Tiga
Tahun Jaminan Sosial
Timboel Siregar ; Sekjen OPSI dan
Koordinator Advokasi BPJS Watch
|
KOMPAS,
20 Oktober
2017
Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan serta program Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua oleh BPJS Ketenagakerjaan saat
ini memasuki tahun keempat. Sementara, Jaminan Pensiun yang juga
diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan baru dimulai 1 Juli 2015.
Semua program itu merupakan
amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Meski pelaksanaan JKN didera defisit setiap tahun, secara umum JKN telah
memberikan manfaat bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Paling tidak rakyat
miskin berani berobat ke rumah sakit karena dijamin BPJS Kesehatan.
Presiden Joko Widodo ketika
masa kampanye pilpres menjadikan JKN sebagai salah satu program unggulannya.
Pemberian nama Kartu Indonesia Sehat (KIS)—yang menjadi simbol tambahan pada
kartu JKN sehingga menjadi JKN-KIS—merupakan identitas yang ingin ditonjolkan
Presiden Jokowi guna merealisasikan janji kampanyenya.
Kehadiran program Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan
Jaminan Pensiun (JP) secara signifikan mampu memberikan perlindungan kepada
peserta atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta. Dana kelolaan
keempat program tersebut turut mendukung APBN dengan mengacu Pasal 2 Ayat 1e
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 paling rendah 50 persen
dari seluruh jumlah investasi dana jaminan sosial ketenagakerjaan ditempatkan
di surat berharga negara.
Tentunya program jaminan sosial
ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik saat ini. Pengelolaan JKN masih
menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Kebijakan pembuatan regulasi
program JKK-JKm oleh Presiden Jokowi berdasarkan sektor tentunya tidak sesuai
dengan sembilan prinsip SJSN, demikian juga dengan kebijakan pencairan JHT
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tidak selaras dengan Pasal 35
Ayat (2) UU SJSN.
Persoalan program JKN
Persoalan pelaksanaan JKN
secara umum disumbangkan oleh tiga hal, yaitu regulasi, anggaran, dan kinerja
direksi BPJS Kesehatan. Kecenderungannya, regulasi operasional dibuat hanya
untuk mengatasi defisit pembiayaan JKN, bukan untuk memperbaiki pelayanan JKN
kepada rakyat. Regulasi kerap kali cepat berubah terkesan dibuat tanpa
melalui kajian yang baik dan tanpa melibatkan para pemangku kepentingan.
Kenaikan iuran peserta mandiri
kelas 3 menjadi Rp 30.000, diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19
Tahun 2016, harus direvisi dalam waktu singkat menjadi Rp 25.500 kembali,
setelah diprotes banyak pihak. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun
2016 yang mengatur tarif INA CBGs juga harus direvisi dalam waktu kurang dari
sebulan setelah diprotes asosiasi rumah sakit swasta dengan mengubah beberapa
tarif INA CBGs, padahal amanat Perpres No 19/2016 tarif INA CBGs diubah
paling cepat dua tahun.
Peraturan BPJS Kesehatan (Per
BPJSK) Nomor 4 Tahun 2014 yang mengatur masa aktivasi (diubah lagi menjadi
Per BPJSK Nomor 1 Tahun 2015), Per BPJSK Nomor 16 Tahun 2016 (pembayaran
iuran satu keluarga sekaligus), Per BPJSK Nomor 1 Tahun 2017 tentang
pemindahan peserta dari satu fasilitas kesehatan (faskes) pertama ke faskes
pertama lain tanpa seizin peserta, tentunya dibuat dalam rangka mengerem
defisit, tetapi menyulitkan peserta JKN di lapangan.
Dari sisi anggaran, dengan
mengalokasikan 5 persen APBN untuk kesehatan, seharusnya Presiden Jokowi bisa
meningkatkan iuran penerima bantuan iuran (PBI) pada 2018. Faktanya iuran PBI
pada 2018 tidak naik. Pada 2016 dan 2017, alokasi iuran PBI Rp 23.000 per
orang per bulan untuk 92,4 juta orang.
Sepatutnya Presiden mematuhi
Pasal 16I Perpres Nomor 111 Tahun 2013 yang mengamanatkan iuran PBI ditinjau
paling lama dua tahun sekali. Seharusnya iuran PBI 2018 dinaikkan menjadi Rp
36.000, sesuai hitungan aktuaria pada 2016.
Tentunya defisit JKN juga
disumbang oleh kinerja direksi BPJS Kesehatan. Beberapa target dalam Rencana
Kegiatan dan Anggaran Tahunan Juni 2017 gagal dicapai, seperti target iuran
Rp 40,4 triliun hanya mampu dicapai Rp 35,9 triliun, target kepesertaan 187,1
juta hanya bisa direalisasikan 178,3 juta peserta.
Dengan defisit Rp 3,3 triliun
(tahun 2014), Rp 5,7 triliun (2015), Rp 9,7 triliun (2016), dan Rp 6,5
triliun per 30 Juni 2017, sudah saatnya Presiden Jokowi mempertanyakan dan
memberikan penilaian terhadap kinerja direksi. Dengan pengawasan dan
penilaian itu, diharapkan terjadi perbaikan kinerja direksi.
JKK-JKm tercabik-cabik
Semangat gotong royong dalam
pelaksanaan JKN ternyata tidak diterapkan pada program JKK-JKm. Presiden
Jokowi menyetujui beberapa regulasi yang justru memosisikan pelaksanaan
JKK-JKm secara sektoral.
Kehadiran Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 44 Tahun 2015 tentang JKK-JKm bagi pekerja di luar penyelenggara
negara, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan; PP Nomor 70 Tahun 2015
tentang Program JKK-JKm bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dikelola PT
Taspen, dan UU Nomor 7 Tahun 2016 yang menyediakan Program JKK-JKm bagi
nelayan yang dikelola oleh PT Jasindo, menyebabkan program JKK-JKm
tercabik-cabik.
Akibatnya, tak terjadi gotong
royong dalam pembiayaan JKK-JKm dan konsekuensinya terjadi perbedaan manfaat
antarpekerja di sektor-sektor itu. Dengan bergotong royong, ketahanan dana
pembiayaan JKK-JKm akan lebih terjamin.
Mengacu pada Pasal 92 Ayat 2
dan Pasal 106 Ayat 2 UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN, seharusnya JKK-JKm bagi
ASN dilaksanakan dengan mengacu pada SJSN dan oleh karenanya JKK-JKm bagi ASN
dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, Pasal 5 Perpres No 109 Tahun
2013 juga mengamanatkan pengelolaan program JKK-JKm bagi ASN diserahkan
kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Sebenarnya kehadiran JKK-JKm
bagi nelayan yang ada dalam UU No 7/2016 merupakan amanat Pasal 14 Ayat (1)
dan Pasal 17 Ayat (5) UU SJSN. Pasal 14 Ayat (1) menyatakan pemerintah secara
bertahap mendaftarkan PBI sebagai peserta kepada BPJS, dan Pasal 17 Ayat (5)
menyatakan pada tahap pertama, iuran PBI dibayar oleh pemerintah untuk
program jaminan kesehatan. Mengacu pada dua pasal itu, seharusnya pengelolaan
JKK-JKm bagi nelayan diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Terkait program JHT, dengan
lahirnya PP No 60/2015 juncto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 19/2015,
maka filosofi JHT untuk menjamin pekerja di hari tua mengalami degradasi.
Dengan PP No 60/2015 tersebut, dana JHT dengan mudah dicairkan ketika pekerja
mengalami pemutusan hubungan kerja. Tentunya aturan dalam PP No 60/2015 itu
tidak selaras dengan isi Pasal 35 Ayat (2) UU SJSN.
Semoga dua tahun ke depan,
Presiden Jokowi bisa membenahi pelaksanaan jaminan sosial dengan memperbaiki
regulasi agar selaras dengan UU yang ada dan bisa menyejahterakan rakyat.
Jika semua program jaminan sosial berhasil ditingkatkan perannya dan
mendukung kesejahteraan rakyat, ini bisa menjadi modal bagi Pak Jokowi saat
mencalonkan lagi pada Pilpres 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar