Sabtu, 21 Oktober 2017

Politik Jaminan Kesehatan Nasional

Politik Jaminan Kesehatan Nasional
Hasbullah Thabrany ;   Tenaga Ahli pada Dewan Jaminan Sosial Nasional
                                                      KOMPAS, 19 Oktober 2017



                                                           
Dalam artikel Opini Kompas, 11 Oktober 2017, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Fachmi Idris mengindikasikan pemerintah tak mau menaikkan iuran dan bayaran ke fasilitas kesehatan. Alasannya, kenaikan akan membebani rakyat.

Kata “membebani rakyat” kerap digunakan banyak pihak untuk mendukung kepentingan politiknya. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dirancang untuk secara teknis profesional negara hadir memenuhi hak konstitusi rakyat. Sistem JKN dirancang tidak membebani APBN. Program JKN menggunakan mekanisme asuransi sosial (gotong royong) yang didanai sepenuhnya dari iuran peserta, bukan dari APBN.

Pemerintah hanya wajib membantu penduduk miskin dan tidak mampu yang disebut penerima bantuan iuran (PBI). Politik, dalam artian sempit parpol, tidak boleh ikut campur dalam JKN. Itulah yang diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS. Namun, kini JKN terperangkap dalam kepentingan politik.

Baik partai pendukung pemerintah maupun partai oposisi, sama-sama menggunakan “persepsi informasi” JKN sebagai dasar pengambilan keputusan. Politik adalah informasi dan kepentingan. Dalam kepentingan politik, persepsi informasi lebih penting daripada akurasi atau kebenaran informasi. Informasi keliru yang telah “dipersepsi benar” tampaknya masih mendominasi kebijakan JKN.

Peran BPJS Kesehatan

Perjalanan JKN yang terus diberitakan defisit selama empat tahun disikapi beragam. Tak bergemingnya pemerintah dan DPR untuk mengoreksi defisit bisa jadi merupakan indikasi ketidakpercayaan terhadap besaran defisit yang dikeluarkan BPJS Kesehatan. Sebab, tak ada pihak lain yang memverifikasi besarnya defisit. Selama ini BPJS tak transparan, sebuah pelanggaran terhadap UU SJSN. BPJS tak mau membagi data klaim kepada pemerintah ataupun Dewan Jaminan sosial Nasional yang ditugaskan UU BPJS sebagai pengawas eksternal. Bagaimana publik bisa yakin defisit sebesar itu terjadi?

Bisa jadi, pemerintah dan DPR menilai iuran PBI sudah berlebih. Selama ini BPJS mengungkap bahwa rasio klaim peserta PBI berkisar 60-70 persen dibandingkan dengan klaim ratarata semua peserta. Informasi itu sesungguhnya bias. Tak mungkin penduduk berpendapatan rendah lebih sehat sehingga klaimnya rendah. Kemungkinan besar yang terjadi peserta PBI tak menerima kartu peserta JKN-KIS atau kartu mereka tak valid sehingga tak bisa digunakan.

Sementara Kementerian kesehatan membayar 92,4 juta jiwa sebesar Rp 23.000 per orang per bulan tanpa verifikasi kartu diterima. Bantuan iuran pemerintah seharusnya sesuai dengan jumlah kartu JKN-KIS yang betul-betul valid diterima peserta. Melihat riwayat klaim peserta PBI, bisa jadi sebagian pejabat memercayai bahwa pemerintah membayar iuran PBI sudah berlebih, 30-40 persen atau berkisar Rp 5 triliun-Rp 10 triliun.

Jika angka kesakitan peserta PBI sama dengan peserta lain, secara riil Kemenkes telah membayar iuran PBI Rp 32.000-Rp 38.000 per peserta PBI yang menerima kartu valid. Akan tetapi, apakah ada bukti valid seberapa banyak dari 92,4 juta jiwa peserta PBI yang benar-benar menerima kartu yang valid?

Persepsi politis tentang kinerja BPJS yang tak efisien juga bisa berperan pada keengganan menaikkan iuran JKN. Pejabat Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) meminta BPJS melakukan efisiensi biaya operasional untuk mengurangi defisit. Kinerja BPJS menggalang pekerja penerima upah (PPU) terbukti masih rendah.

Pada Oktober 2013, sudah digelar konsensus BUMN bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sukabumi untuk mendaftarkan semua pegawai BUMN. Sampai kini, hal itu belum tercapai. Peraturan presiden mengenai JKN mematok pada Januari 2015 semua PPU sudah menjadi peserta. Sampai kini belum tercapai. Proporsi PPU tiga tahun terakhir tak berubah, sekitar 24 persen dari semua peserta. Lebih dari separuh peserta JKN adalah peserta PBI. Dalam kondisi seperti itu, diberitakan bahwa direksi BPJS menuntut pembayaran bonus. Maka, secara politis informasi defisit JKN sulit diyakini kebenarannya.

Jika persepsi politis masih terus menjadi dasar kebijakan, JKN akan terus kekurangan dana. Diperlukan keterbukaan dan komunikasi efektif tentang fakta JKN.

Profesi kesehatan jadi korban

Defisit JKN yang berkelanjutan akan menempatkan profesi kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan petugas fasilitas kesehatan) yang merupakan garis depan (front liner) menjadi korban pertama. Selanjutnya, peserta menjadi korban. Ketika emosi pasien sangat rendah karena penyakitnya dan lelah mengantre, maka mudah terjadi reaksi letupan emosional.

Tidak sedikit pasien peserta JKN menghujat dokter/fasilitas kesehatan yang dinilai kurang bersahabat. Sebagian pejabat pemerintah, petinggi BPJS, akademisi, dan politisi menuding dokter dan fasilitas kesehatan melakukan fraud. Fraud tentu dapat terjadi, tetapi seberapa besar? Banyak fasilitas kesehatan mengaku menerapkan kiat tertentu yang dituding fraud untuk mengoreksi bayaran CBG (sistem pembayaran dengan sistem “paket” berdasarkan penyakit yang diderita pasien) yang tidak menutup biaya. Benarkah?

Pihak BPJS Kesehatan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuktikan bahwa besaran bayaran CBG memadai dan fraud tidak terjadi. Gembar-gembor fraud atau moral hazard mengemuka sebagai biang keladi defisit JKN. Semua perdebatan yang terjadi lebih banyak bernuansa “politik bertahan” ketimbang mencari fakta yang akurat.

Besaran tarif kapitasi Rp 8.000 per peserta per bulan tak naik selama empat tahun, padahal inflasi selama itu mendekati 20 persen. Tarif tol selalu naik setiap dua tahun untuk mengoreksi inflasi. Subsidi listrik, elpiji, solar, dan pupuk yang dikelola BUMN selalu disesuaikan setiap tahun. Anggaran fasilitas kesehatan milik pemerintah (puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah) mendapat alokasi APBN/APBD yang juga naik setiap tahun.

Meski fasilitas kesehatan swasta sudah ditekan habis, ternyata defisit JKN masih terjadi. Pertimbangan politis tampaknya masih lebih dominan daripada pertimbangan teknis ekonomis. Sampai kini, harga keekonomian layanan kesehatan belum pernah dihitung dan disepakati bersama. Maka, gonjang-ganjing politik dalam JKN masih akan berlangsung. Ketika pemerintah ingin “tak memberatkan” rakyat dengan harga-harga tertentu, seperti BBM, listrik, gas, dan pupuk, pemerintah menyubsidi BUMN yang mengelola komoditas tersebut. Ketika pemerintah secara politis ingin “tidak memberatkan” rakyat dalam layanan kesehatan, dokter dan fasilitas kesehatan swasta dipaksa dibayar harga di bawah biaya (below cost).

Padahal, UUD 1945 mewajibkan negara memenuhi hak layanan kesehatan. Tidak ada hak BBM atau hak listrik dalam UUD. Anggaran subsidi PBI tahun 2017 hanya Rp 25 triliun, tetapi anggaran subsidi (yang tak diperintahkan UUD 1945) untuk BBM, elpiji, listrik, dan lain-lain mencapai Rp 135 triliun, di antaranya untuk subsidi BBM Rp 32 triliun dan subsidi listrik Rp 54 triliun.

Subsidi energi dianggap strategis dan harga keekonomiannya disepakati. Sementara layanan kesehatan tidak dianggap “strategis” dan belum disepakati harga keekonomiannya. Dalam kondisi seperti itu, kebijakan ditetapkan dengan pertimbangan “persepsi politis” yang lebih menonjol. Hanya keterbukaan informasi akurat tentang harga keekonomian yang disepakati bersama yang dapat menyelesaikan kemelut JKN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar