Omong
Kosong di Era Revolusi Mental
Edbert Gani Suryahudaya ; Master Candidate of
Political Science and Political Economy at the London School of Economics and
Political Science (LSE),
United Kingdom
|
KOMPAS,
27 Oktober
2017
Kata ”revolusi mental” dari
masa kampanye hingga awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla begitu
menggema dan memberikan optimisme. Namun, tantangan yang tampaknya gagal
dideteksi sebelumnya datang menghampiri. Fundamentalisme, primordialisme, dan
populisme bersatu menjadi penyerang utama stabilitas politik Tanah Air.
Ketiganya tidak dapat kita
lepaskan dari mobilisasi opini yang terjadi di tengah masyarakat oleh
sekelompok golongan yang bermain pada tataran akar rumput dan menggunakan
media sosial serta internet secara umum. Tak jarang pula dengan sengaja
diutarakan di depan umum. Narasi-narasi yang dibangun sebagian besar
menyentuh sensitivitas horizontal dan merupakan ”omong kosong” belaka.
Kata itu saya pilih sebagai
padanan kata ”bullshit” yang dipakai akademisi dan praktisi media di
negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris dalam menganalisis
masyarakat post-truth. Penggunaan kata ini didasarkan pada sebuah narasi yang
dibuat tanpa memedulikan benar atau salahnya sebuah fakta dan dengan itu
berusaha menciptakan realitas semu. Ancaman utamanya terjadi ketika politisi
menggiring emosi tersebut tumbuh subur di budaya malas mencari tahu pada
konsumsi media.
Interpretasi revolusi mental
Narasi revolusi mental sering
dipadu-padankan dengan kata ”kerja, kerja, kerja”, yang berulang kali
disampaikan Presiden Jokowi. Dengan demikian, mental yang ingin dibangun
adalah mental kerja untuk mendukung pembangunan ekonomi sehingga tuntutannya
adalah profesionalitas kerja birokrasi dan juga masyarakat secara umum.
Karena itu, indikator utama
yang digunakan pemerintah adalah sudah seberapa jauh proyek infrastruktur
yang terkejar, sebagaimana adanya pembangunan jalan-jalan raya di daerah
terluar Indonesia dan pelabuhan-pelabuhan yang mulai beroperasi. Masyarakat
diajak bersama-sama fokus pada hal-hal itu.
Dampaknya, beredarnya omong
kosong yang lebih soal kata-kata tidak dipersiapkan dengan baik oleh
pemerintah. Kenyataannya, pembangunan tidak berjalan beriringan dengan
penguatan karakter masyarakat. Dengan kata lain, tidak terdapat relasi
positif antara semangat pembangunan oleh Jokowi dengan penguatan mental.
Keterlambatan gerak
Kelemahan utama pemerintah
dalam mengantisipasi berkuasanya omong kosong adalah minimnya strategi
politik pencegahan. Secara umum, politisi—dapat juga individu biasa—melihat
bahwa menunggu lawan untuk bertindak lebih dahulu adalah pilihan tepat.
Alasannya, dengan bertindak setelahnya kita bisa memiliki informasi yang
cukup akan strategi lawan, dan dengan demikian bisa memberikan respons yang
sesuai. Pandangan ini kurang tepat.
Hal ini dibuktikan oleh
perhitungan teori permainan (game theory). Pemain yang melangkah pertama
dengan sendirinya telah menyusutkan pilihan maksimal atau yang paling
memuaskan untuk diambil oleh pemain di giliran berikutnya. Dengan begitu,
pemain pertama telah membentuk batasan kemungkinan untuk bisa dimainkan oleh
pemain kedua. Inilah mengapa pencegahan selalu lebih baik dalam kancah
kebijakan.
Dalam Aksi Bela Islam, Presiden
menghampiri massa di tengah guyuran hujan. Beberapa waktu berselang, slogan
”Saya Indonesia, Saya Pancasila” dinaikkan. Hal ini diteruskan dengan
membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Ketiganya adalah manuver yang responsif. Namun, pada sisi lain, pemerintah
juga menampilkan strategi yang cenderung menunggu aksi lawan. Di sini kita
melihat revolusi mental tidak dipersiapkan sebagai strategi pencegahan dini.
Catatan dan rekomendasi
Perlu dipertimbangkan kembali strategi
penangkalan yang berbasiskan media sosial dengan lebih banyak menggapai
pemilih muda. Media sosial adalah lahan utama eksploitasi omong kosong.
Revolusi mental tak bisa lagi bersifat peristiwa semata. Diperlukan strategi
dalam mengajak masyarakat berperan aktif memobilisasi opini di media sosial.
Perlu diingat, pemblokiran bukanlah pilihan yang tepat. Karena itu, tak bisa
begitu saja menghilangkan pemikiran, karena kompetisi sebenarnya ada pada
tataran ide dan keberanian berdebat.
Tak kalah penting, diperlukan
penguatan relasi dengan lembaga penelitian dengan mendorong lebih banyak
penerbitan survei dan penelitian ilmiah yang dapat memberikan gambaran
pandangan masyarakat. Poin ini sangat strategis untuk diterapkan.
Kemenangan omong kosong terjadi
karena masyarakat berusaha dijauhkan dari narasi utama sehingga pemerintah
tidak bisa lagi melawannya dengan asumsi. Apabila demikian yang terjadi,
tindakan gegabah yang akan memberikan ruang eksploitasi untuk omong kosong.
Penelitian yang dimaksud tidak
bisa terbatas pada kepuasan ekonomi dan elektabilitas. Pandangan inilah yang
selama ini justru membuat kita terlena. Politik bersifat multidimensi dan
masyarakat tidak bergerak pada satu arah dalam mengukur kepuasan mereka
(utility). Tak jarang beberapa ukuran tidak memiliki asosiasi. Hal ini yang
rasanya membangun kebingungan beberapa kalangan dalam melihat hasil Pilkada
Jakarta.
Kita perlu mengikuti penelitian
politik di negara lain yang sedang mulai mengembangkan penilaian emosi di
masyarakat dalam rangka melihat peta persaingan politik. Pendekatan psikologi
politik dan ekonomi politik dibutuhkan untuk melihat kesiapan masyarakat
dalam menghadapi situasi ekonomi maupun situasi sosial tertentu. Gambaran ini
yang lebih mendesak dibandingkan elektabilitas semata dalam rangka melawan
arus populisme.
Untuk itu, kesadaran
intelektual akan dampak tindakan politik
tertentu perlu digunakan bukan semata dalam rangka memenangi kompetisi
politik, akan tetapi lebih dari itu adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
Peran survei politik seperti yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and
Consulting baru-baru ini seperti opini masyarakat tentang Negara Islam Irak
dan Suriah (NIIS) ataupun komunisme perlu diperbanyak lagi. Sebab, hal itu
yang lebih membantu dalam menangkal omong kosong di tengah masyarakat
sehingga sampailah kita pada masa di mana para intelektual diuji oleh etika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar