Senin, 23 Oktober 2017

Bekerja di Musim Pancaroba

Bekerja di Musim Pancaroba
Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                            MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2017



                                                           
TIGA tahun sudah pemerintahan Jokowi-JK berjalan. Tak mudah menyusuri perjalanan panjang lima tahunan di tengah tekanan yang datang tak berkesudahan. Jokowi dengan segala plus-minusnya tetap melangkah menjaga momentum kepercayaan publik di samudra kepentingan ragam kekuatan. Memasuki tahun keempat, artinya Jokowi memasuki musim pancaroba politik, mengingat tahapan kontestasi elektoral 2019 sudah berjalan. Semua kekuatan politik mulai melancarkan lagi ragam strategi guna menjaga eksistensi mereka di kemudian hari. Musim kontestasi datang lebih dini, seiring perubahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan berbarengan.

Menjaga kepercayaan

Kondisi politik kerap berubah cepat seiring dengan suhu yang memanas diiringi relasi antago­nistis yang mengemuka tak hanya di level elite, tapi juga di kalangan warga biasa. Musim pancaroba butuh daya tahan karena perubahan menuntut kondisi prima untuk mengatasi masalah bersama-sama. Sepanjang 2017, sejumlah peristiwa politik mewarnai perjalanan pemerintahan Jokowi-JK. Tekanan bergelombang datang, misalnya eskalasi penyelenggaraan pilkada serentak gelombang II di 101 daerah. Efek domino kasus penodaaan agama di pilkada DKI Jakarta yang menstimulasi aksi bela Islam membuat Jokowi harus bekerja ekstra keras mengelola komunikasi politik agar tak terjebak dalam titik episentrum gempa opini publik berskala nasional tersebut.

Gegap gempita perbincang­an warga pun berlanjut di sejumlah isu lain. Misalnya saja soal Perppu No 2/2017 tentang Ormas, pembubaran HTI, polemik UU Pemilu, penetapan tersangka Setya Novanto, dan sejumlah isu-isu lain yang kerap melahirkan sejumlah paradoks di panggung politik nasional. Dalam menyikapi masyarakat yang terfragmentasi seperti ini, James Stanyer dalam Mo­dern Political Communication (2008), menyarankan agar ada rekonseptualisasi hubungan dengan warga dan beradaptasi dengan perubahan. Hubungan dengan warga harus diletakkan dalam koridornya yang tepat, mana informasi dan mana propaganda, mana yang ‘sampah’ dan mana yang ‘nutrisi’.

Adaptasi dengan perubahan terutama dalam perbincang politik warga di ragam kanalnya harus dilakukan Jokowi agar tak terjebak pada skenario para pihak yang meng­hendaki Jokowi ‘lumpuh layu’ dari kepercayaan publik yang menjadi modal sosialnya. Rekonseptualisasi itu antara lain mengubah gaya komunikasi politik istana dan presiden dari gaya structuring style yang mengelola power dan memapankan kuasa presiden, ke gaya equalitarian style, yakni presiden memosisikan kesataraan dengan warga yang dipimpinnya. Jokowi tetap rajin blusukan, menyerap aspirasi, berdialog dengan beragam kantong warga biasa, dan mengelola hubungan baik dengan tokoh maupun organisasi kunci yang ada di masyarakat.

Posisi Jokowi di tiga tahun perjalanannya masih mendapatkan modal kepercayaan publik memadai. Hal ini bisa terlihat di sejumlah hasil survei opini publik beberapa lembaga survei. CSIS melakukan survei pada 23-30 Agustus terhadap 1.000 responden yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya menunjukkan ada peningkatan kepuasan publik pada kinerja Jokowi. Tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja Jokowi di 2015 sebesar 50,6%. Kemudian pada 2016 naik menjadi 66,5% dan pada 2017 naik menjadi 68,3%.

Data lainnya ialah survei SMRC medio 3-10 September 2017. Hasilnya angka kepuas­an publik atas kinerja Jokowi September 2017 sebesar 68%. Angka yang hampir sama juga kita dapatkan dari hasil survei Indikator Politik Indonesia. Dalam survei 17-24 September 2017, 68,3% responden mengaku puas dengan kinerja Jokowi-JK. Menjaga kepercayaan tentu menjadi salah satu agenda Jokowi di musim pancaroba seperti saat ini. Dalam praktik keseharian, kepercayaan bisa naik bisa juga turun. Salah satunya akan sangat dipengaruhi dinamika opini publik yang berkembang. Opini publik selalu terbangun dari tiga komponen utama. Pertama credulity, yakni soal percaya atau tidak. Apakah publik percaya atau sebaliknya mulai menyangsikan kiprah Jokowi dan kabinet kerjanya.

Kedua reliance, yakni tingkat pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Sesuatu yang sudah dipercayai belum tentu dianggap penting oleh publik. Jika kepercayaan saja belum menggaransi, apalagi kalau publik sudah tak memercayai pemerintah. Jalan terjal membentang karena Jokowi akan kesepian dan tak bisa mengge­rakkan kekitaan dalam model demokrasi-partisipan. Ketiga, nilai kesejahteraan (walfare values). Hampir seluruh opini terkait dengan apa yang dirasakan dan di­upayakan publik menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Di sinilah letak pentingnya kerja nyata Jokowi-JK menyejahterakan warga. Hal ini tak hanya bisa dengan kata-kata retorika, tetapi butuh kerja, kerja, kerja!

Komitmen politik

Salah satu kekuatan ­utama Jokowi sejak lama ialah kedekat­annya dengan rakyat. Oleh karena itu, modal sosial berupaya kepercayaan inilah yang menjadi simpul kekuatan Jokowi dalam mengurai pola interaksi yang sering menjebak siapa pun presiden berkuasa dalam praktik politik konsensus yang kolusif. Helmke dan Levitsky dalam Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004) mencatat akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola tersebut memiliki pendekatan berbeda-beda.

Idealnya, dalam proses pe­nguatan konsolidasi demokrasi ada kejelasan posisi politik di dalam atau di luar kekuasaan. Akan tetapi, dalam praktik politik, pola hubungan berjalan sangat cair. Dalam situasi ini, godaan untuk membangun pola interaksi akomodatif menjadi sangat tinggi sehingga kekuasaan berjalan elitis dan transaksional. Zona nyaman kekuasaan sering melenakan dan mengukuhkan mitos bahwa garansi politik hanya akan diperoleh dari koalisi besar partai politik. Saat ini koalisi pemerintahan Jokowi pun terdiri dari banyak partai politik. Di atas kertas dukungan terhadap Jokowi kurang lebih 69% di DPR. Meski demikian, di musim pancaroba seperti sekarang dibutuhkan komitmen kuat untuk memastikan siapa saja kawan seperjalanan.

Kabinet Kerja yang di­pimpin Jokowi mendapatkan ujian. Akankah tetap solid dan berkomitmen pada akselerasi kerja, ataukah mulai main mata dan mengambil ancang-ancang masuk gelanggang permainan 2019. Jajaran menteri dan lembaga harus memiliki daya tahan untuk tetap memiliki komitmen bekerja hingga 2019. Fokus prioritasnya Jokowi-JK ialah menunaikan janji kampanye di 2014. Niat baik dan niat politik untuk memberikan perubahan. Biarkan kontestasi berlangsung dengan tahapannya, dan pemerintah tetap berjalan memikul tanggung jawab moral dan politis untuk tetap meng­akselerasikan kinerja Kabinet Kerja. Loyalitas para menteri ialah pada presiden meskipun sebagian dari mereka berasal dari partai politik berbeda.

Suasana politik dua tahun terakhir hingga 2019 tentu akan sangat mengganggu. Perang opini bisa saja setiap hari terjadi. Polarisasi yang telah terjadi sejak 2014 hingga saat ini harus disikapi dengan kematangan dan ketenangan Jokowi dan para menterinya. Tak perlu larut dalam gegap gempita berburu kuasa. Terlebih, bagi petahana bekerja optimal melakukan capaian-capaian kinerja sesungguhnya merupakan kampanye nyata sepanjang masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar