Oh,
Amerika…
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 Oktober
2017
Menjelang akhir rezim Orde
Baru, sering terdengar sejumlah jenderal TNI ditolak masuk wilayah Amerika Serikat
karena diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan,
pascaperistiwa Dili, Timor Timur (kini Timor-Leste), pada 12 November 1991,
militer Indonesia terkena embargo AS (1995-2005). Pada 2014, Wakil Ketua
Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengungkapkan ada 7-8
jenderal yang pernah di-black list AS, antara lain Prabowo Subianto, Sjafrie
Sjamsoeddin, Wiranto, Pramono Edhie, dan Zacky Anwar Makarim.
Sekarang di zaman demokrasi,
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga ditolak masuk wilayah AS. Padahal,
Gatot bukanlah sembarang tokoh. Ia adalah orang nomor satu di militer
Indonesia. Meskipun sudah mengantongi visa, Gatot ditolak masuk AS beberapa
saat sebelum boarding di Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu (21/10). Padahal, Gatot
berangkat ke AS memenuhi undangan Kepala Staf Gabungan Militer AS Jenderal
Joseph Francis Dunford Jr dalam acara Chief’s of Defense Conference on
Country Violent Extremist Organization (VEOs). Apakah AS cari gara-gara?
AS memang terkenal strict.
Tidak mudah mendapatkan izin masuk negeri itu. Bahkan, warga negara yang
negaranya menjadi sekutu AS pun tak jaminan gampang masuk AS. Khalil Eideh,
anggota parlemen Negara Bagian Victoria, Australia, sudah merasakan. Meskipun
sudah memegang visa, ia ditolak masuk ke AS saat penerbangan dari Vancouver,
Kanada, menuju Denver, AS, 28 Juli lalu. Ia pun terpaksa berpisah dengan
koleganya sesama anggota parlemen yang melakukan kunjungan kerja ke AS soal
undang-undang tentang obat-obatan.
Tak ada penjelasan memuaskan. Mungkin
terkait kunjungan Eideh ke Suriah dan Lebanon. Padahal, ia memang punya
dwikewarganegaraan, Australia dan Suriah. “Saya punya ayah di Suriah, usianya
90 tahun, sudah tidak bisa melakukan perjalanan. Kami punya keluarga di
Lebanon dan Suriah, itu normal saja,” katanya kepada News Corps seperti
dikutip The Guardian Australia. Juga diduga terkait dukungan pada Bashar
al-Assad, penguasa Suriah, selain dituduh ada skandal dengan kelompok
kriminal. Soal dalih dan spekulasi, mungkin bisa apa saja.
Narendra Modi, pemimpin India,
sejak tahun 2005 juga ditolak masuk ke AS. Modi yang Hindu-Nasionalis
dianggap gagal menghentikan serangkaian kekerasan terhadap Muslim di Gujarat
pada 2002 saat Modi memimpin di negara bagian itu. Rupanya, aturan di AS yang
disahkan pada 1998 menyebutkan pejabat asing yang dianggap bertanggung jawab
atas “pelanggaran kebebasan beragama” dinilai tidak memenuhi syarat mendapat
visa. Modi baru bisa ke AS di era Donald Trump.
Lalu apa motif AS menolak
Jenderal Gatot Nurmantyo? Seperti juga kasus-kasus sebelumnya, penjelasan
kemungkinan tidak akan pernah memuaskan. Apakah ada kaitan Jenderal Gatot
Nurmantyo yang tengah naik daun, atau dekat dengan kelompok Islam, atau juga
AS tak ingin melihat militer kembali berkibar di panggung politik?
Masuk rumah orang tentu seizin
pemilik rumah. Tetapi, dalam pergaulan internasional, seharusnya ada alasan
dan klarifikasi. Jangankan ditolak tanpa sebab, terkena random check di
imigrasi saja sudah sangat menjengkelkan. Sering soal “nama” menjadi prasangka
sektarian. Apakah dunia ini akan terus dipenuhi prasangka dan ketidakadilan?
Dunia ini milik bersama, bukan milik Amerika semata. Oh, Amerika…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar