Berita
Papua Kurang Lengkap
Atmakusumah ; Pengamat Pers;
Pengajar Lembaga Pers
Dr Soetomo (LPDS) di Jakarta
|
KOMPAS,
26 Oktober
2017
Memang benar Indonesia tidak
dapat menyepelekan isu tentang situasi di Papua, yang sampai sekarang belum
berakhir di dalam diplomasi internasional. B Josie Susilo Hardianto dalam
tulisannya di harian Kompas mengingatkan bahwa untuk ketiga kali selama tiga
tahun terakhir isu Papua kembali mencuat di forum Majelis Umum PBB pada
September lalu.
Tahun ini hanya tiga negara
Pasifik dan satu negara Amerika Tengah yang mempersoalkan isu itu, berbanding
tujuh negara pada tahun sebelumnya. Akan tetapi, masalah yang ditampilkan
tetap negatif, dari persangkaan pelanggaran hak asasi manusia sampai ”hak
penentuan nasib sendiri” bagi warga Papua (”Isu Papua di Indonesia: Arus
Tantangan yang Tak Bisa Disepelekan”, Kompas, 7/10).
Diplomat pada Perwakilan Tetap
Indonesia di PBB, Ainan Nuran, dalam tanggapannya di sidang PBB menganggap
isu tentang Papua yang ditampilkan oleh keempat negara itu mengandung
motivasi untuk ”mengoyak integritas teritorial sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat”. Ainan mengungkapkan kemajuan pembangunan bagi kesejahteraan warga
di kedua provinsi Indonesia paling timur itu, Papua dan Papua Barat.
Contohnya adalah pembangunan 30 pelabuhan dan tujuh bandar udara baru serta
4.325 kilometer jalan selama tiga tahun terakhir, selain menyediakan
pelayanan kesehatan gratis untuk 2,8 juta penduduk dan pendidikan gratis bagi
360.000 siswa.
Peran pers
Penjelasan diplomat Indonesia
itu mencerminkan reaksi yang tidak ingin menyepelekan isu negatif tentang
Papua, yang beredar di kalangan utusan beberapa negara, terutama
negara-negara pulau di Pasifik, dalam forum PBB.
Akan tetapi, masalahnya adalah
apakah informasi mengenai pembangunan prasarana atau infrastruktur yang luas
di Papua itu beredar di negara-negara yang kalangan pemimpin dan
masyarakatnya masih merasa cemas terhadap kehidupan warga Papua—yang
sama-sama memiliki ras Melanesia. Di sinilah pentingnya peranan pers yang
independen dan obyektif, baik lokal, nasional, maupun internasional, untuk
dapat mengungkapkan kebenaran di Papua.
Tentunya, lebih penting lagi
adalah informasi mengenai apakah warga Papua dapat memanfaatkan hasil
pembangunan itu sehingga mereka lebih nyaman dan lebih sejahtera dalam
kehidupan sehari-hari. Inilah, yang menurut saya, sangat kurang tergambar
dalam pemberitaan media pers arus utama kita.
Sekadar contoh, berikut ini
adalah beberapa berita dari Papua yang tidak lengkap atau tidak diikuti
perkembangan kelanjutannya sehingga khalayak tidak memperoleh informasi yang
utuh. Harian berpengaruh di Australia, Sydney Morning Herald, pada 7 Februari
2015, melaporkan bahwa di Lolat, sebuah desa terkebelakang di Papua, ada
sekolah negeri yang memiliki sembilan guru dengan gaji sebagai pegawai tetap.
Namun, tidak seorang pun dari para guru itu pernah datang ke sekolah.
Juga dilaporkan ada 25 gedung
yang dibangun sebagai sarana pelayanan kesehatan, tetapi hanya tiga gedung
yang masing-masing punya seorang dokter berpraktik di klinik. Gedung-gedung
baru ini dibangun diduga bukan karena tujuan yang mendesak, melainkan untuk
memenuhi kontrak kongkalikong antara para pejabat dan kelompok marganya.
Ada pula gedung baru untuk
pelayanan kesehatan, tetapi tidak kunjung diresmikan. Kabarnya, kepala klinik
itu adalah seorang pria dari desa setempat dan memperoleh gaji dari
pemerintah, tetapi ia tinggal di kota yang jaraknya jauh dari desa sehingga
tidak pernah muncul untuk meresmikan pusat kesehatan ini.
Harian Kompas pada 7 Agustus
2017 menceritakan bahwa pasar Doyo Baru di Sentani, Kabupaten Jayapura, hari
itu masih tetap sepi walaupun sudah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo
lebih dari satu tahun sebelumnya. Persoalannya karena 300 pedagang yang dapat
ditampung di pasar itu—juga para pembelinya—lebih senang berjualan dan
berbelanja di tepi jalan sejauh sekira 100 meter dari pasar tersebut.
Lagi pula, kata seorang pedagang,
pasar itu tak aman karena berkeliaran pemalak yang minta disuap sampai
ratusan ribu rupiah. Pasar ini adalah salah satu dari 15 pasar berskala
kabupaten di kedua provinsi di Papua yang dibangun oleh Kementerian
Perdagangan dengan anggaran seluruhnya Rp 140 miliar.
Kebebasan pers tanpa batas wilayah
Yang menjadi pertanyaan saya
sebagai pengamat pers, saya tidak menemukan kelanjutan pemberitaan dari Papua
seperti beberapa contoh di atas, untuk mengetahui apakah masyarakat akhirnya
dapat menikmati manfaat pembangunan itu. Bahkan, biasanya lebih kabur lagi
kelanjutan laporan tentang persoalan kritis dan sensitif yang menyangkut
tindakan pejabat pemerintah daerah dan aparat keamanannya. Umpamanya, laporan
pelanggaran HAM dan tekanan terhadap kebebasan berekspresi dan menyatakan
pendapat serta kebebasan pers, yang juga dapat mencoreng citra pemerintah
pusat.
Kepada seorang redaktur Kantor
Berita Antara, saya mengeluhkan laporan pers tanpa kelanjutan tentang lima
aktivis politik Papua yang pada awal April 2015 mengunjungi Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu di Jakarta untuk membahas situasi politik di
Papua. Perjalanan mereka ke Jakarta kabarnya dibiayai Kementerian Pertahanan.
Rencana keberangkatan mereka ke Jakarta dilaporkan ke Komando Daerah Militer
(Kodam) dan Badan Intelijen Negara (BIN) Papua, tetapi mereka tidak melapor
ke Kepolisian Daerah Papua.
Anehnya, sepulang di Jayapura
seminggu kemudian mereka ditangkap oleh kepolisian dengan tuduhan terlibat
kegiatan makar. Namun, mereka dibebaskan dari penahanan dan hanya dikenai
tahanan kota. Setelah itu, saya tidak lagi menemukan kelanjutan nasib para
aktivis politik itu dalam pemberitaan media pers kita, apakah ditahan kembali
di kepolisian dan diadili, atau sebaliknya: dibebaskan.
Redaktur Kantor Berita Antara
itu membalas keluhan saya bahwa pers kita sering hanya ”senang” menyiarkan
berita sensasional, tetapi kurang menaruh perhatian pada pemberitaan yang
lebih positif bagi citra pejabat negara. Contoh berita Antara yang jarang
dikutip oleh media pers yang lain, pelatihan pendalaman materi HAM yang
diikuti oleh seratus prajurit di jajaran Kodam XVIII/Kasuari Papua Barat di
markasnya di Manokwari, selama dua hari, pada akhir Mei lalu.
Pelatihan ini untuk
meningkatkan pemahaman tentang HAM bagi para anggota TNI, baik perwira dan
bintara maupun tamtama. Inspektorat Kodam XVIII/Kasuari Kolonel Czi Suparjo
menjelaskan bahwa pemahaman HAM sangat dibutuhkan oleh setiap anggota TNI
karena tugasnya sebagai prajurit negara dilarang melanggar HAM. Dikatakannya
bahwa seluruh jajaran Kodam Kasuari juga harus memahami dan berpedoman pada
seluruh peraturan atau hukum, baik yang berlaku di internal TNI maupun
berlaku secara umum, agar tidak terjebak dalam kasus pelanggaran HAM.
Seorang wartawan senior di
Fakfak menanggapi pertanyaan saya, beberapa waktu lalu, bahwa kebebasan
berpendapat di Provinsi Papua Barat sekarang ini ”sudah mulai longgar”. Ia
menduga bahwa suasana yang sama, yang menyangkut kebebasan pers serta
kebebasan mengemukakan pendapat dan berekspresi seperti dalam diskusi dan
unjuk rasa, juga dialami di Provinsi Papua.
Pada hemat saya, pemberitaan
pers yang lengkap dan jujur mengenai pemecahan persoalan dalam kehidupan
masyarakat akan membantu menampilkan citra positif negara ini secara
internasional. Kritik terhadap situasi di Papua yang masih perlu diperbaiki
tetap tidak dapat disepelekan. Tetapi, setidaknya dapat ditanggapi dengan
mengemukakan fakta-fakta yang benar dan menunjukkan sudah dilakukan
perbaikan.
Semoga arah perkembangan
kebebasan pers di negeri ini sebagaimana yang dijanjikan oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla pada pembukaan peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia 2017—yang
untuk pertama kali diselenggarakan di Jakarta, 3 Mei yang lalu—bahwa
pemerintah menjamin kebebasan pers di seluruh wilayah Indonesia.
Dikatakannya, ”Kebebasan pers itu tidak ada batas wilayah.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar