Senin, 23 Oktober 2017

Banyak Celah Suap Hakim

Banyak Celah Suap Hakim
Imam Anshori Saleh ;   Komisioner Komisi Yudisial RI Periode 2010-2015
                                                      KOMPAS, 23 Oktober 2017



                                                           
Dalam beberapa bulan terakhir banyak hakim dan aparat pengadilan tertangkap tangan menerima suap. Beberapa hari lalu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara juga terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.

Lalu tudingan bermunculan mengarah ke Mahkamah Agung. Institusi ini, sebagai induk semua aparat pengadilan, dianggap bertanggung jawab terhadap semua itu. Ada yang menganggap Mahkamah Agung telah  gagal menjaga marwah peradilan, bahkan ada yang mendesak agar Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mundur.

Seperti biasa, para pejabat Mahkamah Agung secara defensif merasa tidak bersalah. Semuanya ditumpukan kepada setiap individu aparat. Pengawasan dan pembinaan yang dilakukan Mahkamah Agung dianggap sudah cukup. Menurut Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto, sistem pengawasan sebaik apa pun tidak akan berhasil jika tidak ada niat dari aparat peradilan untuk mengubah kebiasaan. (Kompas, 10/10/2017)

Bermula dari kebebasan hakim

Tulisan ini tidak bermaksud memperpanjang perdebatan soal tanggung jawab Mahkamah Agung dan ihwal tudingan kegagalan institusi itu, tetapi hanya ingin menunjukkan sejumlah pintu atau celah bagi aparat peradilan, khususnya hakim, untuk melakukan tindakan koruptif dengan meminta atau menerima uang atau materi lain dari pihak yang beperkara.

Kebetulan selama lima tahun menjadi komisioner Komisi Yudisial sempat menyimak dan memeriksa banyak laporan berbagai bentuk judicial corruption yang dilakukan aparat peradilan, khususnya para hakim.

Hakim memiliki kebebasan dalam mengadili dan memutus suatu perkara. Tidak ada kekuasaan mana pun yang dapat mengurangi kebebasan hakim. Prinsip ini berlaku secara universal. Kebebasan hakim ini dari satu sisi sangatlah positif karena prinsip inilah yang dapat menghasilkan putusan yang adil.

Akan tetapi, di sisi lain, sesungguhnya prinsip ini menjadi pembuka pintu bagi hakim untuk melakukan tindakan koruptif. Pengawasan internal dan eksternal hanya menyangkut ada tidaknya pelanggaran etik, sedangkan soal teknis yudisial sepenuhnya diserahkan kepada hakim yang menangani perkara. Sangat terbuka bagi hakim-hakim yang tidak berintegritas untuk menyalahgunakan kebebasan yang mereka miliki.

Semua perkara yang masuk ke pengadilan, perdata, pidana, dan tata usaha negara, berpeluang untuk dijadikan jalan bagi hakim untuk korupsi. Korupsi hakim dapat terjadi sebelum, di awal, di tengah, atau di akhir penyidangan perkara. Di awal penyidangan, misalnya, dalam perkara pidana tersangka dapat mengajukan praperadilan.

Paling seksi dalam praperadilan apabila tersangka mengajukan gugatan tentang keabsahan tersangka oleh kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena dalam praktik putusan hakim praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum apa pun (banding dan kasasi), maka wajar jika setiap ada sidang praperadilan selalu menjadi perhatian masyarakat.

Apalagi sidang itu hanya dengan seorang hakim (hakim tunggal) sehingga subyektivitas hakim menjadi sangat dominan. Celah hakim untuk “memainkan” putusan sangat terbuka.

Dalam perkara pidana sebelum terdakwa disidangkan, hakim dapat menentukan terdakwa dapat ditahan atau tidak. Kalau ditahan, penahanannya dapat dibantarkan atau tidak. Ini juga menjadi pintu bagi hakim untuk meminta atau menerima suap dari terdakwa.

Dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara, ada sesi putusan sela. Dalam putusan ini hakim dapat melanjutkan perkara atau tidak. Di sini tersedia lagi celah yang dapat dimainkan hakim.

Dalam proses pemeriksaan semua jenis perkara, hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan dan mengesampingkan keterangan saksi, keterangan ahli, dan bukti-bukti sebagai pertimbangan hukum untuk pengambilan keputusan. Di sinilah hakim dapat menentukan netralitas atau keberpihakannya. Keberpihakan itu  ada harganya.

Dalam semua jenis perkara, yang paling menentukan adalah vonis hakim. Vonis hakim dalam perkara pidana bisa menghukum, membebaskan, gradasi lama pemidanaan pun ada.

Dalam perkara perdata dan tata usaha negara, hakim bisa memenangkan salah satu pihak, bisa juga mengabulkan semua atau sebagian dari gugatan. Kalau ada niat koruptif dengan memainkan putusan dari para hakim, tentu  masing-masing ada “harganya”.

Kuncinya integritas

Banyak cara, banyak celah, dan banyak pintu bagi hakim dan aparat. Ada Badan Pengawas Mahkamah Agung, ada Komisi Yudisial yang masing-masing bertugas sebagai pengawas internal dan eksternal. Namun, mereka tidak akan berdaya menjaga celah dan pintu yang sedemikian banyak itu.

Apalagi selama ini model pengawasan Mahkamah Agung ataupun Komisi Yudisial sangat pasif, hanya menunggu laporan masuk. Untuk memeriksa hakim perlu dilakukan pembuktian, harus ada saksi dan bukti yang cukup. Jadi, prosesnya rumit dan perlu waktu lama.

Dibentuknya Komisi Yudisial pascareformasi antara lain karena Mahkamah Agung kewalahan mengawasi para hakim. Lalu disepakati adanya Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada tahun 2009. Penyuluhan dan pembinaan dilakukan, ribuan laporan masyarakat diproses.

Memang banyak hakim yang dinyatakan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Namun, dalam perjalanan, korupsi di lingkungan peradilan dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan tidak kunjung surut. Juga semakin banyak bentuk pelanggaran lainnya.

Dulu, banyaknya transaksi “jual beli” perkara di pengadilan diduga antara lain juga karena gaji dan kesejahteraan aparat pengadilan yang rendah. Akan tetapi, setelah pada  tahun 2013 gaji mereka, terutama hakim, dinaikkan sangat signifikan, ternyata kasus korupsi tidak berhenti. Semakin banyak hakim dan aparat pengadilan lainnya yang terungkap melakukan tindak pidana korupsi. Yang terungkap itu pun sebenarnya hanya sebagian kecil. Banyak korupsi yang tidak terungkap, bagai fenomena gunung es, sebagian besar terendam di “kaki gunung es” itu.

Setelah sistem pengawasan dan pembinaan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tak banyak membawa hasil, maka yang perlu dicari adalah persoalan yang lebih substantif, yakni integritas dan moralitas para hakim.

Karena dengan sistem pengawasan dan pembinaan sebaik apa pun, kalau banyak hakim dan aparat pengadilan yang berintegritas rendah, tetap saja terjadi mental koruptif, dan berlangsunglah penerimaan dan permintaan suap dengan berbagai cara dan variannya, karena pintu dan celah untuk itu memang sangatlah terbuka.

Sesungguhnya tidak semua hakim bermental koruptif. Namun, jika hakim-hakim yang baik bekerja dan berada di lingkungan yang koruptif, upaya untuk mewujudkan peradilan yang bersih bagai menegakkan benang basah, tidak akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar