Densus
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
21 Oktober
2017
Mendengar kata detasemen khusus
alias densus langsung terbayang hal yang menyeramkan. Sejumlah polisi dengan
senjata lengkap menyerbu sebuah tempat. Dor... dor.... Lalu tergeletak satu
atau dua orang sekarat bersimbah darah. Teroris dilumpuhkan.
Itulah hebatnya Densus
Antiteror. Institusi khusus kepolisian Indonesia dengan personel pilihan,
umumnya dari pasukan Brigade Mobil. Orang bisa berdecak kagum. Tapi apakah
orang akan setuju jika polisi membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana
Korupsi alias Densus Tipikor? Belum tentu. Banyak orang berpendapat
kepolisian tak seharusnya membuat Densus Tipikor. Termasuk Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Karena yang mengurusi korupsi sudah ada, sementara yang
mengurusi teroris hanyalah kepolisian, bagian dari memberi rasa aman kepada
masyarakat.
Untuk memberantas korupsi,
orang masih percaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi ini dibentuk
justru dengan alasan, antara lain, polisi dan jaksa kurang gesit menindak
koruptor. Kejaksaan punya bagian khusus menangani pidana korupsi. Polisi pun
punya Direktorat Tindak Pidana Korupsi di bawah Badan Reserse Kriminal Polri.
Namun, karena keduanya "masih kurang gesit", maka dibentuklah KPK.
Kepolisian tinggal mengaktifkan
Direktorat Tipikor jika berniat serius memberantas korupsi. Kenapa harus
lembaga baru dengan personel demikian besar sampai 3.650 orang? Apalagi
meminta anggaran Rp 2,69 triliun, jumlah yang mencengangkan, padahal anggaran
KPK tak sampai Rp 1 triliun. Koruptor yang mana mau diperangi?
Bahwa fraksi-fraksi DPR
mendukung wacana ini, hal yang mudah dibaca apa maunya. Sudah sejak dulu-
ketika KPK menangkapi wakil rakyat yang korup- DPR mencari celah untuk
melemahkan KPK. Mulai dari niat merevisi undang-undang tentang komisi
antirasuah untuk mempereteli kewenangan KPK sampai pada munculnya Hak Angket
tentang KPK. Tak mau menyerah karena publik tetap mendukung KPK, rupanya
wakil rakyat berhasil "mengompori" kepolisian membentuk
"pesaing KPK" lewat Densus Tipikor.
Polisi sebaiknya becermin lebih
dulu, apakah wajahnya sudah benar-benar bersih untuk sampai berani
mengusulkan Densus Tipikor? Masih banyak orang melihat polisi "tak
begitu bersih", barangkali penglihatan yang dibayangi masa lalu. Masih
membekas dalam ingatan, ada jenderal polisi yang dihukum karena korupsi,
justru yang memimpin Bareskrim. Misalnya, Brigjen Samuel Ismoko (Direktur II
Ekonomi Khusus Bareskrim), Komjen Suyitno Landung dan Komjen Susno Duadji
(keduanya Kepala Bareskrim). Belum lagi korupsi kakap yang dilakukan Irjen
Djoko Susilo dalam proyek pengadaan simulator SIM.
Lalu, karena wacana Densus
Tipikor geraknya sampai ke pedesaan, bagaimana menghapus bayangan masyarakat
adanya polisi yang menjadi backing judi- dari togel sampai adu ayam- dan
"polisi jalanan" yang merazia kendaraan dengan memberi surat tilang
abal-abal sambil meminta menitipkan denda?
Kesan buruk ini harus dibenahi
dulu sebelum polisi bertindak jauh ikut bersih-bersih negeri lewat densus.
Lalu mulailah mengaktifkan Direktorat Tipikor dan tangkap lebih banyak para
koruptor. Ada pula Tim Saber Pungli di mana polisi sebagai penggeraknya,
bagaimana hasilnya, sudahkah pungutan liar berkurang? Jika di situ polisi
sukses, baru meminta anggaran lebih banyak dan wacanakan status lebih tinggi
dari direktorat menjadi densus. Pada ujungnya, jika polisi dan jaksa sudah
dipercaya, KPK sebagai "lembaga terobosan" bisa saja hanya dijadikan
lembaga koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar