Senin, 23 Oktober 2017

Densus

Densus
Putu Setia ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                    TEMPO.CO, 21 Oktober 2017



                                                           
Mendengar kata detasemen khusus alias densus langsung terbayang hal yang menyeramkan. Sejumlah polisi dengan senjata lengkap menyerbu sebuah tempat. Dor... dor.... Lalu tergeletak satu atau dua orang sekarat bersimbah darah. Teroris dilumpuhkan.

Itulah hebatnya Densus Antiteror. Institusi khusus kepolisian Indonesia dengan personel pilihan, umumnya dari pasukan Brigade Mobil. Orang bisa berdecak kagum. Tapi apakah orang akan setuju jika polisi membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi alias Densus Tipikor? Belum tentu. Banyak orang berpendapat kepolisian tak seharusnya membuat Densus Tipikor. Termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Karena yang mengurusi korupsi sudah ada, sementara yang mengurusi teroris hanyalah kepolisian, bagian dari memberi rasa aman kepada masyarakat.

Untuk memberantas korupsi, orang masih percaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk justru dengan alasan, antara lain, polisi dan jaksa kurang gesit menindak koruptor. Kejaksaan punya bagian khusus menangani pidana korupsi. Polisi pun punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi di bawah Badan Reserse Kriminal Polri. Namun, karena keduanya "masih kurang gesit", maka dibentuklah KPK.

Kepolisian tinggal mengaktifkan Direktorat Tipikor jika berniat serius memberantas korupsi. Kenapa harus lembaga baru dengan personel demikian besar sampai 3.650 orang? Apalagi meminta anggaran Rp 2,69 triliun, jumlah yang mencengangkan, padahal anggaran KPK tak sampai Rp 1 triliun. Koruptor yang mana mau diperangi?

Bahwa fraksi-fraksi DPR mendukung wacana ini, hal yang mudah dibaca apa maunya. Sudah sejak dulu- ketika KPK menangkapi wakil rakyat yang korup- DPR mencari celah untuk melemahkan KPK. Mulai dari niat merevisi undang-undang tentang komisi antirasuah untuk mempereteli kewenangan KPK sampai pada munculnya Hak Angket tentang KPK. Tak mau menyerah karena publik tetap mendukung KPK, rupanya wakil rakyat berhasil "mengompori" kepolisian membentuk "pesaing KPK" lewat Densus Tipikor.

Polisi sebaiknya becermin lebih dulu, apakah wajahnya sudah benar-benar bersih untuk sampai berani mengusulkan Densus Tipikor? Masih banyak orang melihat polisi "tak begitu bersih", barangkali penglihatan yang dibayangi masa lalu. Masih membekas dalam ingatan, ada jenderal polisi yang dihukum karena korupsi, justru yang memimpin Bareskrim. Misalnya, Brigjen Samuel Ismoko (Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim), Komjen Suyitno Landung dan Komjen Susno Duadji (keduanya Kepala Bareskrim). Belum lagi korupsi kakap yang dilakukan Irjen Djoko Susilo dalam proyek pengadaan simulator SIM.

Lalu, karena wacana Densus Tipikor geraknya sampai ke pedesaan, bagaimana menghapus bayangan masyarakat adanya polisi yang menjadi backing judi- dari togel sampai adu ayam- dan "polisi jalanan" yang merazia kendaraan dengan memberi surat tilang abal-abal sambil meminta menitipkan denda?

Kesan buruk ini harus dibenahi dulu sebelum polisi bertindak jauh ikut bersih-bersih negeri lewat densus. Lalu mulailah mengaktifkan Direktorat Tipikor dan tangkap lebih banyak para koruptor. Ada pula Tim Saber Pungli di mana polisi sebagai penggeraknya, bagaimana hasilnya, sudahkah pungutan liar berkurang? Jika di situ polisi sukses, baru meminta anggaran lebih banyak dan wacanakan status lebih tinggi dari direktorat menjadi densus. Pada ujungnya, jika polisi dan jaksa sudah dipercaya, KPK sebagai "lembaga terobosan" bisa saja hanya dijadikan lembaga koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar