Senin, 23 Oktober 2017

Perang dan Damai

Perang dan Damai
Dinna Wisnu ;   Pengamat Hubungan Internasional
                                                KORAN SINDO, 18 Oktober 2017



                                                           
DALAM sejarah hubungan antarnegara, perang belum pernah muncul tanpa tanda-tanda. Tanpa ada krisis maka mustahil terjadi perang (Martin 2005). Selalu ada sinyal. Itulah antara lain tugas para diplomat; untuk menangkap sinyal-sinyal yang mengarah pada suatu kondisi krisis yang berpotensi pada terjadinya konfrontasi terbuka antarnegara.

Meski demikian, perang tidak selalu berbentuk bentrokan senjata. Kalevi Holsti (1991) mengategorikan beberapa kondisi yang dapat memicu perang. Kategori pertama adalah kondisi yang disebut perang anomali, yaitu kondisi di mana perang terjadi akibat keputusan seorang pemimpin yang sangat diktator, antisosial, sehingga bisa serampangan menyerang negara lain yang tidak disukainya.

Kondisi ini hanya ada secara teoritis dan sebetulnya tidak logis. Kondisi krisis yang menyebabkan perang karena alasan-alasan yang bersifat personal sudah tidak ditemukan dalam perang modern.

Kategori kedua disebut perang normal, yaitu perang yang banyak terjadi di dunia modern saat ini seperti pada Perang Dunia (PD) I dan (PD) II. Penyebab perang yang paling sering terjadi adalah akibat kompetisi ekonomi, perselisihan perbatasan, agama, ideologi, nasionalisme, balas dendam, dan pertahanan atau pre-emptive strike (menyerang terlebih dahulu). Perang diawali oleh perselisihan antara warga negara atau negara yang tidak dapat diselesaikan dan semakin lama terlembagakan.

Kategori ketiga adalah perdamaian normal, yaitu keadaan di mana hubungan antara dua negara atau lebih memiliki alasan untuk tidak berkonflik yang terlembagakan. Kondisi ini seperti yang kita alami saat ini dengan negara-negara tetangga di ASEAN.

Meskipun dalam kasus tertentu seperti ada ketegangan seperti perihal garis batas antarnegara, terutama di lautan, namun konflik tidak serta-merta menyulut perang terbuka dan dapat diselesaikan dengan mekanisme yang dimiliki oleh kedua pihak yang terlibat dalam perselisihan.

Kategori keempat adalah perdamaian anomali. Kondisi ini adalah situasi di mana terdapat satu alasan atau kondisi konflik yang terlembagakan tapi tidak menyebabkan pecah perang tetapi belum ada perdamaian.

Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, gencatan senjata permanen antara Korea Utara dan Korea Selatan adalah contoh yang dapat menggambarkan situasi ini. Negara-negara tersebut berdiri saling bermusuhan tetapi tidak juga menimbulkan peperangan terbuka.

Holsti luput menjelaskan bahwa dalam kondisi perdamaian anomali yang tidak mustahil terjadi adalah proxy war alias perang di medan lain akibat ketegangan antar pihak-pihak utama yang bersitegang, misalnya perang di Vietnam saat Perang Dingin.

Kategori-kategori tersebut di atas tentu hanyalah salah satu cara kita untuk memotret situasi yang terjadi saat ini. Kenyataannya, perang sekarang tidak lagi hanya melibatkan negara dan negara, tetapi juga bisa terjadi antara negara dengan kelompok nonnegara.

Salah satu contohnya perang dengan ISIS yang merupakan kelompok teroris bersenjata tanpa mewakili negara mana pun, kecuali ide pembentukan negara khalifah. Selain ISIS, di Kolombia, sebelum terjadinya perjanjian perdamaian antara pemerintah dan kelompok pemberontak dapat dikategorikan sebagai perang saudara yang berbeda garis pandang atau ideologi. Di Meksiko, pemerintah berhadapan dengan kelompok Chiapas yang mewakili suku Indian pribumi.

Salah satu ciri lain yang membedakan konteks terjadinya perang dan perdamaian saat ini dengan situasi 50 tahun lalu adalah integrasi negara-negara bangsa di tingkat global, khususnya dalam aspek kerja sama ekonomi, sehingga ada perasaan saling tergantung yang mempersulit perang.

Pada PD I dan PD 2, negara-negara di dunia relatif berdiri sendiri dan dapat hidup mandiri tanpa tergantung kerja sama luar negeri dengan negara lain. Saat ini negara-negara dapat dikatakan secara relatif menyertakan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan di dalam negeri walau disesuaikan dengan sosial dan budaya mereka masing-masing.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa perang masih bisa terjadi di antara negara-negara yang sudah menjalankan politik berbasis dukungan massa? Kita dapat menemukan contohnya dari sebagian dari negara-negara Eropa, seperti Inggris atau Prancis dan juga Amerika Serikat.

Prancis adalah salah satu negara yang mendukung penyerangan ke Libya yang saat itu masih dipimpin oleh Khadafi. Intervensi yang paling dekat adalah kehadiran Prancis di Mali. Alasan keterlibatan Prancis untuk pertama kalinya untuk menyelesaikan masalah konflik sektarian.

Namun dengan semakin kondusifnya situasi, Prancis masih tetap tinggal di sana. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Prancis akan mengambil lagi Mali sebagai daerah yang menjadi bagian dari wilayah kolonial mereka.

Di kawasan Asia Tenggara, terjadi krisis di antara negara-negara demokratis yang dapat menimbulkan pecah perang di Laut China Selatan (atau Laut Latuna Utara dalam definisi Indonesia). China dan beberapa negara Sosialis lain di Asia Tenggara mungkin masuk dalam kategori negara non-demokratis, tetapi dalam hubungan luar negeri mereka mau mengikuti standar nasional yang bersifat terbuka.

Perselisihan antara negara-negara yang demokratis mungkin akan kita saksikan semakin berlipat di masa depan mengingat banyak perubahan yang terjadi, baik dalam perubahan kekuasaan ekonomi dunia, perubahan di dalam negeri, keterbatasan sumber daya alam, pertambahan penduduk, dan lain sebagainya.

Saat ini juga ketika hampir semua negara menganut sistem pemilihan, baik secara langsung dan tidak langsung pemimpin mereka, pertimbangan untuk memperkuat popularitas menjadi salah satu yang menentukan materi kampanye pemimpin mereka.

Di sini saya ingin mengingatkan bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang statis dan otomatis akan terus terjaga. Butuh upaya yang terus menerus untuk melembagakan cara-cara penyelesaian ketegangan secara damai atau meminimalisasi pelembagaan konflik antarnegara. Yang terasa makin tegang harus dibuat lebih cair, sedangkan yang biasanya diselesaikan secara sepihak berdasarkan niat baik saja perlu diperkuat dengan pelembagaan niat baik.

Sebab, saat ini sumber konflik bisa muncul dari mana saja, termasuk juga dari kelompok nonnegara maka kebangkitan kelompok-kelompok sosial yang menggunakan isu antitoleransi untuk mendulang dukungan politik juga perlu diwaspadai. Eropa sudah mulai merasakan pedihnya pembiaran atas kelompok-kelompok seperti itu karena ujungnya adalah korban nyawa dari masyarakat sipil yang tidak bersalah.

Indonesia pun pernah mengalami pedihnya konflik berdarah antarkelompok akibat intoleransi seperti di Poso dan Ambon. Myanmar sekarang juga mengalami tantangan serupa di Rakhine.

Dalam konteks seperti ini, negara-negara dunia mulai punya mekanisme untuk ikut andil memberikan proteksi karena “Responsibility to Protect” (R to P) demi mencegah pemburukan suasana akibat genosida, pembunuhan etnis, dan kejahatan kemanusiaan.

Artinya, sejalan dengan waktu, upaya meminimalisasi ketegangan yang berujung pada krisis dan korban manusia terus berkembang. Upaya menumbuhkan dan merawat perdamaian tidak lagi tersekat wilayah kedaulatan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar