berjalan ini.
Penutup
Sebagai negara yang secara
konstan disebut berada dalam “transisi menuju masyarakat demokratis”, kita
tidak pernah memiliki tradisi dan nilai-nilai demokrasi yang telah teruji.
Pidato kontroversial Gubernur Anies merupakan bagian dari proses dan dinamika
ini. Politik adalah ranah rasional. Bios politikos (kehidupan politis), dalam
tradisi Aristotelian, merupakan puncak rasionalitas manusia. Politik ideal
jalur Platonis-Aristotelian hingga Rawls tidak memisahkan etika dan praktik
politik sama-sama memiliki tendensi etis dengan rumusan mereka tentang
“keadilan”. Politik ideal jenis ini acap dikontraskan dengan realisme politik
Machiavellian.
Anies adalah aktor politik dan
politik itu rasional. Karena rasional, politik dapat memanipulasi hal-hal
yang sifatnya emosional dan sentimental, termasuk isu-isu ras, agama, etnis,
dan seterusnya; isu-isu yang semakin didalami justru akan semakin menunjukkan
bahwa kategorisasi sentimental-emosional makin tidak perlu dipersoalkan.
Namun karena watak emosi itu irrasional, maka apapun yang datang dari emosi
akan sulit dihadapi secara rasional. Barangkali, dalam tindakan-tindakan
politiknya, boleh jadi Gubernur Anies sedang mencoba membuat definisinya sendiri
tentang “keadilan”, membuat definisinya sendiri tentang “moralitas.”
Yang berbahaya bukan pidato
kontroversialnya, melainkan dampaknya ke orang-orang, terutama minoritas.
Dalam hal ini populi (“mayoritas”) lebih berbahaya bagi “yang lain” karena watak
dan virtuositas yang tipis. Dengan demikian Anies-Sandi harus menjamin bahwa
mereka harus dapat mengenyangkan perut populi dan menghibur mereka dengan
sirkus untuk membuat mereka terkendali.
Bagi Machiavellian,
menyenangkan populi adalah siasat politik yang cerdas untuk mengendalikan dan
menstabilkannya. Sebab, di luar gemuruh yang terjadi di lapisan masyarakat,
aktivitas-aktivitas transaksional di area yang tidak ternampak oleh mata awam
akan terus berlangsung. Kita hanya akan tahu perut kita kenyang, meski banyak
golongan yang tidak akan terhibur oleh sirkus politik ini.
Gubernur Anies sedang berusaha
mengkapitalisasi populi menjadi komoditi yang laku dijual di pasar politik.
Namun jika tidak waspada, beliau sendiri dapat menjadi komoditas politik –
atau lebih buruk lagi, etalase politik bagi aktivitas-aktivitas transaksional
di area yang tidak ternampak oleh mata awam populi. Mari kita kawal Jakarta
di bawah kepemimpinan Anies-Sandi sembari terus menaikkan kesadaran kita agar
tidak semata-mata menjadi golongan yang ignorant, yang termakan mentah-mentah
sirkus politik ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar