Perang
dan Damai
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 18 Oktober 2017
DALAM sejarah hubungan
antarnegara, perang belum pernah muncul tanpa tanda-tanda. Tanpa ada krisis
maka mustahil terjadi perang (Martin 2005). Selalu ada sinyal. Itulah antara
lain tugas para diplomat; untuk menangkap sinyal-sinyal yang mengarah pada
suatu kondisi krisis yang berpotensi pada terjadinya konfrontasi terbuka
antarnegara.
Meski demikian, perang tidak
selalu berbentuk bentrokan senjata. Kalevi Holsti (1991) mengategorikan
beberapa kondisi yang dapat memicu perang. Kategori pertama adalah kondisi
yang disebut perang anomali, yaitu kondisi di mana perang terjadi akibat
keputusan seorang pemimpin yang sangat diktator, antisosial, sehingga bisa
serampangan menyerang negara lain yang tidak disukainya.
Kondisi ini hanya ada secara
teoritis dan sebetulnya tidak logis. Kondisi krisis yang menyebabkan perang
karena alasan-alasan yang bersifat personal sudah tidak ditemukan dalam
perang modern.
Kategori kedua disebut perang
normal, yaitu perang yang banyak terjadi di dunia modern saat ini seperti
pada Perang Dunia (PD) I dan (PD) II. Penyebab perang yang paling sering
terjadi adalah akibat kompetisi ekonomi, perselisihan perbatasan, agama,
ideologi, nasionalisme, balas dendam, dan pertahanan atau pre-emptive strike
(menyerang terlebih dahulu). Perang diawali oleh perselisihan antara warga
negara atau negara yang tidak dapat diselesaikan dan semakin lama
terlembagakan.
Kategori ketiga adalah
perdamaian normal, yaitu keadaan di mana hubungan antara dua negara atau
lebih memiliki alasan untuk tidak berkonflik yang terlembagakan. Kondisi ini
seperti yang kita alami saat ini dengan negara-negara tetangga di ASEAN.
Meskipun dalam kasus tertentu
seperti ada ketegangan seperti perihal garis batas antarnegara, terutama di
lautan, namun konflik tidak serta-merta menyulut perang terbuka dan dapat
diselesaikan dengan mekanisme yang dimiliki oleh kedua pihak yang terlibat
dalam perselisihan.
Kategori keempat adalah
perdamaian anomali. Kondisi ini adalah situasi di mana terdapat satu alasan
atau kondisi konflik yang terlembagakan tapi tidak menyebabkan pecah perang
tetapi belum ada perdamaian.
Perang Dingin antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet, gencatan senjata permanen antara Korea Utara dan
Korea Selatan adalah contoh yang dapat menggambarkan situasi ini.
Negara-negara tersebut berdiri saling bermusuhan tetapi tidak juga
menimbulkan peperangan terbuka.
Holsti luput menjelaskan bahwa
dalam kondisi perdamaian anomali yang tidak mustahil terjadi adalah proxy war
alias perang di medan lain akibat ketegangan antar pihak-pihak utama yang
bersitegang, misalnya perang di Vietnam saat Perang Dingin.
Kategori-kategori tersebut di
atas tentu hanyalah salah satu cara kita untuk memotret situasi yang terjadi
saat ini. Kenyataannya, perang sekarang tidak lagi hanya melibatkan negara
dan negara, tetapi juga bisa terjadi antara negara dengan kelompok nonnegara.
Salah satu contohnya perang
dengan ISIS yang merupakan kelompok teroris bersenjata tanpa mewakili negara
mana pun, kecuali ide pembentukan negara khalifah. Selain ISIS, di Kolombia,
sebelum terjadinya perjanjian perdamaian antara pemerintah dan kelompok
pemberontak dapat dikategorikan sebagai perang saudara yang berbeda garis
pandang atau ideologi. Di Meksiko, pemerintah berhadapan dengan kelompok
Chiapas yang mewakili suku Indian pribumi.
Salah satu ciri lain yang
membedakan konteks terjadinya perang dan perdamaian saat ini dengan situasi
50 tahun lalu adalah integrasi negara-negara bangsa di tingkat global,
khususnya dalam aspek kerja sama ekonomi, sehingga ada perasaan saling
tergantung yang mempersulit perang.
Pada PD I dan PD 2,
negara-negara di dunia relatif berdiri sendiri dan dapat hidup mandiri tanpa
tergantung kerja sama luar negeri dengan negara lain. Saat ini negara-negara
dapat dikatakan secara relatif menyertakan partisipasi warga dalam
pengambilan keputusan di dalam negeri walau disesuaikan dengan sosial dan
budaya mereka masing-masing.
Pertanyaannya kemudian adalah
mengapa perang masih bisa terjadi di antara negara-negara yang sudah
menjalankan politik berbasis dukungan massa? Kita dapat menemukan contohnya
dari sebagian dari negara-negara Eropa, seperti Inggris atau Prancis dan juga
Amerika Serikat.
Prancis adalah salah satu
negara yang mendukung penyerangan ke Libya yang saat itu masih dipimpin oleh
Khadafi. Intervensi yang paling dekat adalah kehadiran Prancis di Mali.
Alasan keterlibatan Prancis untuk pertama kalinya untuk menyelesaikan masalah
konflik sektarian.
Namun dengan semakin
kondusifnya situasi, Prancis masih tetap tinggal di sana. Hal ini menimbulkan
kecurigaan bahwa Prancis akan mengambil lagi Mali sebagai daerah yang menjadi
bagian dari wilayah kolonial mereka.
Di kawasan Asia Tenggara,
terjadi krisis di antara negara-negara demokratis yang dapat menimbulkan
pecah perang di Laut China Selatan (atau Laut Latuna Utara dalam definisi
Indonesia). China dan beberapa negara Sosialis lain di Asia Tenggara mungkin
masuk dalam kategori negara non-demokratis, tetapi dalam hubungan luar negeri
mereka mau mengikuti standar nasional yang bersifat terbuka.
Perselisihan antara
negara-negara yang demokratis mungkin akan kita saksikan semakin berlipat di
masa depan mengingat banyak perubahan yang terjadi, baik dalam perubahan
kekuasaan ekonomi dunia, perubahan di dalam negeri, keterbatasan sumber daya
alam, pertambahan penduduk, dan lain sebagainya.
Saat ini juga ketika hampir
semua negara menganut sistem pemilihan, baik secara langsung dan tidak
langsung pemimpin mereka, pertimbangan untuk memperkuat popularitas menjadi
salah satu yang menentukan materi kampanye pemimpin mereka.
Di sini saya ingin mengingatkan
bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang statis dan otomatis akan terus
terjaga. Butuh upaya yang terus menerus untuk melembagakan cara-cara
penyelesaian ketegangan secara damai atau meminimalisasi pelembagaan konflik
antarnegara. Yang terasa makin tegang harus dibuat lebih cair, sedangkan yang
biasanya diselesaikan secara sepihak berdasarkan niat baik saja perlu
diperkuat dengan pelembagaan niat baik.
Sebab, saat ini sumber konflik
bisa muncul dari mana saja, termasuk juga dari kelompok nonnegara maka
kebangkitan kelompok-kelompok sosial yang menggunakan isu antitoleransi untuk
mendulang dukungan politik juga perlu diwaspadai. Eropa sudah mulai merasakan
pedihnya pembiaran atas kelompok-kelompok seperti itu karena ujungnya adalah
korban nyawa dari masyarakat sipil yang tidak bersalah.
Indonesia pun pernah mengalami
pedihnya konflik berdarah antarkelompok akibat intoleransi seperti di Poso
dan Ambon. Myanmar sekarang juga mengalami tantangan serupa di Rakhine.
Dalam konteks seperti ini,
negara-negara dunia mulai punya mekanisme untuk ikut andil memberikan
proteksi karena “Responsibility to Protect” (R to P) demi mencegah pemburukan
suasana akibat genosida, pembunuhan etnis, dan kejahatan kemanusiaan.
Artinya, sejalan dengan waktu,
upaya meminimalisasi ketegangan yang berujung pada krisis dan korban manusia
terus berkembang. Upaya menumbuhkan dan merawat perdamaian tidak lagi
tersekat wilayah kedaulatan lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar