Selasa, 31 Oktober 2017

Beres-beres

Beres-beres
Samuel Mulia ;   Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 29 Oktober 2017



                                                           
Dua minggu lalu saya membersihkan apartemen sekecil sangkar burung. Tetapi memerlukan 6 jam untuk membereskan yang kecil itu. Tak hanya menyapu dan mengepel, tetapi termasuk membersihkan rak buku, langit-langit, teras, kulkas, menyortir pakaian bekas, sampai membersihkan surat-surat yang sudah selayaknya dibuang.

Nafsu besar, kontrol kecil

Hal yang membuat saya geleng kepala saat membersihkan tempat tinggal itu adalah menyaksikan sendiri betapa banyak barang yang dibeli secara impulsif. Sebuah aksi pembelian yang hanya didasari kata hati.

Saya berpikir ada baiknya membersihkan rumah itu sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Dengan demikian, saya bisa melihat dan terkaget-kaget sendiri akan apa yang saya miliki hanya berdasarkan kata hati semata. Membereskan rumah itu menjadi peringatan yang membukakan mata dan hati.

Tetapi, sebelum saya melanjutkan cerita soal beres-beres rumah itu, saya mau mengajukan pertanyaan. Berapa banyak lagi rumah yang Anda ingin miliki, berapa mobil lagi yang ingin diparkir di garasi, berapa banyak lagi uang yang masih ingin dikejar dan didapati, berapa banyak lagi proyek yang ingin dikuasai, berapa banyak jabatan lagi yang ingin diduduki, berapa banyak lagi perselingkuhan yang masih akan dilakukan?

Saya melihat di media sosial ada sekelompok anak-anak orang kaya yang memamerkan kekayaannya tiada henti, saya pernah mendengar ada yang memiliki ratusan mobil, dan belum termasuk berita yang saya baca seorang koruptor yang memiliki daftar barang-barang duniawi yang bikin geleng kepala.

Sejujurnya waktu saya sedang membereskan tempat tinggal itu dan melihat jumlah sepatu yang saya miliki, nurani saya nyeletuk. “Kamu itu mau membuktikan apa dari membeli barang-barang sebanyak ini?” Setelah mendengar suara nurani bawel itu, saya mengajukan pertanyaan yang sama ini kepada Anda. Apa yang hendak Anda buktikan dengan memiliki materi duniawi sebanyak yang saya tuliskan di atas?

Tentu saya tak tahu jawaban Anda, dan saya yakin ada sejuta jawaban untuk pertanyaan itu. Baru saja saya mau menjelaskan alasan saya, nurani yang bawel menyelak dan menusuk bak belati. “Barang-barangmu yang banyak itu hanya menunjukkan nafsumu yang besar dan kontrol emosimu yang rendah.”

Sederhana bukan kikir

Saya kesal sekali mendengar suara bawel itu. La wong saya ini awalnya hanya mau membereskan rumah, kok yaa. berakhir dikuliahi seperti ini. Kemudian kebawelan nurani itu berlanjut tak bisa dihentikan. “Emang gak bisa ya punya sepatu cuma 5 pasang aja. Gak bisa emang hidup sederhana?”

Meski kesal, saya tetap melanjutkan membersihkan rumah. Setelah 6 jam berlalu, dan tempat tinggal itu bersih kembali, saya melihat satu dos besar yang berisi barang-barang yang saya buang, satu koper tempat pakaian bekas yang sudah tak terpakai lagi bukan karena sudah kekecilan, tetapi memang jarang dipakai.

Teguran nurani pada siang itu mengingatkan saya kepada pertemuan dengan seorang konglomerat. Ia tampil dengan alas kaki sederhana yang saya yakini itu bukan sepatu bermerek, mengenakan kemeja dengan lengan digulung dan celana kain yang sederhana. Penampilannya sungguh dapat membuat orang lain tak mengenalnya sebagai seorang konglomerat.

Sejujurnya sepulang saya dari pertemuan supersingkat dengan sang konglomerat, terpikir untuk bisa sepertinya. Tidak untuk menjadi kikir dan tidak untuk menghentikan kegiatan dari membeli, tetapi untuk membeli tanpa dikuasai nafsu dan alasan yang manipulatif.

Kemudian saya mengajukan sejuta pertanyaan kepada diri sendiri. Apakah saya perlu memiliki mobil mewah ketimbang mobil biasa? Dan apa perlunya saya sampai punya 100 mobil? Bukankah yang utama adalah sampai ke tempat tujuan, dan kendaraan mewah atau tidak adalah hanya alat transportasi semata.

Apakah saya sampai perlu punya sepatu 50 pasang kalau pada akhirnya semua itu berakhir dengan hanya menggunakan 5 pasang sepatu yang menjadi favorit? Dan yang utama, apakah saya begitu perlunya terlihat kaya dan perlente hanya untuk meyakinkan orang lain saya ini bisa dipercaya? La wong maling saja banyak yang perlente.

Bukankah penghormatan orang lain kepada saya selayaknya diberikan karena bagaimana saya memperlakukan mereka, kepekaan saya akan kebutuhan orang lain, layanan yang saya berikan baik sebagai profesional atau makhluk sosial, dan bukan karena saya masuk ke dalam daftar 100 orang kaya di negeri ini?

Dunia memang membutuhkan gemerlap ragawi dan memberi penghormatan yang lebih pada kehidupan duniawi yang berlimpah, dan saya suka terkecoh karenanya. Padahal, di akhir hidup, 100 mobil, 100 pasang sepatu, 100 properti itu tak bisa dipergunakan sebagai alat untuk meyakinkan Sang Kuasa bahwa saya telah hidup benar, meski peti mati saya terbuat dari kayu terbaik di dunia dan dekorasi pemakaman saya seperti kebun yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar