Tiga
Tahun Politik Luar Negeri Jokowi-Kalla
Azyurmardi Azra ; Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
24 Oktober
2017
Politik luar negeri Indonesia
tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla
tengah berubah. Aktivisme Indonesia dalam kancah hubungan internasional
terlihat meningkat, menjadi lebih aktif dan makin asertif setidaknya dalam
tahun terakhir. Pengamat yang obyektif, cermat, dan hati-hati (meticulous)
mesti tidak gagal mengamati gejala ini. Kegagalan atau ketidakcermatan
pengamat bisa bersumber dari skeptisisme terhadap politik luar negeri Indonesia
sejak awal masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Pandangan skeptis itu terkait
kebijakan Presiden Jokowi yang sejak memegang tampuk kekuasaan lebih
berorientasi ke dalam (inward looking) dengan prioritas pokok pada
pembangunan infrastruktur fisik. Dengan prioritas ini, Presiden Jokowi
dianggap tidak mementingkan peran lebih aktif Indonesia di kancah
internasional (outward looking).
Apalagi, Presiden Jokowi tidak
hadir dalam Sidang Umum PBB di New York tiga tahun berturut-turut sejak 2015.
Pekan lalu, Jokowi juga tidak hadir di Istanbul, Turki, untuk Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT/Summit) D-8, delapan negara Muslim yang paling menonjol
dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (developing atau emerging).
Sebaliknya, Presiden Jokowi
mendelegasikan kehadiran dan diplomasi Indonesia dalam Sidang Umum PBB di New
York kepada Wapres Jusuf Kalla. Begitu juga Wapres Jusuf Kalla mewakili
Presiden dalam KTT D-8 Istanbul. Daftar pendelegasian dari Presiden kepada
Wapres bisa cukup panjang.
Namun, Presiden Jokowi hadir
selektif dalam forum seperti KTT ASEAN, termasuk dengan negara-negara mitra
ASEAN. Presiden juga hadir di KTT APEC, G-20, KTT Dunia Arab-Islam dengan
Amerika Serikat, dan beberapa forum internasional lain. Presiden Jokowi juga
berkunjung dan bertemu dengan kepala pemerintahan negara-negara utama yang
menjadi mitra kerja sama ekonomi, perdagangan, politik, dan sosial-budaya,
seperti negara-negara ASEAN, China, AS, Jepang, Jerman, Inggris, dan
Australia.
Meski demikian, bagi kalangan
pengamat politik luar negeri Indonesia, Presiden Jokowi tetap dianggap belum
menampilkan postur Indonesia yang lebih high profile. Mereka berharap Jokowi
dapat memainkan peran lebih besar sesuai sosok Indonesia sebagai negara besar
(punch its weight).
Indonesia memang belum sepenuhnya
”menonjok sesuai bobotnya”. Namun, Presiden Jokowi memberikan pendelegasian
lebih besar kepada Wapres Jusuf Kalla bersama Menlu Retno LP Marsudi untuk
menampilkan sosok politik luar negeri yang tak kurang bobotnya. Menghadiri
berbagai forum KTT dan pertemuan internasional lain, selain acara resmi,
Wapres Kalla menjadi ”sasaran” pertemuan bilateral di sela waktu dengan
banyak kepala pemerintahan negara lain.
Karena itu, meski Presiden
Jokowi hanya hadir dalam berbagai forum internasional secara sangat selektif,
Indonesia tetap menjadi salah satu pusat perhatian banyak kalangan
internasional. Sebab itu, banyak pula kepala negara dan kepala pemerintahan
merasa perlu datang ke Indonesia, termasuk yang terlibat pertikaian, seperti
Raja Salman (Arab Saudi) dan Emir Syekh Tamim bin Hamad al-Tsani (Qatar).
Padahal, lebih dari tiga dasawarsa kepala dua negara ini tidak ke Indonesia.
Kenapa Indonesia menjadi sangat
menarik? Ini terkait keberhasilan Indonesia memelihara stabilitas politik dan
keamanan yang memungkinkan peningkatan ekonomi. Hasilnya, sejak April 2017,
Indonesia termasuk di antara 10 negara dengan PDB lebih dari 1 triliun dollar
AS; dan antara 2025-2030 Indonesia diprediksi menjadi negara keempat atau
kelima terkuat ekonominya.
Tak kurang pentingnya,
Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pada saat sama,
Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia—setelah India dan
AS—adalah show case, contoh keberhasilan di mana Islam kompatibel dan
berjalan beriringan dengan demokrasi.
Sekali lagi, Indonesia tegak
menonjol di tengah masih bertahannya konflik, kekerasan, dan perang di
sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim di Dunia Arab dan Asia Selatan.
Dalam konteks ini, peran Indonesia sangat menonjol dalam memediasi konflik
Rohingya. Menjadi satu-satunya negara yang diterima Pemerintah Myanmar.
Kunci efektivitas politik luar
negeri Indonesia karena pendekatan ”total diplomasi” yang low profile,
inklusif, dan rekonsiliatif. Indonesia menjauhi diri dari menggunakan
pendekatan yang disebut Menlu Retno Marsudi sebagai megaphone diplomacy.
Contoh lain keberhasilan diplomasi Indonesia terlihat pula dalam pembentukan
Bali Democracy Forum (BDF) Tunis Chapter di Tunis, ibu kota Tunisia, Senin
(2/10). BDF Tunis Chapter ingin menggali pengalaman terbaik Indonesia dalam
demokrasi sejak reformasi.
Indonesia yang berhasil
mengonsolidasikan demokrasinya tidak ingin menggurui negara lain. Indonesia
hanya ingin berbagi pengalaman terbaik dalam demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar