Api
Sumpah Pemuda
Yudi Latif ; Kepala UKP Pancasila
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Oktober 2017
SUMPAH Pemuda itu adalah tekad.
Tekad dari suatu kaum yang progresif. Pendefinisi utama pemuda itu bukanlah
usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Menulis di majalah
Bintang Hindia Nomor 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ‘kaum muda’
sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti
aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui
pengetahuan dan gagasan kemajuan.
Dalam ungkapan Samuel Ullman,
”Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona
kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi;
kesegaran musim semikehidupan.”
Sumpah Pemuda itu adalah
komitmen. Komitmen untuk secara sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan demi
kebaikan hidup kebangsaan. Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar
Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ialah penggunaan bahasa
Melayu-Indonesia sebagai bahasa kongres. Suatu trajektori baru dalam
kesadaran nasional, ditandai penarikan batas antara dunia penjajah dan
terjajah lewat tanda perbedaan bahasa.
Akan tetapi, pemancangan tanda
baru ini bukanlah perkara mudah. Bagi pemuda-pelajar yang terdidik dalam
persekolahan bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan
yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi
pendengar. Sebagian peserta yang mencoba berbahasa Indonesia gagal dan
terpaksa menggunakan bahasa Belanda.
Salah seorang di antara mereka
adalah Siti Soendari, perwakilan Poetri Indonesia. Namun, komitmen kebangsaan
membangkitkan tekad untuk menaklukkan segala kesulitan. Hanya selang dua
bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato
dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22-25
Desember 1928.
Sumpah Pemuda itu adalah
kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan
hidup bersama. Meski sebagian besar pemuda-pelajar yang menghadiri KBPI II
itu berasal dari Tanah Jawa, mereka rela berkorban tidak memaksakan bahasa
mayoritas (bahasa Jawa) sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan
kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa Melayu-Indonesia
sebagai bahasa persatuan.
Sumpah Pemuda itu adalah
keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan
primordialisme agama, kesukuan, dan kedaerahan. Pusat-pusat pendidikan dan
ruang publik modern di Indonesia dan Belanda menjadi katalis bagi pergaulan
lintas kultural.
Dengan wahana ini, para aktivis
yang berasal dari beragam latar etnik dan agama bisa berinteraksi satu sama
lain secara intens dan meluaskan jaringan sosial, yang melahirkan saling
pengertian mengenai kepentingan bersama yang mengarah pada usaha pencarian
identitas kolektif baru. Dalam perkembangannya, para aktivis dari Jong Java,
Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain menemukan
kode identitas kolektif baru bernama ‘kebangsaan Indonesia’.
Di bawah identitas kolektif
baru ini, segala kesempitan dan keragaman dipertautkan ke dalam keluasan
imaji keindonesiaan dengan ikrar yang mengakui tumpah darah satu, bangsa
satu, dan bahasa persatuan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan
etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.
Setelah 89 tahun Sumpah Pemuda,
semangat Sumpah Pemuda itu mengalami kelunturan. Usia muda (16-30 tahun)
mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental
muda mengalami pengempisan.
Tampilnya orang-orang berusia
muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak memperkuat semangat ‘kaum muda’.
Kebanyakan tak sanggup mengambil jarak dari ‘kaum tua’ yang mewariskan
tradisi korupsi dan keterbelakangan. Kebanyakan juga tidak menunjukkan
kehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan
gagasan kemajuan. Figur-figur politik berusia muda beradu cepat meraih
puncak-puncak kekuasaan tanpa kekuatan etos kejuangan yang etis, miskin
imajinasi, cenderung mengambil jalan pintas dalam meraih kekuasaan, dan tidak
menunjukkan vitalitas daya muda yang progresif.
Komitmen kebangsaan juga
meredup. Ke mana saja kita menghadap, di negeri ini tidak ada tanda-tanda
keseriusan untuk secara sengaja memikirkan, menata, dan mengembangkan potensi
yang kita miliki.
Dunia politik lebih menjadi
arena pertarungan kuasa demi berkuasa ketimbang sebagai ajang perumusan
kebijakan dan pelayanan publik. Banyak anak muda jenius bangsa ini
tersia-siakan karena pemujaan pada budaya kedangkalan yang lebih memberi
ruang kepada anak-anak muda medikor-inferior menguasai bidang-bidang
kenegaraan.
Dalam situasi demikian, budaya
pecundang melanda kehidupan bangsa. Pusat teladan dan impian selalu
diletakkan di luar negeri. Budaya konsumen untuk senantiasa mengutamakan
produk asing merajalela dengan mematikan daya-daya produktif dalam negeri.
Kebesaran jiwa menjadi barang
langka. Penyelenggara negara kurang menghayati prinsip-prinsip kehidupan
publik, yang harus mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan
pribadi dan kelompok.
Persatuan nasional
didengung-dengungkan tanpa dilandasi kebesaran jiwa untuk menghadirkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Politik sebagai etik terus
dipercanggih, tetapi politik sebagai etik diterbelakangkan. Maka, politik dan
etik seperti air dengan minyak.
Keluasan imaji keindonesiaan
mengalami penyempitan. Otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan, yang tidak
diletakkan dalam konteks semangat kebangsaan dan negara persatuan yang luas,
menimbulkan fragmentasi dan keterputusan.
Putra daerahisme merajalela
bersama kemunculan raja-raja kecil di daerah yang cenderung mengabaikan
keterpautannya dengan simpul-simpul kekuasaan negara secara keseluruhan.
Bersama berbagai peraturan daerah yang dilahirkan, semangat komunalisme
berkembang atas anasir eksklusivisme etnoreligius, yang menimbulkan retakan
dalam imaji keindonesiaan.
Peringatan Sumpah Pemuda harus
mampu menggali apinya, bukan abunya, bahwa: semangat Sumpah Pemuda itu adalah
semangat progresif mental muda dengan kobaran komitmen, kebesaran, dan
keluasan jiwa, yang secara sengaja bersungguh-sungguh memperjuangkan visi
demi membentuk serta membangun bangsa.
Dengan meminjam ungkapan Bung
Karno, bisa dikatakan, semangat Sumpah Pemuda adalah semangat rela berjuang,
berjuang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala
kepentingan diri sendiri. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan,
persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golongan dan
lapisan. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat membentuk dan membangun
negara. Manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi,
kikislah semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, dengan menghidupkan
kembali semangat Sumpah Pemuda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar