Efektivitas
Presidensialisme
dalam
Jebakan Daftar Terbuka
August Mellaz ; Direktur Eksekutif
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD)
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Oktober 2017
SECARA instrumental, kerangka
legal pelaksanaan pemilu serentak 2019 telah disediakan dengan diundangkannya
UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Namun, bagaimana para aktor
politik baik partai, caleg, dan capres memahami dan menerjemahkan pemilu
serentak 2019, masih menyisakan tanda tanya besar.
Mengingat, ini kasus pertama
dan belum ditemui preseden sebelumnya di Indonesia.
Harapan besar ingin dicapai
melalui keserentakan, yaitu meminimalkan ekses bawaan presidensialisme
multipartai.
Ekses itu meniscayakan hadirnya
situasi, yaitu presiden beroleh legitimasi mayoritas pemilih, tetapi
berkebalikan dengan kursi dukungan di parlemen.
Situasi itu memunculkan
fenomena Parlamentarisierung des Praesidentialismus atau parlementarisasi
sistem presidensial (Nolte, 2004).
Satu situasi, yakni berbagai
agenda utama pemerintahan tidak lagi menjadi ranah eksklusif presiden, tetapi
bergantung restu parlemen.
Sinyalemen tersebut menemukan
relevansinya dalam model pemerintahan presidensialisme yang menganut prinsip
penyatuan kekuasaan dan tujuan, alih-alih pemisahan kekuasaan dan tujuan.
Asumsi dasarnya, efektivitas
pemerintahan terwujud dan hanya jika terjadi kolaborasi harmonis atau
'perkawinan' antara Presiden dan DPR dalam pengambilan kebijakan, utamanya
pengesahan UU.
Kolaborasi harmonis ketika
Presiden menikmati dukungan kekuatan signifikan di DPR. Prinsip itu tecermin
dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, "Setiap RUU dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama".
Coattails effect
Sebagai jalan keluar, negara-negara
Amerika Latin -penganut presidensialisme multipartai-melakukan rekayasa
politik dengan menyerentakkan pelaksanaan.
Melalui keserentakan, muncul
fenomena coattails effect, yakni popularitas figur dan elektabilitas capres
berdampak positif pada perolehan suara partai pengusung (Samuels, 2000).
Fenomena yang hadir dalam
keserentakan pemilu tersebut diyakini menyediakan insentif memadai bagi
efektivitas pemerintahan presidensialisme multipartai, karena legitimasi
presiden terpilih kongruen dengan signifikansi kursi partai pendukung di
parlemen.
Namun, berbagai pengalaman
empiris dan kisah sukses negara-negara Amerika Latin, untuk konteks RI
tetaplah sebuah misteri.
Sejauh ini terdapat tiga
instrumen coattails effect yang disediakan UU.
Pertama, surat suara pasangan
calon yang memuat tidak saja foto, nama, dan nomor urut pasangan calon,
termasuk juga memuat tanda gambar partai atau gabungan partai pengusul,
sebagaimana diatur Pasal 342 ayat (1) UU Pemilu.
Kedua, pelaksanaan kampanye
pada Pasal 267 ayat (2) yang berlangsung simultan baik pileg maupun pilpres.
Ketiga, hari pemungutan suara
yang bersamaan, sebagaimana diatur Pasal 347.
Daftar terbuka
Ada satu pertanyaan besar yang
luput didalami, yaitu sejauh mana kompatibilitas sistem pileg dengan pemilu
serentak.
Apakah skema daftar terbuka
berbasis suara terbanyak, sudah tepat dengan kebutuhan serta tujuan
keserentakan?
Pada pelaksanaan pemilu di RI,
para caleg baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota menanggung beban
selain memenangkan suara partai dan memastikan keterpilihan dirinya, termasuk
pemenangan presiden.
Bedanya, ketika pileg dilakukan
terpisah terdapat jeda bagi setiap caleg untuk fokus pada pemenangan partai
dan keterpilihan dirinya. Sesudahnya fokus untuk pemenangan pilpres.
Ketika pemilu dilakukan pada
hari bersamaan, dua cabang kekuasaan bukanlah variabel independen, mereka
dependen satu dengan lainnya.
Hanya pendulumnya berbeda,
yakni secara teoretis hasil pileg bergantung pilpres, bukan sebaliknya.
Namun, gejala teoretis itu
terbantahkan melalui pertanyaan, apakah caleg dengan skema suara terbanyak
hendaknya memikirkan keterpilihan dirinya atau presiden.
Situasi Pemilu 2019 total
berbeda. Kemewahan berbentuk jeda waktu dan pembagian perhatian yang dulu
hadir dan dimiliki caleg, absen pada momen itu.
Di saat bersamaan, sejak masa
kampanye hingga waktu pemberian suara, nasib caleg dan pasangan calon
ditentukan pada hari pemilihan yang sama.
Berkaca dari pengalaman
negara-negara Amerika Latin, 13 dari 18 negara yang melaksanakan keserentakan
menerapkan Daftar Tertutup untuk Pileg.
Dua negara, Bolivia dan
Venezuela, menerapkan sistem proporsional berbasis personal model Jerman.
Meksiko sistem Campuran, dan
Cile sistem Binominal, dan satu negara, Brasil menggunakan Daftar Terbuka.
Hasil ukur sejumlah indikator,
seperti koalisi permanen berbasis program, konsentrasi sistem kepartaian,
efektivitas, serta proporsionalitas hasil dan fragmentasi politik mendekati
tujuan keserentakan.
Hanya satu negara, yaitu Brasil
yang menunjukkan hasil sebaliknya (Payne, 2002).
Pilkada serentak 2018 penentu
Pada akhirnya, pemilu serentak
2019 akan ditentukan sejauh mana para aktor menerima dan memaknai constraint
(batasan) terpasang.
Batasan pertama, pemilihan dua
cabang kekuasaan pada hari yang sama.
Batasan kedua, pileg daftar
terbuka berbasis suara terbanyak.
Pemahaman dan penerimaan dua
batasan ini merupakan input penting bagi partai guna penentuan strategi
hadapi pemilu serentak 2019.
Partai akan dihadapkan pada
lanskap politik baru yang gambar detailnya masih direka-reka.
Kemampuan menjernihkan peta
politik yang dihadapi merupakan penentu, bagaimana strategi alokasi dan
distribusi sumber daya hendaknya dilakukan.
Taruhlah momen pilkada serentak
2018 di 171 daerah.
Momen politik itu akan beroleh
signifikansinya sebagai basis pijak strategi politik partai hadapi pemilu
serentak 2019.
Kemenangan gubernur dan
bupati/wali kota merupakan modal tersendiri yang berkontribusi positif guna
menjernihkan lanskap politik yang sedang direka.
Setidaknya peta teritorial,
kinerja elektoral, serta kepala daerah terpilih jadi sumber daya yang
difokuskan untuk pilpres.
Dampak selanjutnya, beban caleg
berkurang dan berkonsentrasi hadapi pileg.
Dengan demikian, partai sejak
jauh hari, secara terukur melakukan alokasi dan distribusi sumber daya
menghadapi belukar pemilu serentak 2019.
Pada akhirnya, sebagai negara
penganut presidensialisme, pilpres tetaplah jadi puncak hajatan politik, dan
itu akan menyita segenap perhatian utama para aktor.
Oleh karena itu, pertukaran
sinyal yang beri indikasi munculnya koalisi permanen dan berbasis program,
asosiasi simbolis partai kepada figur potensial dan sebaliknya, tetaplah jadi
informasi menarik dan dinanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar