Sumpah
yang Dilapukkan
Gufran A Ibrahim ; Bekerja di Badan Bahasa
Kemendikbud;
Guru Besar
Antropolinguistik Universitas Khairun, Ternate
|
KOMPAS,
28 Oktober
2017
Sumpah itu, delapan puluh
sembilan tahun lalu, telah diucapkan dalam elan kebudayaan negara-bangsa.
Sumpah itu telah merekatkan persatuan dalam simpai tempat berjumpanya
keindonesiaan kita yang hebat ini: satu dalam nusa, satu dalam bangsa, dan
menjunjung satu bahasa: bahasa Indonesia!
Tidak atau belum pernah ada
satu pun bangsa di dunia ini mengangkat sumpah bersatu seperti sumpah kita.
Sumpah ini tidak hanya ringkas, sumpah itu telah melintasi bahkan melampaui
zamannya. Akan tetapi, dalam kekinian, sumpah itu tampaknya telah mengalami
pelapukan yang lamat-lamat bisa mengeroposi keindonesiaan kita.
Pelapukan bangsa
Bila membaca pola segregasi
yang terjadi pada masyarakat dan juga elite dalam pengalaman kita memilih
pemimpin, terutama di tingkat lokal, tampaknya kita sedang menyaksikan suatu
”turbulensi” sosial yang sedang mengguncang perlahan, tetapi laten atas
semangat kebangsaan yang bineka. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah
misalnya, preferensi sebagian (besar) pemilih memilih pemimpin berdasar
relasi keseasalan—suku, dan agama—telah mendorong pemilihan kepala daerah
mirip pemilihan pemimpin kelompok.
Kecenderungan ini semakin
tampak pada daerah-daerah di Indonesia yang tinggi diversitas genealogi
sosio-kulturalnya. Belum lagi kalau elite pada saat yang sama karena dorongan
”syahwat” berkuasa yang menggebu-gebu dengan sadar memainkan tirakat politik
identitas.
Pada keadaan semacam ini, cara
komunikasi, argumentasi, jargon, bahkan agitasi politik berdasar semangat
kelompok tak terelakkan. Sudah begitu, pengenyahan, penegasian terhadap
konstituen pemilih dan calon pemimpin lain jadi semacam ritus niscaya yang
memang harus dipraktikkan meraup kemenangan.
Jembatan sosial
Kita sudah paham,
sepaham-pahamnya bahwa sumpah menjunjung bahasa persatuan untuk menegakkan
keindonesian kita yang majemuk ini adalah bahasa Indonesia.
Kita pun sudah paham betul,
bahkan mendapatkan pengalaman kebangsaan, bahwa bahasa negara-bangsa ini
telah begitu kuat memperjumpakan kita, mengantarkan kita ke ruang-ruang
percakapan yang membuat kita berhasil membangun bangsa yang begini bineka.
Keindonesiaan begitu rekat karena kita bertukar-pikiran, mentransmisikan
pengetahuan, membangun keadaban, membentuk kecerdasan melalui kelas-kelas
pembelajaran, memajukan ilmu pengetahuan, memajukan kesenian dan karya
kreatif karena kita sama-sama menggunakan bahasa negara-bangsa ini.
Selama 89 tahun (1928) atau 72
tahun (1945) bahasa negara-bangsa ini telah berhasil merangkum kita ke dalam
satu ruang-sadar kebangsaan yang dimanis. Bahkan, ”Islam Nusantara” dan
”Islam yang Berkemajuan” pada etos dinamis Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
dalam kerangka penguatan bangunan keindonesiaan yang bineka ini pun karena
kita dengan canggihnya menggunakan bahasa negara-bangsa sebagai ruh
diskursusnya.
Kalau demikian, sebagai bahasa
pergerakan dan perjuangan, bahasa Indonesia tidak sekadar menjadi instrumen.
Ia telah meneguhkan dirinya sebagai ”wacana penjumpa” yang dengan
keegaliterannya telah menjadi jiwa bagi pemajuan demokrasi kita.
Misalnya, saat-saat ketika kita
saling-silang pendapat, mengalami gangguan kebangsaan, menyelesaikan
konflik-konflik di aras nasional dan lokal, bahasa negara-bangsa ini kita
gunakan. Bahasa negara-bangsa ini telah menjadi ”jembatan sosial” pelerai,
bahkan pendamai.
Tidak dapat dibayangkan, bila
ada konflik di antara kita, lalu masing-masing kita memilih bahasa lokal
sebagai jembatan penyelesai konflik. Alih-alih menyelesaikan, kita malah
menyulut perpecahan karena bahasa yang kita pilih adalah ”bahasa kami”, bukan
”bahasa kita”.
Kalau demikian pula, kesangsian
macam apa lagi yang membuat kita menganggap urusan bahasa negara-bangsa ini
adalah perkara remeh-temeh! Kepongahan macam apa lagi yang membuat kita
menganggap bahasa negara-bangsa ini hanyalah kewajiban sekelompok orang yang
sibuk mengurusi soal ”baik dan benar” dalam bertutur?
Kesombongan macam apa lagi yang
membuat kita menganggap bahasa negara-bangsa ini urusan yang tidak ngefek
kepada isi kantong kita? Nalar sesat macam apa lagi yang sedang kita
”rituskan” bahwa anak-anak kita belajar dan mencintai bahasa negara-bangsa
ini bukanlah jalan bagi penanaman akal-budi dan jati diri bangsa?
Bangsa lamur
Semangat memilih kepala daerah
seperti mirip pemilihan pemimpin kelompok telah melamurkan kita dari
pentingnya merawat bangunan kebangsaan yang bineka ini. Karena ”rabun jauh”,
myopic, itu pulalah yang membuat elite politik kita tengah mempraktikkan
politik identitas yang menyegregasi warga berdasar relasi primordial.
Dalam praktik politik seperti
ini, elite melihat bangsa ini dalam fragmen siklus pemilihan pemimpin; dan
karena itu mereka sesungguhnya sedang melapukkan sumpah kebangsaan, sumpah
yang tidak saja melintasi tetapi juga melampui sejarah pendirian dan pemajuan
bangsa ini.
Abai pada kehebatan ”sumpah
menjunjung bahasa persatuan” yang telah merekatkan kita sampai jelang satu
abad ini membuat kita lamur dan membiarkan ruang-ruang publik adalah tempat
berjayanya bahasa asing dan tersekapnya bahasa Indonesia.
Padahal, kita tentu saja tidak
bisa membayangkan apa yang terjadi sekarang bila sumpah kedua dan ketiga
dalam Sumpah Pemuda 1928 adalah berbangsa-berbahasa satu bangsa-bahasa
Melayu, Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, atau bangsa-bahasa lainnya di
timur Indonesia. Bisakah Indonesia sebagai negara-bangsa seperti sekarang?
Dengan mempraktikkan cara
memilih kepala daerah seperti pemilihan pemimpin kelompok dan pengabaian atas
bahasa negara-bangsa di ruang-ruang publik, kita sesungguhnya sedang
melapukkan sumpah yang telah menghebatkan kita itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar