Selasa, 17 Oktober 2017

Kewajiban Asasi Manusia

Kewajiban Asasi Manusia
Daoed Joesoef ;   Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
                                                      KOMPAS, 17 Oktober 2017



                                                           
Sekitar akhir September lalu ada warga kita yang nyaring meneriakkan ide hak asasi manusia dan menuntut agar diaktualisasi oleh pemerintah selaku penguasa negara. Dengan mewaspadai motivasi terselubung di balik teriakan itu, ”udang di balik batu”, ia pantas dipertanyakan!

Apakah kita, selaku human, hanya punya hak? Apakah sebagai warga komunitas manusia yang mengaku prihatin pada jalannya kehidupan bersama tak menyadari adanya ide kembar dari hak, yaitu kewajiban asasi?! Masalah hak asasi manusia dewasa ini adalah tak lain daripada cara baru dalam menyatakan suatu masalah lama, yaitu masalah besar dari moral.

Dan cara ini kiranya pantas diragukan. Betapa tidak. Yang merupakan masalah moral bukanlah the right of man,tetapi the right of others, termasuk the fundamental right of the earth, hak asasi bumi. Artinya, aku tak punya hak, hanya punya kewajiban dan ia semakin besar dengan meningkatnya pendidikan formal yang kualami. Aku punya hak hanya karena ada lian (pihak lain). Anda, misalnya punya kewajiban terhadap diriku. Karena kemujuran saja aku bisa berpartisipasi dalam hak asasi manusia, selaku human, berhubung kebetulan ada lian. Anda dan aku punya kewajiban persis sama. Jadi makhluk manusia lebih dulu punya kewajiban dan hanya hak lianlah yang diutamakan.

Manusia ditetapkan oleh Tuhan menjadi khalifah (wakil-Nya) di Bumi. Maka kewajiban asasi kita yang diniscayakan untuk dilaksanakan adalah merawat Bumi. Bumi ini bukan warisan Ibu Pertiwi yang boleh kita manfaatkan begitu saja, tetapi pinjaman kita dari anak cucu yang harus bisa dikembalikan dalam keadaan relatif utuh agar bisa pula mereka manfaatkan.

Melaksanakan kewajiban asasi memang tak mudah. Perlu ketekunan, ketabahan, dan intelectual sincerity, sebab pelaksanaan itu tak hanya membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga berhubung adanya godaan-godaan yang datang dari pihak setan. Ketika dia mendengar bahwa yang dipercayakan Tuhan jadi wakil-Nya di Bumi bukan malaikat, melainkan makhluk manusia, dia cemburu dan berang. Dia konon sejak itu bersumpah akan menggoda manusia terus-menerus.

Mengutamakan hak orang lain berlaku tak hanya di kala perang, tetapi juga di masa damai, seperti selama proses pembangunan berjalan berkelanjutan, pada saat kita bertugas di lingkungan legislatif, yudikatif, dan eksekutif, terutama dalam pelaksanaan pendidikan. Ini adalah satu-satunya kegiatan yang menyiapkan anak-anak membangun masa depannya sendiri yang relevan, yaitu tempat dia akan menjalani sisa hidupnya selaku generasi milenium. Maka proses didaktis ini perlu dikaji relevansinya. Mungkin ada pengetahuan dan nilai yang tak perlu dibelajarkan lagi (unlearn), ada yang perlu ditinjau ulang (relearn), demikian pula penjenjangan proses studinya sejak TK hingga perguruan tinggi (PT).

Ada yang mengatakan filsuf Nietzsche pernah berujar akan datang waktu di mana satu-satunya kebijakan pemerintah adalah kebijakan pendidikan. Jika demikian, bagi Indonesia, saat itu adalah sekarang ini, now or never, jangan diabaikan.

Hak asasi Bumi

Sejauh yang mengenai Bumi sudah lama kita mengabaikan hak asasinya. Kita lupa tentang kewajiban asasi human terhadap hak asasi Bumi tersebut. Padahal, kita saksikan sendiri betapa sistem ekologis kita semakin parah: tanah longsor, kekeringan di daerah hilir di mana membentang ranah perhatian, perbukitan dan tebing yang semakin gundul, pergerakan tanah. Kita sudah kehilangan the capacity to foresee and to forestall. Karena lalai dan tidak peduli, kita baru akan terhenti bertindak dengan sendirinya setelah menghancurkan Bumi.

Jelas bahwa makhluk manusia lahir di satu rentang waktu spesifik. Artinya, kita ditakdirkan menjalani hidup dan menempuh kehidupan di suatu jenjang tertentu dari nasib human yang mekar terus-menerus. Seorang individu tergolong pada satu generasi. Dia bahkan merupakan suatu substansinya. Dan setiap generasi berposisi tidak di sembarang lokasi, tetapi langsung dan cepat sudah generasi sebelumnya. Kenyataan ini mengindikasikan manusia hidup, berdaya, di level zamannya dan, lebih khusus lagi, di level dari ide zamannya. Jika dia hidup di level yang lebih rendah, bersendikan ide arkais, dia menyeret dirinya sendiri ke kehidupan yang lebih rendah, serba sumpek. Begitulah keadaan kita sekarang dalam terminologi ekologis, terutama di sektor urban. Mungkin di daerah-daerah terpencil belum begitu terasa, tetapi paling sedikit sudah bergerak ke ambang batas awal.

Jika kita stop sejenak langkah ke depan dan meninjau ke prasejarah, kita lihat bahwa nyaris setiap lenyapnya bentuk kehidupan atau spesies disebabkan satu atau sebuah kombinasi dari tiga elemen: spesialisasi intensif yang menjurus ke titik akhir evolusioner, kekuatan-kekuatan geologis atau iklim yang ternyata katastropis atau tindakan spesies lain yang bersikap permusuhan. Selama jutaan tahun pertarungan ke arah humanitas, bentuk kehidupan yang berupa manusia terelak dari jebakan spesialisasi. Spesies satu ini terus berubah dan beradaptasi pada suratan takdir human-nya, bisa mempertahankan opsi-opsinya. Dia juga dapat mengatasi elemen-elemen kehancurannya.

Ancaman ketiga perlu diperhitungkan keampuhannya. Ancaman itu tak lain daripada makhluk manusia itu sendiri. Dia sekaligus berupa pengancam dan yang terancam dek obsesi liar yang dimanjakan, yaitu ”menguasai bumi” dengan tetap mengaktualisasi kebebasan memilih. Dampak fatal dari obsesi liar itu sudah diingatkan oleh Kementerian Dalam Negeri AS sejak 90 tahun lalu. Kalau manusia masih punya kebebasan memilih dewasa ini manfaatkanlah ia ke arah sebaliknya sebagai suatu keharusan absolut guna mengelak dari nasib malang yang sudah dialami oleh dinosaurus dan hewan raksasa purba serupa lainnya.

Pedoman

Antropolog mengatakan manusia adalah produk dari evolusi jutaan tahun. Dia dibentuk secara harfiah oleh lingkungan alami di luar dan kekuatan hidup di dalam dirinya. Selama kurun waktu itu dia bertarung demi kelangsungan hidupnya. Sikapnya terhadap alam memang ambivalen sebab alam sekaligus teman dan musuhnya. Demi memenangkan pertarungan hidup-mati itu manusia memupuk ilmu pengetahuan dan dari sini mengembangkan teknologi. Namun, pelaksanaannya mengacaukan makna ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia lupa bahwa ilmu pengetahuan adalah pencarian kebenaran, sedangkan teknologi adalah alat/cara (means) untuk menerapkan kebenaran. Jika demi kebenaran ilmu pengetahuan dibolehkan relatif bebas, teknologi, yaitu penerapannya, perlu kontrol dan keseimbangan antara kearifan dan kebajikan.

Setelah menyaksikan perluasan dan frekuensi bencana alam yang ditayangkan televisi setiap hari, kian jelas kita perlu pedoman (guidelines). Namun, aparat pengarahan kita selalu memproyeksi hari esok di garis waktu horizontal dari hari ini. Jika hari esok menjadi hari ini, dalam kenyataannya, ia bisa menyimpang dari yang kita pikirkan. Teknologi yang membentuk masa depan ada di tangan kita.

Yang masih kita perlukan, pertama, cara/jalan politis dan sosial yang memberi arahan pada peralatan yang kita ciptakan tersebut. Kedua, diktum populer yang relatif mudah mengingatkan bahwa masa depan tidak di tangan nasib, tetapi di genggaman kita. Adalah maksud tulisan ini untuk menyajikan pedoman tadi.

Maka sebelum terlambat, berhentilah meneriakkan hak asasi manusia. Kita punya kewajiban moral terhadap masa depan. Marilah kita tegaskan kewajiban asasi human dan menjadikannya landasan untuk melestarikan lima unsur pokok alami, yang jika disebut satu per satu berinisial H, U, K, U, M, yaitu ”Hutan”, ”Udara”, ”Kali”, ”Unsur kekayaan alam (natural endowment)”, ”Membumi”. Hutan bagai paru-paru yang berfungsi selaku alat pernapasan dan khazanah dari aneka jenis flora dan fauna. Udara perlu dijaga jangan sampai tercemar. Pencemaran berdampak bagai pilek. Ia menyerang si kaya, si miskin, tua dan muda, penduduk urban dan sektor pedesaan. Berhubung menyerang siapa saja, ia berdampak global.

Kali adalah aliran dan persediaan air, baik yang berada di permukaan maupun di dalam bumi, di lapisan-lapisan dan pori-pori tanahnya. Air maha-penting bagi semua jenis kehidupan, baik konsumtif maupun produktif. Industri jelas perlu air berkualitas baik, jernih, dan belum tercemar. Namun, hak berproduksi bukanlah hak membuat polusi. Aliran air bukanlah saluran tempat pembuangan sampah. Ia bukan wadah alami bagi limbah beracun.

Unsur kekayaan alam yang adalah our natural endowment bukan warisan Ibu Pertiwi yang boleh kita lalap seenaknya, tetapi pinjaman dari anak cucu yang harus bisa kita kembalikan dalam keadaan relatif utuh hingga masih bisa mereka manfaatkan demi kelangsungan hidup. Membumi berarti merawat tanah sebab kita perlu tempat berpijak. Kita tak hidup di awang-awang. Dan tanah bukan aset yang tak berharga. Demi pemilikan sejengkal tanah orang rela mati—sedumuk bathuk senyari bumi. Semua inisial tadi jika dirangkai membentuk akronim ”HUKUM”, hukum mendasar dari kelangsungan hidup kita, the basic law of our survival.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar