Keadilan
Pajak atas Royalti Penulis
Gunadi ; Guru Besar Perpajakan
Fakultas Ilmu Administrasi UI
|
KOMPAS,
23 Oktober
2017
Fenomena Indonesia termasuk
kelompok negara dengan tarif tinggi Pajak Penghasilan badan dan orang pribadi
di ASEAN-dengan perkecualian Filipina-menyebabkan keluhan novelis Tere Liye
melalui Facebook (5/9/2017) atas potongan Pasal 23 Undang-Undang tentang
Pajak Penghasilan superneto (tanpa biaya) atas imbalan penulis buku (royalti)
cepat mendapat dukungan dari para pekerja seni, pelaku industri kreatif, dan
penulis.
Menanggapi keluhan ini,
Kementerian Keuangan menyiapkan formula pemajakan yang tepat atas penghasilan
profesi khusus, termasuk penulis yang dirasa kurang adil dari profesi lain.
De Jancster dan M Bird (2004) menyebut di negara dalam transisi ekonomi
dengan tingkat kepatuhan hukum rendah seperti Indonesia, kesederhanaan
(simplicity) pengaturan merupakan kunci efektif peningkatan kepatuhan wajib
pajak.
Sederhana dalam arti mudah
dipahami, dilaksanakan, dan dipatuhi wajib pajak, serta mudah diawasi dan
diadministrasikan oleh pemerintah. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut
royalti sebagai uang jasa yang dibayar penerbit buku kepada penulis.
Prinsip kemampuan bayar
Kevin Holmes (2007)
mengelompokkan royalti, dividen, dan bunga sebagai penghasilan pasif. Berbeda
dengan penghasilan aktif, seperti dari usaha, pekerjaan bebas dan kekaryaan,
penghasilan pasif tidak memerlukan partisipasi signifikan dari penerima. Oleh
karena itu, PPh-nya nyaris tanpa unsur biaya.
Pertanyaannya, apakah pemajakan
royalti atau imbalan penulisan buku seperti itu adil sesuai dengan prinsip
kemampuan bayar (ability to pay)?
Jika tidak adil atau berbeda (diskriminatif) dengan profesi lainnya, lalu
bagaimana sebaiknya? Musgrave (1994) menyebut dua prinsip pemajakan yang
adil, yaitu berdasar: (1) manfaat yang dinikmati (benefit principle) dan (2)
dibayar sesuai dengan kemampuan bayar dari wajib pajak (ability to pay).
Pumpkin (1973) menyebut prinsip
PPh berdasar kemampuan bayar itu harus: (1) dikenakan dari penghasilan neto
(net income) setelah dikurangi biaya untuk mendapatkannya, (2) berdasar
gunggungan komprehensif dengan hak kompensasi atas sumber negatif (netting
effect- unitary/global basis dengan kompensasi horizontal) tidak per jenis
atau skedul penghasilan (scheduler system; kecuali untuk kesederhanaan dan
diatur dengan UU). Selain itu, (3) jika dalam satu tahun hasil gunggungan
komprehensif negatif (rugi), harus ada kompensasi vertikal (loss carry over effect).
Pengertian penghasilan pasif di
Amerika, selain dividen, bunga, dan royalti, juga mencakup imbalan dari
kegiatan pasif seperti sewa dan bisnis tanpa partisipasi signifikan dari
penerima (International Tax Glossary, 2005).
Penjelasan Pasal 4(3)(h)
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) antara lain menyebut royalti
adalah jumlah yang dibayarkan sebagai imbalan atas penggunaan atau hak
menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, atau karya ilmiah, atau hak serupa
lainnya.
Secara eksplisit royalti
merupakan imbalan atas penggunaan hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Sebagai imbalan atas penggunaan HAKI, tentu secara kasatmata partisipasi
penerima imbalan minimal sehingga pengelompokan royalti sebagai penghasilan
pasif dapat dipahami. Namun, royalti sebagai imbalan kepada para penulis buku
tentu secara logika ada partisipasi aktif (menulis buku) dari penerima
sehingga ada biaya mendapatkan.
Karena ada partisipasi
perolehan pendapatan, maka sesuai prinsip keadilan PPh harus dikenakan
setelah dikurangi biaya untuk mendapatkannya. Biaya mendapatkan royalti
termasuk biaya penelitian dan pengembangan HAKI, serta biaya pendidikan dan
diklat peneliti (biasanya diamortisasi).
Karena jumlahnya tidak sedikit,
di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD) penghasilan royalti lintas batas (cross-border royalty) hanya kena
pajak di negara domisili penerima saja dan negara domisili pembayar royalti
tidak boleh memotong PPh.
Skema pemajakan baru
Pasal 23(1)(a) UU PPh meminta
pembayar royalti (penghasilan pasif) memotong pajak 15 persen atas jumlah
bruto, sedangkan Pasal 23(1)(c)2 meminta pembayar imbalan jasa teknik
(penghasilan usaha) dan jasa lain (diatur dengan/berdasarkan peraturan
menteri keuangan) sebesar 2 persen dari jumlah bruto.
Karena bersifat potongan
pendahuluan yang dapat dikreditkan dengan utang PPh sesuai Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan, agar terdapat relaksasi pemajakan, maka potongan
15 persen hanya berlaku atas royalti dari HAKI, sedangkan imbalan penulisan
buku atau profesi lain yang memerlukan partisipasi penerima dipotong pajak 2
persen dari jumlah bruto. Atas kuasa Pasal 23(2) UU PPh, pengaturan dapat
ditambahkan pada PMK yang sedang berlaku.
Biaya mendapatkan imbalan
penulisan dan sejenisnya dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak
penerima, selain pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan pengurang lain.
Tampaknya pemerintah akan menyamakan pola pemajakan profesi penulis dengan
dokter praktik di rumah sakit dengan norma penghitungan penghasilan neto
(NPPN) 50 persen dari imbalan/royalti diterima sehingga rasanya cukup
beralasan dan adil (equality)
sesuai profesi lain.
Pemberlakuan pemajakan nonfinal
(global bukan scheduler system)
dengan hak atas PTKP, kompensasi kerugian dan pengembalian pajak lebih bayar,
secara teori dan praktik lebih memberikan keadilan vertikal karena sesuai
prinsip ability to pay dan mencakup
jenis penghasilan komprehensif dan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar