Mengharap
APBD Lawan Kemiskinan
M Arif Tasrif ; Kepala Unit Advokasi
Daerah, Pokja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K)
|
KOMPAS,
23 Oktober
2017
Sejak otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, dana transfer ke daerah terus bertambah, baik secara
nominal maupun persentase, terhadap total belanja APBN.
Harian Kompas (23/8)
menggarisbawahi perkembangan ini sebagai indikasi kian sentralnya peran daerah
dalam menentukan hasil pembangunan nasional. Namun, penting dicatat:
sepanjang periode yang sama, kinerja pembangunan di hampir semua daerah
ditandai masalah tipikal pelambatan laju penurunan tingkat kemiskinan.
Bahkan, tak sedikit yang sempat melewati tahun-tahun dengan angka kemiskinan
yang memburuk.
Efektivitas penanggulangan
kemiskinan di daerah memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Pun biaya
pembangunan tidak hanya berasal dari dana publik (APBD). Namun, APBD tidak
dapat dimungkiri merupakan instrumen kunci yang bisa memicu pertumbuhan
ekonomi dan mengendalikan inflasi di daerah- dua kondisi makro yang
substansial pengaruhnya pada pengurangan kemiskinan.
Lebih dari itu, APBD dapat
bekerja langsung menaikkan pendapatan masyarakat kurang mampu (miskin dan
rentan miskin) melalui belanja program pemberdayaan atau padat karya atau
melalui fasilitasi pengembangan usaha berskala mikro dan kecil. Individu,
keluarga, atau rumah tangga dari kelompok masyarakat tersebut juga masih
dapat memperoleh manfaat lain secara langsung dari belanja APBD, khususnya
dari alokasi bantuan ataupun jaminan sosial. Terutama ketika risiko-risiko
sosial tertentu akibat perubahan kebijakan atau gejolak ekonomi harus
dihindarkan dari mereka.
Ruang fiskal
Persoalannya, peningkatan
transfer ke APBD tidak serta- merta memperluas ruang fiskal daerah. Sumber
diskresi belanja daerah ini umumnya masih sangat tertekan oleh beban belanja
rutin pegawai. Padahal, dukungan APBD kian dibutuhkan untuk, misalnya,
memperluas manfaat dan cakupan penerima program nasional penanggulangan
kemiskinan yang sedang berjalan. Selain tentunya memperkuat intervensi lokal
dalam mengatasi determinan-determinan khas kemiskinan di daerah.
Masalah di sini menjadi
bertambah pelik karena ruang fiskal yang lebih luas pun ternyata belum
menjamin suatu daerah lebih mampu mengakumulasi belanjanya pada sektor-sektor
kunci penanggulangan kemiskinan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan,
dan perlindungan sosial. Pola hubungannya secara sederhana memperlihatkan
bahwa porsi akumulasi belanja tersebut justru menurun dengan meluasnya ruang
fiskal daerah.
Data menunjukkan masih banyak
daerah yang relatif miskin, dengan ruang fiskal relatif tinggi, tak mampu
memberi alokasi anggaran lebih signifikan pada belanja peningkatan
kesejahteraan.
Dari sisi perencanaan anggaran,
pekerjaan rumah terpenting bagi daerah adalah memenuhi syarat efisiensi dari
rencana belanjanya. Dengan asumsi ruang fiskal terbatas sekalipun, secara
teknis daerah dapat memperbaiki efisiensi belanjanya dengan meningkatkan
relevansi kegiatan atau program terhadap masalah kemiskinan yang dihadapi.
Sasaran (wilayah dan individu, keluarga, atau rumah tangga) dari kegiatan
atau program juga harus lebih tepat untuk memaksimalkan manfaat APBD bagi
masyarakat miskin dan rentan.
Di sisi lain, efisiensi
produktif dapat diupayakan dengan mempertimbangkan upaya replikasi
praktik-praktik terbaik program penanggulangan kemiskinan di daerah lain. Ini
untuk melengkapi upaya pemutakhiran standar biaya dari setiap komponen
kegiatan belanja.
Secara lebih luas, untuk
memperkuat efisiensi alokatif daerah perlu memastikan bahwa program
penanggulangan kemiskinan di setiap sektor merupakan bagian dari suatu paket
kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Implikasinya, daerah harus membangun suatu sistem data dan informasi yang
lebih luas agar capaian (dampak) program di setiap sektor bisa terus
terpantau.
Daerah juga harus mampu meredam
konflik kepentingan antarsektor yang biasa terjadi manakala redistribusi
sumber daya publik harus dilakukan untuk mencapai suatu tujuan bersama yang
lebih strategis.
Disiplin realisasi
Tingkat penyerapan anggaran di
daerah saat ini umumnya masih jauh dari level yang diharapkan. Ini terbukti
dari masih sangat besarnya agregat simpanan pemda yang mengendap di
perbankan, mencapai lebih dari Rp 220 triliun per Juli 2017 menurut data
Kemenkeu.
Ini problem serius, terutama
karena sebagian besar dari dana menganggur itu merupakan bagian dari anggaran
belanja modal, yang notabene sangat dibutuhkan, di samping belanja barang,
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru di
daerah. Rendahnya penyerapan juga dengan sendirinya akan menghilangkan
manfaat sebagian dana pembangunan, yang boleh jadi direncanakan untuk program
penanggulangan kemiskinan.
Tanpa mengabaikan faktor
penyebab lain, studi dari sejumlah daerah mengonfirmasi peningkatan kualitas
perencanaan di daerah sangat memengaruhi perbaikan tingkat penyerapan APBD.
Sebuah perencanaan yang baik bisa mendeteksi sejak awal kemungkinan kegagalan
realisasi anggaran. Perencanaan yang baik akan melibatkan proses penetapan
tujuan sekaligus cara (modus), tahapan, dan asumsi untuk mencapai tujuan
tersebut.
Alhasil, besar kecilnya manfaat
APBD bagi pengurangan kemiskinan di daerah tampaknya akan semakin banyak
ditentukan oleh kapasitas kelembagaan perencanaan dan pengendalian
pelaksanaan program-program kebijakan terkait di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar