Teknologi
Finansial dan Stabilitas Keuangan
Junanto Herdiawan ; Kepala Bank Indonesia Fintech Office
|
KOMPAS,
30 Oktober
2017
Peretasan jutaan data pribadi
konsumen yang dialami oleh Equifax, salah satu perusahaan pelaporan kredit
nasional terbesar di Amerika Serikat, mengingatkan kita akan risiko yang
dapat muncul dari perkembangan teknologi finansial.
Teknologi memang hadir bagaikan
pisau bermata dua. Di satu sisi mampu memberi manfaat, tetapi di sisi lain
juga memberi rasa waswas bagi penggunanya. Tanpa disadari, setiap hari kita
telah membagi aneka informasi pribadi, mulai dari perbincangan sosial,
kebiasaan belanja, pola bepergian, hingga transaksi keuangan, melalui berbagai
aplikasi berbasis internet yang kita miliki. Berbagai data tersebut, jika
tidak dikelola dengan baik, memiliki potensi untuk disalahgunakan pihak yang
tak bertanggung jawab.
Regulator di sejumlah negara
menyadari berbagai implikasi risiko yang muncul dari berkembangnya teknologi
finansial (tekfin). Dalam pertemuan negara anggota G-20 di Jerman, beberapa
waktu lalu, salah satu topik yang dibahas adalah pentingnya setiap negara
untuk mencermati digitalisasi pada sistem keuangan. Fokus perhatian bukan
hanya risiko mikro pada individual perusahaan tekfin, melainkan juga
diperlukan adanya pemantauan dan pengawasan agar risiko mikro itu tidak
menjalar menjadi risiko yang berdampak makro.
Hal ini masuk akal mengingat
investasi global di bidang tekfin terus tumbuh signifikan dalam lima tahun
belakangan. Sepanjang 2016, investasi global di bidang tekfin melejit hingga
melebihi angka 21 miliar dollar AS. Nilai tersebut meningkat lima kali lipat
dibandingkan dengan tahun 2013. Data dari KPMG menunjukkan bahwa dalam triwulan
II-2017, investasi di sektor tekfin masih terus tumbuh dan sudah mencapai 8,4
miliar dollar AS.
Sebagian besar investasi tekfin
dilakukan di AS dan Asia yang sebagian besar ditanamkan pada perusahaan
tekfin di bidang pembayaran dan pinjam-meminjam berbasis digital. Di tengah
ekonomi global lesu saat ini, meningkat signifikannya investasi tersebut
tentu perlu dicermati.
Pengawasan dan regulasi
Dalam laporan yang berjudul
”Financial Stability Implication from Fintech (2017)”, Dewan Stabilitas
Finansial (Financial Stability Board/FSB), sebuah lembaga internasional yang
memantau dan memberikan rekomendasi terhadap sistem keuangan global,
menyampaikan pentingnya regulator untuk membenahi aspek pengawasan dan
regulasi dalam menyikapi pertumbuhan tekfin.
Dalam laporan itu, FSB
mengingatkan regulator di sejumlah negara untuk terus-menerus melakukan
pengujian pada aturan-aturan yang dimilikinya agar dapat memperoleh manfaat
optimal dari perkembangan inovasi, tetapi di sisi lain mampu melindungi
konsumen dan meminimalkan munculnya risiko, baik mikro maupun makro.
Teknologi finansial terus
bertumbuh tanpa bisa dicegah seiring dengan bergesernya preferensi
masyarakat, khususnya generasi milenial, yang menginginkan kenyamanan,
kecepatan, biaya yang lebih efisien, dan kemudahan dalam bertransaksi
keuangan. Kita melihat inovasi tekfin saat ini juga muncul dan berlangsung
begitu cepat.
Namun, berbagai inovasi
tersebut belum terbukti resilien dan belum seluruhnya melalui siklus
pengujian lengkap (full cycle process), terutama pada aspek mitigasi risiko.
Dilihat dari penerapan teknologinya, kemunculan berbagai inovasi di bidang
pinjam meminjam digital (fintech credit), robo-advisors, inovasi pembayaran
bernilai besar, penggunaan mata uang virtual (cryptocurrency), kecerdasan
buatan (Artificial Intelligence), dan mesin pembelajar (machine learning)
berpotensi memberikan manfaat bagi perekonomian.
Manfaat yang dapat kita rasakan
antara lain munculnya berbagai aplikasi yang mengurangi peran pihak
intermediasi sehingga pembayaran bisa lebih efisien dan transparan. Selain
itu, berkembangnya tekfin juga berpotensi meningkatkan inklusi finansial dan
pertumbuhan ekonomi. Untuk Indonesia dengan 64 persen penduduknya masih belum
terjangkau layanan keuangan (unbanked people), kehadiran tekfin memberikan
peluang besar untuk memperluas inklusi finansial.
Risiko dan potensi penyalahgunaan
Namun, di balik manfaatnya yang
besar, tekfin juga memiliki risiko dan potensi penyalahgunaan. FSB membagi
risiko ini menjadi dua, yaitu risiko mikrofinansial dan risiko
makrofinansial. Risiko mikrofinansial adalah risiko yang dapat menyebabkan
satu perusahaan tekfin memiliki kerentanan (vulnerable) terhadap munculnya
gejolak (shocks).
Beberapa risiko mikrofinansial
yang perlu kita cermati adalah soal keamanan data, peretasan (cyber risks),
tata kelola beberapa perusahaan tekfin yang masih lemah, pengelolaan
likuiditas, ketergantungan pada pihak ketiga untuk teknologi, hingga risiko
pelanggaran regulasi.
Adapun risiko makrofinansial
adalah kerentanan secara luas yang dapat menyebabkan gejolak pada sistem
keuangan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya instabilitas hingga krisis
keuangan. Risiko ini muncul jika kegagalan di satu perusahaan tekfin kemudian
menyebar dan menular ke perusahaan lain, lalu berdampak sistemik, dan
biasanya diiringi oleh anjloknya kepercayaan publik.
Menyikapi perkembangan di atas,
penting sekali bagi regulator untuk dapat menangkap munculnya berbagai
potensi risiko tersebut. Bank Indonesia (BI) bersama Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) menyadari pentingnya sinergi dan koordinasi dalam melakukan pengawasan
mikro dan makro. OJK telah mengeluarkan peraturan OJK tentang layanan
pinjam-meminjam berbasis digital, sementara BI juga telah mengeluarkan
beberapa peraturan terkait inovasi tekfin di bidang uang elektronik, transfer
dana, dan aturan bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran.
Dalam waktu dekat, BI juga akan
mengimplementasikan peraturan regulatory sandbox agar dapat mendorong
tumbuhnya inovasi dari pelaku tekfin dengan tetap menjaga kehati-hatian.
Satu kesulitan bagi regulator
saat ini dalam melakukan asesmen terhadap implikasi risiko makrofinansial
adalah keterbatasan data yang dapat dikumpulkan dari para pelaku tekfin.
Selain karena seri data (time series) yang masih pendek, mekanisme
pengumpulan data oleh regulator juga masih terbatas. Di area inilah
pentingnya sinergi dan koordinasi antara regulator dan pelaku industri
tekfin, baik melalui asosiasi maupun komunitas lainnya, untuk dapat saling
bertukar data dan informasi terkait perkembangan industri tekfin. Untuk itu,
pendekatan regulator pun tidak bisa lagi menggunakan pendekatan lama yang
hanya menunggu, tetapi juga harus tangkas (agile), eksperimental, dan siap
membuka ruang dialog sebesarbesarnya dengan para pelaku tekfin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar