Bekerja
di Musim Pancaroba
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Oktober 2017
TIGA tahun sudah pemerintahan
Jokowi-JK berjalan. Tak mudah menyusuri perjalanan panjang lima tahunan di
tengah tekanan yang datang tak berkesudahan. Jokowi dengan segala
plus-minusnya tetap melangkah menjaga momentum kepercayaan publik di samudra
kepentingan ragam kekuatan. Memasuki tahun keempat, artinya Jokowi memasuki
musim pancaroba politik, mengingat tahapan kontestasi elektoral 2019 sudah
berjalan. Semua kekuatan politik mulai melancarkan lagi ragam strategi guna
menjaga eksistensi mereka di kemudian hari. Musim kontestasi datang lebih
dini, seiring perubahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, yakni pemilu
legislatif dan pemilu presiden dilakukan berbarengan.
Menjaga kepercayaan
Kondisi politik kerap berubah
cepat seiring dengan suhu yang memanas diiringi relasi antagonistis yang
mengemuka tak hanya di level elite, tapi juga di kalangan warga biasa. Musim
pancaroba butuh daya tahan karena perubahan menuntut kondisi prima untuk
mengatasi masalah bersama-sama. Sepanjang 2017, sejumlah peristiwa politik mewarnai
perjalanan pemerintahan Jokowi-JK. Tekanan bergelombang datang, misalnya
eskalasi penyelenggaraan pilkada serentak gelombang II di 101 daerah. Efek
domino kasus penodaaan agama di pilkada DKI Jakarta yang menstimulasi aksi
bela Islam membuat Jokowi harus bekerja ekstra keras mengelola komunikasi
politik agar tak terjebak dalam titik episentrum gempa opini publik berskala
nasional tersebut.
Gegap gempita perbincangan
warga pun berlanjut di sejumlah isu lain. Misalnya saja soal Perppu No 2/2017
tentang Ormas, pembubaran HTI, polemik UU Pemilu, penetapan tersangka Setya
Novanto, dan sejumlah isu-isu lain yang kerap melahirkan sejumlah paradoks di
panggung politik nasional. Dalam menyikapi masyarakat yang terfragmentasi
seperti ini, James Stanyer dalam Modern Political Communication (2008),
menyarankan agar ada rekonseptualisasi hubungan dengan warga dan beradaptasi
dengan perubahan. Hubungan dengan warga harus diletakkan dalam koridornya
yang tepat, mana informasi dan mana propaganda, mana yang ‘sampah’ dan mana
yang ‘nutrisi’.
Adaptasi dengan perubahan
terutama dalam perbincang politik warga di ragam kanalnya harus dilakukan
Jokowi agar tak terjebak pada skenario para pihak yang menghendaki Jokowi
‘lumpuh layu’ dari kepercayaan publik yang menjadi modal sosialnya.
Rekonseptualisasi itu antara lain mengubah gaya komunikasi politik istana dan
presiden dari gaya structuring style yang mengelola power dan memapankan
kuasa presiden, ke gaya equalitarian style, yakni presiden memosisikan
kesataraan dengan warga yang dipimpinnya. Jokowi tetap rajin blusukan,
menyerap aspirasi, berdialog dengan beragam kantong warga biasa, dan
mengelola hubungan baik dengan tokoh maupun organisasi kunci yang ada di
masyarakat.
Posisi Jokowi di tiga tahun
perjalanannya masih mendapatkan modal kepercayaan publik memadai. Hal ini
bisa terlihat di sejumlah hasil survei opini publik beberapa lembaga survei.
CSIS melakukan survei pada 23-30 Agustus terhadap 1.000 responden yang
tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya
menunjukkan ada peningkatan kepuasan publik pada kinerja Jokowi. Tingkat
kepuasaan publik terhadap kinerja Jokowi di 2015 sebesar 50,6%. Kemudian pada
2016 naik menjadi 66,5% dan pada 2017 naik menjadi 68,3%.
Data lainnya ialah survei SMRC
medio 3-10 September 2017. Hasilnya angka kepuasan publik atas kinerja
Jokowi September 2017 sebesar 68%. Angka yang hampir sama juga kita dapatkan
dari hasil survei Indikator Politik Indonesia. Dalam survei 17-24 September
2017, 68,3% responden mengaku puas dengan kinerja Jokowi-JK. Menjaga
kepercayaan tentu menjadi salah satu agenda Jokowi di musim pancaroba seperti
saat ini. Dalam praktik keseharian, kepercayaan bisa naik bisa juga turun.
Salah satunya akan sangat dipengaruhi dinamika opini publik yang berkembang.
Opini publik selalu terbangun dari tiga komponen utama. Pertama credulity,
yakni soal percaya atau tidak. Apakah publik percaya atau sebaliknya mulai
menyangsikan kiprah Jokowi dan kabinet kerjanya.
Kedua reliance, yakni tingkat
pentingnya kepercayaan bagi seseorang. Sesuatu yang sudah dipercayai belum
tentu dianggap penting oleh publik. Jika kepercayaan saja belum menggaransi,
apalagi kalau publik sudah tak memercayai pemerintah. Jalan terjal membentang
karena Jokowi akan kesepian dan tak bisa menggerakkan kekitaan dalam model
demokrasi-partisipan. Ketiga, nilai kesejahteraan (walfare values). Hampir
seluruh opini terkait dengan apa yang dirasakan dan diupayakan publik
menyangkut kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak. Di sinilah letak pentingnya
kerja nyata Jokowi-JK menyejahterakan warga. Hal ini tak hanya bisa dengan
kata-kata retorika, tetapi butuh kerja, kerja, kerja!
Komitmen politik
Salah satu kekuatan utama
Jokowi sejak lama ialah kedekatannya dengan rakyat. Oleh karena itu, modal sosial
berupaya kepercayaan inilah yang menjadi simpul kekuatan Jokowi dalam
mengurai pola interaksi yang sering menjebak siapa pun presiden berkuasa
dalam praktik politik konsensus yang kolusif. Helmke dan Levitsky dalam
Informal Institutions and Comparative Politics: A Research Agenda (2004)
mencatat akan muncul dan menguat empat pola interaksi politik, yakni pola
melengkapi, mengakomodasi, menyaingi, dan menggantikan. Setiap pola tersebut
memiliki pendekatan berbeda-beda.
Idealnya, dalam proses penguatan
konsolidasi demokrasi ada kejelasan posisi politik di dalam atau di luar
kekuasaan. Akan tetapi, dalam praktik politik, pola hubungan berjalan sangat
cair. Dalam situasi ini, godaan untuk membangun pola interaksi akomodatif
menjadi sangat tinggi sehingga kekuasaan berjalan elitis dan transaksional.
Zona nyaman kekuasaan sering melenakan dan mengukuhkan mitos bahwa garansi
politik hanya akan diperoleh dari koalisi besar partai politik. Saat ini
koalisi pemerintahan Jokowi pun terdiri dari banyak partai politik. Di atas
kertas dukungan terhadap Jokowi kurang lebih 69% di DPR. Meski demikian, di
musim pancaroba seperti sekarang dibutuhkan komitmen kuat untuk memastikan
siapa saja kawan seperjalanan.
Kabinet Kerja yang dipimpin
Jokowi mendapatkan ujian. Akankah tetap solid dan berkomitmen pada akselerasi
kerja, ataukah mulai main mata dan mengambil ancang-ancang masuk gelanggang
permainan 2019. Jajaran menteri dan lembaga harus memiliki daya tahan untuk
tetap memiliki komitmen bekerja hingga 2019. Fokus prioritasnya Jokowi-JK
ialah menunaikan janji kampanye di 2014. Niat baik dan niat politik untuk
memberikan perubahan. Biarkan kontestasi berlangsung dengan tahapannya, dan
pemerintah tetap berjalan memikul tanggung jawab moral dan politis untuk
tetap mengakselerasikan kinerja Kabinet Kerja. Loyalitas para menteri ialah
pada presiden meskipun sebagian dari mereka berasal dari partai politik
berbeda.
Suasana politik dua tahun
terakhir hingga 2019 tentu akan sangat mengganggu. Perang opini bisa saja
setiap hari terjadi. Polarisasi yang telah terjadi sejak 2014 hingga saat ini
harus disikapi dengan kematangan dan ketenangan Jokowi dan para menterinya.
Tak perlu larut dalam gegap gempita berburu kuasa. Terlebih, bagi petahana
bekerja optimal melakukan capaian-capaian kinerja sesungguhnya merupakan
kampanye nyata sepanjang masa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar