Senin, 23 Oktober 2017

Efektivitas Presidensialisme dalam Jebakan Daftar Terbuka

Efektivitas Presidensialisme
dalam Jebakan Daftar Terbuka
August Mellaz ;   Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
                                            MEDIA INDONESIA, 17 Oktober 2017



                                                           
SECARA instrumental, kerangka legal pelaksanaan pemilu serentak 2019 telah disediakan dengan diundangkannya UU No 7/2017 tentang Pemilu.

Namun, bagaimana para aktor politik baik partai, caleg, dan capres memahami dan menerjemahkan pemilu serentak 2019, masih menyisakan tanda tanya besar.

Mengingat, ini kasus pertama dan belum ditemui preseden sebelumnya di Indonesia.

Harapan besar ingin dicapai melalui keserentakan, yaitu meminimalkan ekses bawaan presidensialisme multipartai.

Ekses itu meniscayakan hadirnya situasi, yaitu presiden beroleh legitimasi mayoritas pemilih, tetapi berkebalikan dengan kursi dukungan di parlemen.

Situasi itu memunculkan fenomena Parlamentarisierung des Praesidentialismus atau parlementarisasi sistem presidensial (Nolte, 2004).

Satu situasi, yakni berbagai agenda utama pemerintahan tidak lagi menjadi ranah eksklusif presiden, tetapi bergantung restu parlemen.

Sinyalemen tersebut menemukan relevansinya dalam model pemerintahan presidensialisme yang menganut prinsip penyatuan kekuasaan dan tujuan, alih-alih pemisahan kekuasaan dan tujuan.

Asumsi dasarnya, efektivitas pemerintahan terwujud dan hanya jika terjadi kolaborasi harmonis atau 'perkawinan' antara Presiden dan DPR dalam pengambilan kebijakan, utamanya pengesahan UU.

Kolaborasi harmonis ketika Presiden menikmati dukungan kekuatan signifikan di DPR. Prinsip itu tecermin dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, "Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama".

Coattails effect

Sebagai jalan keluar, negara-negara Amerika Latin -penganut presidensialisme multipartai-melakukan rekayasa politik dengan menyerentakkan pelaksanaan.

Melalui keserentakan, muncul fenomena coattails effect, yakni popularitas figur dan elektabilitas capres berdampak positif pada perolehan suara partai pengusung (Samuels, 2000).

Fenomena yang hadir dalam keserentakan pemilu tersebut diyakini menyediakan insentif memadai bagi efektivitas pemerintahan presidensialisme multipartai, karena legitimasi presiden terpilih kongruen dengan signifikansi kursi partai pendukung di parlemen.

Namun, berbagai pengalaman empiris dan kisah sukses negara-negara Amerika Latin, untuk konteks RI tetaplah sebuah misteri.

Sejauh ini terdapat tiga instrumen coattails effect yang disediakan UU.

Pertama, surat suara pasangan calon yang memuat tidak saja foto, nama, dan nomor urut pasangan calon, termasuk juga memuat tanda gambar partai atau gabungan partai pengusul, sebagaimana diatur Pasal 342 ayat (1) UU Pemilu.

Kedua, pelaksanaan kampanye pada Pasal 267 ayat (2) yang berlangsung simultan baik pileg maupun pilpres.

Ketiga, hari pemungutan suara yang bersamaan, sebagaimana diatur Pasal 347.

Daftar terbuka

Ada satu pertanyaan besar yang luput didalami, yaitu sejauh mana kompatibilitas sistem pileg dengan pemilu serentak.

Apakah skema daftar terbuka berbasis suara terbanyak, sudah tepat dengan kebutuhan serta tujuan keserentakan?

Pada pelaksanaan pemilu di RI, para caleg baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota menanggung beban selain memenangkan suara partai dan memastikan keterpilihan dirinya, termasuk pemenangan presiden.

Bedanya, ketika pileg dilakukan terpisah terdapat jeda bagi setiap caleg untuk fokus pada pemenangan partai dan keterpilihan dirinya. Sesudahnya fokus untuk pemenangan pilpres.

Ketika pemilu dilakukan pada hari bersamaan, dua cabang kekuasaan bukanlah variabel independen, mereka dependen satu dengan lainnya.

Hanya pendulumnya berbeda, yakni secara teoretis hasil pileg bergantung pilpres, bukan sebaliknya.

Namun, gejala teoretis itu terbantahkan melalui pertanyaan, apakah caleg dengan skema suara terbanyak hendaknya memikirkan keterpilihan dirinya atau presiden.

Situasi Pemilu 2019 total berbeda. Kemewahan berbentuk jeda waktu dan pembagian perhatian yang dulu hadir dan dimiliki caleg, absen pada momen itu.

Di saat bersamaan, sejak masa kampanye hingga waktu pemberian suara, nasib caleg dan pasangan calon ditentukan pada hari pemilihan yang sama.

Berkaca dari pengalaman negara-negara Amerika Latin, 13 dari 18 negara yang melaksanakan keserentakan menerapkan Daftar Tertutup untuk Pileg.

Dua negara, Bolivia dan Venezuela, menerapkan sistem proporsional berbasis personal model Jerman.

Meksiko sistem Campuran, dan Cile sistem Binominal, dan satu negara, Brasil menggunakan Daftar Terbuka.

Hasil ukur sejumlah indikator, seperti koalisi permanen berbasis program, konsentrasi sistem kepartaian, efektivitas, serta proporsionalitas hasil dan fragmentasi politik mendekati tujuan keserentakan.

Hanya satu negara, yaitu Brasil yang menunjukkan hasil sebaliknya (Payne, 2002).

Pilkada serentak 2018 penentu

Pada akhirnya, pemilu serentak 2019 akan ditentukan sejauh mana para aktor menerima dan memaknai constraint (batasan) terpasang.

Batasan pertama, pemilihan dua cabang kekuasaan pada hari yang sama.

Batasan kedua, pileg daftar terbuka berbasis suara terbanyak.

Pemahaman dan penerimaan dua batasan ini merupakan input penting bagi partai guna penentuan strategi hadapi pemilu serentak 2019.

Partai akan dihadapkan pada lanskap politik baru yang gambar detailnya masih direka-reka.

Kemampuan menjernihkan peta politik yang dihadapi merupakan penentu, bagaimana strategi alokasi dan distribusi sumber daya hendaknya dilakukan.

Taruhlah momen pilkada serentak 2018 di 171 daerah.

Momen politik itu akan beroleh signifikansinya sebagai basis pijak strategi politik partai hadapi pemilu serentak 2019.

Kemenangan gubernur dan bupati/wali kota merupakan modal tersendiri yang berkontribusi positif guna menjernihkan lanskap politik yang sedang direka.

Setidaknya peta teritorial, kinerja elektoral, serta kepala daerah terpilih jadi sumber daya yang difokuskan untuk pilpres.

Dampak selanjutnya, beban caleg berkurang dan berkonsentrasi hadapi pileg.

Dengan demikian, partai sejak jauh hari, secara terukur melakukan alokasi dan distribusi sumber daya menghadapi belukar pemilu serentak 2019.

Pada akhirnya, sebagai negara penganut presidensialisme, pilpres tetaplah jadi puncak hajatan politik, dan itu akan menyita segenap perhatian utama para aktor.

Oleh karena itu, pertukaran sinyal yang beri indikasi munculnya koalisi permanen dan berbasis program, asosiasi simbolis partai kepada figur potensial dan sebaliknya, tetaplah jadi informasi menarik dan dinanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar