Beres-beres
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
29 Oktober
2017
Dua minggu lalu saya
membersihkan apartemen sekecil sangkar burung. Tetapi memerlukan 6 jam untuk
membereskan yang kecil itu. Tak hanya menyapu dan mengepel, tetapi termasuk
membersihkan rak buku, langit-langit, teras, kulkas, menyortir pakaian bekas,
sampai membersihkan surat-surat yang sudah selayaknya dibuang.
Nafsu besar, kontrol kecil
Hal yang membuat saya geleng
kepala saat membersihkan tempat tinggal itu adalah menyaksikan sendiri betapa
banyak barang yang dibeli secara impulsif. Sebuah aksi pembelian yang hanya
didasari kata hati.
Saya berpikir ada baiknya
membersihkan rumah itu sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Dengan
demikian, saya bisa melihat dan terkaget-kaget sendiri akan apa yang saya
miliki hanya berdasarkan kata hati semata. Membereskan rumah itu menjadi
peringatan yang membukakan mata dan hati.
Tetapi, sebelum saya melanjutkan
cerita soal beres-beres rumah itu, saya mau mengajukan pertanyaan. Berapa
banyak lagi rumah yang Anda ingin miliki, berapa mobil lagi yang ingin
diparkir di garasi, berapa banyak lagi uang yang masih ingin dikejar dan
didapati, berapa banyak lagi proyek yang ingin dikuasai, berapa banyak
jabatan lagi yang ingin diduduki, berapa banyak lagi perselingkuhan yang
masih akan dilakukan?
Saya melihat di media sosial
ada sekelompok anak-anak orang kaya yang memamerkan kekayaannya tiada henti,
saya pernah mendengar ada yang memiliki ratusan mobil, dan belum termasuk
berita yang saya baca seorang koruptor yang memiliki daftar barang-barang
duniawi yang bikin geleng kepala.
Sejujurnya waktu saya sedang
membereskan tempat tinggal itu dan melihat jumlah sepatu yang saya miliki,
nurani saya nyeletuk. “Kamu itu mau membuktikan apa dari membeli
barang-barang sebanyak ini?” Setelah mendengar suara nurani bawel itu, saya
mengajukan pertanyaan yang sama ini kepada Anda. Apa yang hendak Anda
buktikan dengan memiliki materi duniawi sebanyak yang saya tuliskan di atas?
Tentu saya tak tahu jawaban
Anda, dan saya yakin ada sejuta jawaban untuk pertanyaan itu. Baru saja saya
mau menjelaskan alasan saya, nurani yang bawel menyelak dan menusuk bak
belati. “Barang-barangmu yang banyak itu hanya menunjukkan nafsumu yang besar
dan kontrol emosimu yang rendah.”
Sederhana bukan kikir
Saya kesal sekali mendengar
suara bawel itu. La wong saya ini awalnya hanya mau membereskan rumah, kok
yaa. berakhir dikuliahi seperti ini. Kemudian kebawelan nurani itu berlanjut
tak bisa dihentikan. “Emang gak bisa ya punya sepatu cuma 5 pasang aja. Gak
bisa emang hidup sederhana?”
Meski kesal, saya tetap
melanjutkan membersihkan rumah. Setelah 6 jam berlalu, dan tempat tinggal itu
bersih kembali, saya melihat satu dos besar yang berisi barang-barang yang
saya buang, satu koper tempat pakaian bekas yang sudah tak terpakai lagi
bukan karena sudah kekecilan, tetapi memang jarang dipakai.
Teguran nurani pada siang itu
mengingatkan saya kepada pertemuan dengan seorang konglomerat. Ia tampil
dengan alas kaki sederhana yang saya yakini itu bukan sepatu bermerek,
mengenakan kemeja dengan lengan digulung dan celana kain yang sederhana.
Penampilannya sungguh dapat membuat orang lain tak mengenalnya sebagai
seorang konglomerat.
Sejujurnya sepulang saya dari
pertemuan supersingkat dengan sang konglomerat, terpikir untuk bisa
sepertinya. Tidak untuk menjadi kikir dan tidak untuk menghentikan kegiatan
dari membeli, tetapi untuk membeli tanpa dikuasai nafsu dan alasan yang
manipulatif.
Kemudian saya mengajukan sejuta
pertanyaan kepada diri sendiri. Apakah saya perlu memiliki mobil mewah
ketimbang mobil biasa? Dan apa perlunya saya sampai punya 100 mobil? Bukankah
yang utama adalah sampai ke tempat tujuan, dan kendaraan mewah atau tidak
adalah hanya alat transportasi semata.
Apakah saya sampai perlu punya
sepatu 50 pasang kalau pada akhirnya semua itu berakhir dengan hanya
menggunakan 5 pasang sepatu yang menjadi favorit? Dan yang utama, apakah saya
begitu perlunya terlihat kaya dan perlente hanya untuk meyakinkan orang lain
saya ini bisa dipercaya? La wong maling saja banyak yang perlente.
Bukankah penghormatan orang
lain kepada saya selayaknya diberikan karena bagaimana saya memperlakukan
mereka, kepekaan saya akan kebutuhan orang lain, layanan yang saya berikan
baik sebagai profesional atau makhluk sosial, dan bukan karena saya masuk ke
dalam daftar 100 orang kaya di negeri ini?
Dunia memang membutuhkan
gemerlap ragawi dan memberi penghormatan yang lebih pada kehidupan duniawi
yang berlimpah, dan saya suka terkecoh karenanya. Padahal, di akhir hidup,
100 mobil, 100 pasang sepatu, 100 properti itu tak bisa dipergunakan sebagai
alat untuk meyakinkan Sang Kuasa bahwa saya telah hidup benar, meski peti mati
saya terbuat dari kayu terbaik di dunia dan dekorasi pemakaman saya seperti
kebun yang indah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar