Kaleidoskop
Otonomi Daerah
Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi;
Ketua Klaster DeLOGO
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
30 Oktober
2017
Dalam tahun 2017, berturut-turut
dalam konteks otonomi daerah, bangsa Indonesia mengecap sejumlah peristiwa.
Peristiwa itu mulai dari
pelaksanaan pilkada serentak, penangkapan beberapa kepala desa terkait dana
desa, dicokoknya sejumlah kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), mencuatnya kembali usulan pemindahan ibu kota RI, rendahnya daya serap
APBD sejumlah daerah, hingga aroma Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019
yang kian menguat. Diprediksi 2018 adalah ajang politik nasional dan lokal
untuk mengambil hati masyarakat Indonesia. Tentu ini berimplikasi signifikan
terhadap praktik otonomi daerah (otda) ke depan. Oleh karena itu, kita harus
cermat mengkajinya untuk membawa perbaikan kehidupan berbangsa Indonesia.
Keunggulan
Otda menjadi tujuan dalam
bernegara yang membawa kepada kemandirian bangsa, demokratisasi pemerintahan,
efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan yang berujung pada
kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkannya dikembangkan kebijakan
desentralisasi yang efektif yang merupakan salah satu instrumen negara bangsa
dalam meraih berbagai tujuan.
Sebagai salah satu instrumen,
sepanjang 2017, pelaksanaan kebijakan desentralisasi tak menimbulkan eskalasi
politik yang mengarah pada separatisme. Isu yang muncul dalam pilkada
serentak menyentuh nilai-nilai kebangsaan, tetapi justru pertanda kuatnya
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sinyal kebangsaan Pilkada Serentak
2017 adalah sinyal begitu cintanya elemen bangsa Indonesia kepada persatuan
dan kesatuan bangsa, bukan untuk separatisme.
Dalam tahun 2017, harapan
meningkatkan kapasitas nasional menghadapi persaingan global pun tinggi
hingga menyentuh praktik pemerintahan tingkat lokal. Kecanggihan teknologi
salah satu faktor yang turut-serta mendorong hal ini. Namun, kesadaran lokal
terhadap standar internasional sudah dirasakan masyarakat di tingkat akar
rumput adalah faktor utama.
Sejumlah pemerintah daerah
(pemda) memanfaatkan faktor ini untuk membenahi manajemen internal pemdanya
untuk perbaikan pelayanan publiknya. Tak ragu-ragu pula beberapa pemda
menawarkan potensi-potensi kekayaan lokalnya ke tingkat internasional dan
daerah-daerah itu melakukan benah diri secara terus-menerus untuk
meningkatkan ketertarikan global, tidak didominasi daerah-daerah yang telah
lama menjadi primadona internasional.
Pemerintah pusat dimotori
Presiden Jokowi memusatkan secara serius pada kesiapan infrastruktur
nasional, terutama infrastruktur transportasi, baik darat, laut, maupun
udara. Membenahi kelembagaan tata kelola investasi, baik lokal maupun nasional,
juga menjadi perhatian Presiden Jokowi. Daerah-daerah otonom di Indonesia,
baik provinsi maupun kabupaten/kota, bahkan sampai desa ”terpaksa” ikut irama
dirigen tunggal nasional kepala pemerintahan RI.
Pelan tapi pasti, tampak
signifikansi pembangunan nasional di bawah pemerintahan Jokowi pada 2017 ini
sebagai modal menghadapi 2019 untuk meraih tahap berikutnya. Bangsa Indonesia
kini merasakan hampir semua unit pemerintahan giat melakukan pembangunan
fisik, mulai dari prasarana kantor hingga prasarana fisik lain, seperti
selokan, prasarana umum, jalan penghubung, dan jalan raya. Ini perkembangan
menggembirakan dalam memudahkan gerak dan kenyamanan hidup masyarakat.
Beberapa koreksi
Harapan kepada Jokowi sebagai
mantan wali kota dan gubernur membenahi otda di Indonesia sungguh sangat
besar. Otda di Indonesia harus ditata dengan bersandar pada
pengalaman-pengalaman yang dirasakan sendiri oleh Jokowi selama menjadi
pemimpin di daerah.
Namun, yang terjadi, daerah
otonom menghadapi sejumlah hal sepanjang 2017 yang membawa berbagai dinamika
lokal cukup serius, dan membutuhkan perhatian kembali. Pada awal 2017,
Presiden menilai sejumlah perda bermasalah dan harus dicabut, tetapi sampai
kini ditentang sejumlah daerah. Presiden Jokowi juga menarik kebijakan
reklamasi pantai Jakarta menjadi bagian dari wewenang nasional, dari semula
wewenang Pemprov DKI Jakarta dengan alasan untuk kawasan strategis nasional.
Pelan tetapi pasti wewenang
pemda dikurangi dengan pengawasan pemerintah pusat yang semakin terasa.
Terdapat penarikan sejumlah urusan daerah otonom dari kabupaten/kota ke
provinsi dan sejumlah urusan menjadi wewenang pemerintah pusat. Tata kelola
aparatur sipil negara (ASN) daerah otonom yang tak didasari model, visi, dan
misi manajemen ASN yang utuh amat terasa sejak diterapkan UU ASN. Pengelolaan
ASN daerah terasa cenderung top-down. Membuka politisasi pada jabatan tinggi,
baik di pusat maupun di daerah.
Hal ini menjadi momok yang
terus dibiarkan sepanjang pemerintahan Jokowi. Kebijakan-kebijakan itu adalah
warisan pemerintahan sebelumnya, tetapi terus dibiarkan Jokowi.
Belakangan Jokowi meminta pemda
mengalokasikan dana untuk gaji guru pendidikan anak usia dini (PAUD). Ini
jelas menimbulkan kompleksitas tersendiri dalam soal keuangan daerah. Dalam
hal ini, ada dua hal penting. Pertama, soal hubungan keuangan pusat dan
daerah. Kedua, soal public goods atau services. Ditilik dari keuangan negara,
materi urusan PAUD ini menjadi tanggung jawab pemda. Oleh karena itu, jikalau
didanai pemerintah, harus murni bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD)
atau dari APBD, bukan dari APBN. Ditilik dari substansi PAUD, jelas tidak
murni public goods. Sebagian diambil dari users fee orangtua murid.
Bukti nyatanya dari PAUD yang
ada, umumnya berdiri atas inisiatif antara lain yayasan, pribadi-pribadi, dan
atau sekumpulan anggota masyarakat tertentu, tetapi bukan pemda setempat.
Dapat dinilai hampir tak ada PAUD di bawah naungan pemda setempat. Jika ada
sekalipun, jumlahnya sangat sedikit, hanya di beberapa tempat saja. Dengan
demikian, imbauan Presiden dapat menuai penolakan dari pemda-pemda.
Warisan pemerintahan sebelumnya
yang dibiarkan juga adalah pengaturan terhadap kelembagaan desa yang tak
diimbangi pengaturan kelembagaan kawasan perkotaan yang semakin hari semakin
tidak terurus, terutama kota-kota besar.
Secara empiris, Indonesia
memiliki variasi tingkat perkembangan wilayah perkotaannya. Di Indonesia
terdapat sedikitnya lima kota besar, bahkan tergolong megalopolitan sebagian,
terdapat puluhan metropolitan, dan sedikitnya 800 kota menengah yang di
antaranya tanpa status kota. Namun, di tataran legal hanya berjalan kota-kota
otonom dengan status yang sama sederajat tanpa pembedaan skala. Bayangkan
saja, Pemerintah Kota Surabaya dengan salah satu pemerintah kota di Papua
yang amat kontras dari segi perkembangan fisik ataupun sosialnya disejajarkan
status tata kelola kelembagaannya. Ini disebut sebagai adanya fenomena
perbedaan antara “local-voice dan local-choice”. Hingga saat ini, dari sisi kelembagaan kota
tidak berimbang dengan fakta empirisnya.
Bahkan kini tumbuh subur
kota-kota baru yang dibangun pengembang swasta di seputar kota-kota besar di
Indonesia. Jelas hal ini membutuhkan pengaturan tersendiri. Dunia ini terus
bergerak menuju perkotaan sehingga tidak saja diatur mengenai desa, tetapi
juga kawasan perkotaan pun perlu diatur secara khusus. Isu ini malah membawa
ide dipindahkannya ibu kota RI ke tempat lain. Belum lama isu ini mulai
redup, kini diramaikan lagi dikembangkannya kota baru, Meikarta. Semakin
membawa karut-marut tata kelola pemerintahan lokal Indonesia.
Sudah saatnya bangsa Indonesia
tak membiarkan ketidakadilan di atas terus terjadi. Keinginan mewujudkan
pemerataan pembangunan dengan memindahkan ibu kota negara pun harus dipikir
masak-masak kembali jika pembenahan kota-kota Indonesia dapat berjalan
efektif, dimulai dari tata kelola kelembagaannya. Persoalan-persoalan itu
mampu menimbulkan persoalan lain yang lebih besar yang dapat mengganggu
reformasi Indonesia dalam menghasilkan pelayanan publik untuk masyarakat
Indonesia secara utuh. Jika dibiarkan terus-menerus tentu dapat mengganggu
diraihnya kesejahteraan masyarakat secara nasional. Presiden Jokowi tentu tak
ingin mendapat nilai tidak empatik dan kian jauh dari nilai-nilai bottom-up
dalam pelaksanaan otda di Indonesia
Belajar dari pengalaman
Presiden Jokowi perlu
mempertimbangkan pengalaman-pengalamannya sendiri sepanjang menjadi kepala
daerah. Dilanjutkan kemudian, memikirkan bagaimana pemerintah pusat memahami
persoalan-persoalan daerah dengan mengacu pada koridor NKRI secara utuh.
Refleksi terhadap pengalaman panjang praktik negara bangsa mengelola otda.
Dapat pula dilakukan model pembenahan daerah-daerah otonom dengan proyek
percontohan yang dimonitor Presiden secara langsung dengan membuat ruang otda
sebagai laboratorium. Di sini yang berperan tetap elemen-elemen di daerah
yang dipantau semua kebutuhannya oleh Presiden.
Keberhasilan ataupun kegagalan
dicatat dan diperhatikan betul oleh Presiden yang selanjutnya menjadi umpan balik.
Tentu keberhasilan nantinya harus dicontohkan untuk daerah-daerah berikutnya
setelah proyek percontohan tersebut. Tidak seperti sekarang yang terasa aroma
top-down-nya, dari Jakarta mengarahkan sejumlah program untuk diikuti daerah.
Perpaduan model pengalaman
bangsa Indonesia dengan pengalaman menjadi kepala daerah dapat dijadikan
acuan kebijakan ke depan pemerintahan Jokowi mengelola otda Indonesia yang
ideal. Diharapkan hal ini membawa kepada perbaikan kehidupan bangsa
Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar